Puasa Ramadhan Dalam Perspektif Tasawuf
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah mengatakan, “Allah berfirman: Semua amal anak turun Adam (manusia) adalah untuk dirinya sendiri, kecuali puasa, karena puasa adalah milik-Ku dan Aku akan membalasnya. Puasa adalah perisai. Jadi, jika salah seorang di antara kamu berpuasa, maka hendaklah ia tidak berlaku dan berkata kotor, tidak berteriak-teriak, dan tidak bertindak layaknya orang bodoh. Jika ada salah seorang yang mencaci-makinya, atau mengajaknya berkelahi, maka hendaklah ia mengatakan, saya sedang berpuasa. Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad SAW, sungguh bau mulut orang yang berpuasa bagi Allah di hari kiamat jauh lebih wangi daripada aroma wangi misik. Dan orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan, yaitu saat berbuka dan saat bertemu dengan Tuhannya.”
Dalam al-Qur’an al-Karim, puasa disebutkan dengan menggunakan kata “shaum” dan “shiyam”. Dan kaum ‘urafa dengan terinspirasi oleh teks-teks religius, mereka menilai bahwa puasa adalah “zakat badan” dan terkait dengan keutamaannya, mereka berpandangan bahwa dengan berpuasa, seseorang akan berkarakter seperti malaikat. Sebab, ia menghindari makanan-makan zahir dan memilih mengkonsumsi makanan zikir, tasbih dan tahlil.
Dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa hendaklah kalian berpuasa supaya kalian mendapatkan kesehatan jasmani. Dan dalam riwayat lain dijelaskan bahwa puasa adalah tameng/perisai dari neraka. Yakni, riwayat pertama berbicara tentang kesehatan fisik, sedangkan riwayat kedua menyinggung keselamatan dari azab neraka.
Dalam hadis Qudsi disebutkan bahwa Allah Swt berfirman: Puasa berhubungan dengan-Ku dan Aku pula yang akan membalas orang yang berpuasa. Bila orang yang berpuasa melakukan puasanya dengan ikhlash, cinta dan ‘ubudiyyah (penghambaan) serta pelaksanaan perintah Ilahi maka sejatinya puasa sekelas ini lebih tinggi daripada sekadar masuk surga dan tidak masuk neraka. Dengan demikian, puasa dapat ditafsirkan secara sufistik seperti ini bahwa aku berpuasa bukan untuk mendapatkan surga dan terhindar dari neraka, tetapi karena cinta kepada Ma’bud (Yang Berhak Disembah), Ma’syuq (kekasih) dan Mahbub (Yang Tercinta). Dan karena Allah memerintahkan puasa maka saya memperhatikan perintah ini.
Tahapan berikutnya dalam perspektif sufistik terhadap puasa, puasa memiliki peran penting dalam sair wa suluk (perjalanan spiritual) menuju Allah Swt. Sebab, dengan berpuasa dan merasakan kelaparan dan kehausan serta menjalankan perintah Ilahi, hati menjadi bening dan cemerlang dan orang yang berpuasa memikirkan nasib kaum dhuafa dan fakir-miskin. Dengan kata lain, ‘arif di satu sisi “melihat” Allah dan di sisi lain memandang makhluk-Nya. Dan puasa memiliki keistimewaan dua pandangan yang berbeda seperti ini.
Puasa memiliki aspek zahir sebagaimana ia mempunyai aspek batin. Aspek zahir puasa adalah seorang mukmin berniat untuk menjalankan puasa dari azan Subuh sampai azan maghrib dengan menjaga adab-adab dan hukum-hukum fikih yang terkait dengan puasa supaya puasanya sah dan tidak batal. ‘Urafa dan kaum sufi mengatakan bahwa di balik zahir puasa ini juga terdapat batin puasa dan aspek zahirnya tidak terlalu penting. Jalaluddin Rumi mengumpamakan orang yang berpuasa yang hanya puas memperhatikan aspek zahirnya dengan “kucing yang zuhud” dan menurut beliau puasa model ini tidak memiliki hasil/manfaat.
Hasil dan manfaat puasa menurut sufi adalah berlepas dari tirai kelalaian dan kelupaan. Sebab, ‘arif/sufi meyakini bahwa dunia ini adalah dibangun di atas pilar kelalaian dan manusia di dunia ini cenderung lalai. Dan bila memang kita mampu berpuasa secara benar dan beribadah juga secara sahih maka kita akan selamat dari cengkraman kelalaian ini.
Rumi saat membahas puasa, ia mengatakan bahwa manusia dalam berpuasa harus memperhatikan seluruh masalah dan seluruh ibadah adalah cahaya syariat dan penyebab sampainya seseorang ke jalan kesempurnaan. Rumi menilai bahwa zahir puasa adalah imsak dari makan dan minum namun ia memaknai puasa secara khusus, yakni puasa menurut tasawuf adalah seseorang yang melakukan imsak (menahan diri) dari selain Allah. Dan zahir imsak ini adalah tidak makan dan tidak minum, sedangkan batinnya adalah imsak dari selai Allah Swt.
‘Urafa juga tidak memaknai ifthar (berbuka puasa) secara zahir, yakni waktu ifthar itu terjadi saat terbenamnya matahari, namun mereka memaknai dan menafsirkan ifthar hakiki dengan seseorang yang berpuasa di waktu pagi sampai maghrib dan malam harinya matanya tersinari dengan Keindahan Sang Kekasih. Inilah ifthar yang sesungguhnya. Sebagai contoh, selama bulan Ramadhan kita harus menjaga pandangan kita dari memandang wanita non-muhrim. Rumi mengatakan, selama berpuasa, mata Anda harus terpejam (tertutup) dari segala bentuk non-muhrim sehingga di waktu malam yang merupakan saat ifthar maka diizinkan untuk dibuka. Oleh karena ini, hasil dari puasa ini adalah ifthar di waktu malam dan ifthar ini bermakna perjumpaan dengan Sang Kekasih. Dan puasa yang tidak berhasil mencapai perjumpaan dengan Sang Kekasih adalah puasa yang tertolak.
Abu Thalib Makki mengatakan: “Allah berfirman,’ Dan mintalah pertolongan) kepada Allah (dengan sabar dan (mengerjakan) salat,’[1] dan dalam pelbagai kitab tafsir disebutkan bahwa yang dimaksud sabar dalam ayat ini adalah puasa. Karena itu, Rasulullah saw menamakan bulan puasa dengan sebutan syahru ash-shabr (bulan sabar). Sebagian ulama mengatakan bahwa tujuan meminta pertolongan pada sabar dalam ayat tersebut adalah zuhud di dunia melalui puasa. Sebab orang yang berpuasa bagaikan zahid (orang yang mempraktikkan zuhud) sekaligus ‘abid (ahli ibadah), dan puasa adalah kunci zuhud serta pintu ibadah kepada Maula (Sang Pemimpin Agung). Karena puasa mampu menahan nafsu makan dan minum.
Syekh Muhammad Ghazali
Pemerhati Masalah Sosial-Keagamaan
[1] QS. Al-Baqarah 2: ayat 45.