Quthbuddin Syirazi: Pakar Astronom dan Kedokteran Muslim
Quthbuddin Syirazi (634 H/1236 M-710 H/1311 M) tumbuh di zaman invasi Mongol. Ia hidup di masa yang sulit saat budaya Islam telah mencapai kematangannya namun pada saat yang sama ditimpa kejatuhan manifestasi politik. Quthbuddin pada masa itu suka membaca sejumlah komentar mengenai prinsip-prinsip umum Ibn Sina. Karena tidak menemukan komentar maupun penjelasan yang memuaskan dari para gurunya, ia memenuhi keinginan untuk pergi ke tempat lain guna mempelajari lebih jauh tentang teori kedokteran.
Untuk melengkapi studi kedokteran, Quthbuddin belajar menjadi seorang sufi. Ayahnya merupakan salah seorang mistikus di Shiraz. Dia belajar di Bagdad kepada Syihab al-Din Umar al-Suhrawardi (wafat 632/1234-1235), seorang penulis buku pegangan mistikisme terkenal dan menerima khirqah baju kebesaran sufi, dan menjadi ikon garis silsilah spiritualis seorang sufi. Kala Quthbuddin Syirazi berusia 10 tahun, ayahnya sudah menerima khirqah. Dia juga harus berkunjung kepada Najib al-Din Buzgus Shirazi yang juga merupakan murid Suhrawardi dan sufi paling penting di Shiraz.
Quthbuddin tinggal di Shiraz hingga usia 24 tahun dan telah menyerap semua ilmu yang dimiliki guru-guru di tempatnya. Ia juga adalah murid yang tertarik dengan observatorium. Ia segera mendalami juga filsafat dan matematika dan segera menjadi mahasiswa Thusi yang paling menonjol dan penting.
Menjelang tahun 673/1274 Quthbuddin Syirazi telah menemukan jalan ke Konya. Di sana belajar dan memperdalam ilmu hadis dan ilmu pengetahuan rasional, agama dan mistik kepada Shadr al-Din Qunawi. Konon pernah bertemu dengan Jalaludin Rumi. Saat ia bertemu Rumi, Rumi mengabaikannya dalam waktu yang lama dan kemudian ia menyampaikan sebuah cerita tentang Sadr Jehan, seorang kaya raya yang tidak pernah mau memberikan sesuatu kepada orang-orang miskin. Ada seorang miskin yang mencoba menarik perhatian Sadr Jehan agar berkenan memberikan uangnya. Tapi Sadr Jehan tidak bergeming, tidak tersentuh sedikitpun untuk mengulurkan tangannya kepada si miskin itu. Akhirnya orang miskin karena sudah putus asa dengan cara-cara biasa, ia memakai kain kafan dan berbaring di atas tanah. Begitu melihat pemandang yang mengharukan seperti itu Sadra Jehan kemudian memberikan bantuannya.
Cerita Rumi yang sangat elok di atas untuk menggambarkan jika seorang hamba ingin menarik perhatian yang lain, maka ia harus mengalami kematian dirinya; kematian dari egonya. Cerita di atas juga bisa dipahami bahwa untuk bisa dekat dengan Tuhan maka seorang hamba harus mati sebelum kematian yang alami.
Pada masa itu ia diangkat menjadi Hakim kepada Malatya dan Sivas di Anatolia oleh Menteri Syams al-Din Juwayni, yang sangat dikenal sebagai pendukung para sarjana-terutama Thusi-dan oleh Mu’in al-Din Parwanah, Gubernur Saljuq di Anatolia yang dikenal Qutbuddin ketika di Konya.
Quthbuddin Syirazi memiliki daya nalar yang tajam dan cepat serta energi yang langka. Pada usia belasan tahun melakukan studi yang serius tentang aspek-aspek teoritis dari al-Qanun karya Ibnu Sina, sesuatu yang mungkin jarang dilakukan oleh dokter. Ibnu al-Fuwathi, teman Quthbuddin selama dari 50 tahun, meriwayatkan ketekunan Quthbuddin yang luar biasa untuk karyanya sebagai seorang mahasiswa. Sebagai sarjana, Quthbuddin terus menerus berpikir dan menulis dan orang-orang mengumpulkan bahan-bahan kuliahnya. Namun kadang-kadang karena cara berpikirnya yang cepat dan tajam selain bisa memukau orang lain, juga bisa menyinggung sebagian. Ia juga pemain catur yang brilian dan juga sekaligus pemain biola yang baik, dan dia juga bisa melakukan trik-trik sulap. Ia juga memiliki kekayaan literatur tentang Humor-humor maknawi, bait-bait puisi arab dan syair.
Ia banyak menulis karya, yang paling mengesankan adalah Syarah Hikmat-Al-Isyraq. Syarah ini dianggap kitab yang terbaik dalam mengeksplorasi gagasan-gagasan penting dan inti dari filsafat Iluminasi Suhrawardi. Juga kitab Rasail fi Syajarah Ilahiyah, sebuah kitab yang sangat mengesankan dan banyak direkomendasikan oleh sarjana modern. Kitab yang berhasil memadukan kajian fisika, filsafat, akhlak dan sebagainya.
Quthbuddin Syirazi misalnya mengatakan dalam kitab tersebut: “Ketahuilah bahwa Aristoteles telah mendahulukan dalam kitab dan pengajaran ilmu fisika dari ilmu Ilahi, karena lebih dahulu secara alami jika dianalogikan kepada kita, dan karena dominasi indera atas kita. Sementara ilmu Ilahi lebih dahulu secara ontologis fi nafs al-amr (in it self). Kemudian Aristoteles membahas dari hal-hal yang bersifat inderawi menjadi kategori-kategori intelektual (ma’qulat). Ia juga menjelaskan fondasi-fondasi ilmu dalam filsafat pertama (the first philosophy).” (SN)