Radikalisme Arab; bukan Radikalisme Islam
Oleh: Husein Muhammad Alkaf
Memang tidak mudah, tetapi juga tidak terlalu sulit, memisahkan Arab dari Islam. Sulit memisahkan keduanya karena Islam lahir dan muncul di tanah Arab; Kitab Suci dan ritual Islam yang paling pokok (salat) berbahasa Arab; kehidupan sehari-hari dan percakapan Nabi Islam (Nabi Muhammad saw) juga bercirikan Arab. Karena itu, banyak kalangan yang mengidentikan Islam dengan Arab atau, sebaliknya, Arab dengan Islam. Pada saat yang sama, mudah juga memisahkan keduanya, karena Arab sebuah bangsa yang di dalamnya terhimpun budaya (bahasa, keyakinan dan pengetahuan) dan tradisi. Semua itu produk manusia. Sedangkan Islam agama yang suci dan bersumber dari Yang Maha Suci. Jelas, itu dua hal yang berbeda.
Sebagai sebuah bangsa, masyarakat Arab mempunyai budaya dan tradisi yang beragam; ada yang baik, ada yang buruk. Berdasarkan beberapa ayat, riwayat dan keterangan para sejarawan, secara umum karakter bangsa Arab dikenal keras dan kasar. Oleh karena itu, Allah swt. mengutus seorang nabi yang sangat santun dan sangat penyayang dari kalangan mereka sendiri (lih. QS al-Tawbah [9]: 128). Beliau adalah Nabi Muhammad saw., seorang Arab al–Adnani bersuku Quraisy. Beliau diutus untuk menyampaikan agama suci Allah dan mengajak mereka agar merubah karakter mereka yang keras dan kasar menjadi kepribadian yang lembut dan halus serta agar menjadi masyarakat yang berilmu (lih. QS. al-Jumu’ah [62]: 2). Beliau hidup sebagai utusan Allah di tengah mereka selama dua puluh tiga tahun.
Dengan prilaku dan sikapnya yang lembut dan santun, Nabi Muhammad saw. mengajak kaumnya ke ajaran-ajaran Islam yang mulia. Lambat laun tapi pasti, suka atau tidak, mereka akhirnya menerima Islam setelah sebelumnya mereka menolaknya dengan keras dan kasar; caci maki, teror hingga peperangan. Berkat kepribadian beliau yang sangat mulia dan luhur, bangsa Arab di Jazirah Arabia secara umum berbondong-bondong masuk Islam (lih. QS. al Nashr [110]: 2). Meskipun mereka telah menyatakan masuk Islam, namun tidak berarti nilai-nilai Islam sudah terintegrasi dalam diri mereka secara utuh, karena merubah karakter seseorang atau suatu bangsa bukan sesuatu yang mudah, tetapi membutuhkan kemauan yang kuat dari diri mereka sendiri juga proses yang memakan waktu yang panjang.
Memisahkan Islam dari Arab
Oleh karena Islam adalah agama suci yang bersumber dari Yang Maha Suci lalu diimplementasikan secara riil lewat sosok Nabi yang suci, maka untuk mengetahui dan mempelajarinya dengan baik harus lewat kehidupan Nabi Muhammad saw. bukan lewat yang lain, bahkan untuk memahami Alquran sekalipun seharusnya (sebaiknya) lewat beliau. Hanya melalui kehidupan (baca: sunnah) beliau, kita akan memahami Islam yang benar dan sesungguhnya. Islam yang dipelajari lewat kehidupan beliau adalah Islam yang santun, beradab, realistis, berprikemanusiaan, mencerdaskan dan menyejukkan, karena semua ciri ini telah terpadu (integrated) secara utuh dan seimbang dalam diri beliau. Dengan demikian, Islam jauh dari tindakan arogan, kebencian, permusuhan, pembodohan dan radikalisme.
Tetapi ketika kita mengenal Islam lewat prilaku bangsa Arab dengan karakter mereka yang keras dan kasar, bukan tanpa alasan jika Islam akan dikenal dan diperkenalkan sebagai agama yang penuh dengan arogansi, kebencian, permusuhan, pembodohan, rasisme dan radikalisme. Sesunggunya lewat mereka itulah sebagian kelompok orientalis Barat, secara sengaja maupun tidak, mengenal dan memperkenalkan Islam. Mengapa jika Islam dipelajari lewat mereka, maka akan seperti itu ?
Sejarah mencatat bahwa beberapa tahun setelah Nabi Muhammad saw. wafat, tepatnya pada tahun 61 Hijriah, terjadi pembantaian dan mutilasi yang sangat sadis terhadap cucu Nabi Muhammad saw. bernama Husain bin Ali bin Thalib di padang Karbala. Keluarga beliau, anak-anak dan kaum wanita, dikepung dalam kelaparan dan kehausan, lalu mereka digiring dengan kaki dan tangan dirantai berjalan kaki ratusan kilo meter dari Najaf (Irak) ke Damaskus (Suriah). Selain itu, secara turun menurun, para penguasa Bani Umayyah menampilkan sikap dan prilaku yang arogan, hipokrit, rasis dan radikal.
Pada tahun 132 H (750 M), Abu Abbas al Saffah, pendiri Dinasti Abbasiyah, melakukan pembantaian yang sangat keji terhadap penguasa Bani Umayyah dan para pengikut mereka (Umawiyyin) di Damaskus sehingga kuburan-kuburan para pendiri Dinasti Umayyah digali dan tulang belulang mereka dihancurkan. Penulis al Aghani mencatat, sikap dan prilaku para penguasa Abbasiyah pun tidak jauh berbeda dengan Bani Umayyah.
Selain itu, peperangan demi peperangan terjadi antara sesama kaum Muslimin di Jazirah Arabia, Irak dan Suria, atau perang dengan non-Muslim di dataran Eropa. Peperangan itu terjadi bukan karena dorongan agama, tetapi nafsu kekuasaan atau perluasan wilayah.
Jika Islam dipelajari lewat prilaku dan sikap bangsa Arab secara umum dari sejak waktu itu hingga saat ini, Islam akan dikenal sebagai agama yang mengajarkan dan mempraktekkan kebodohan dan radikalisme. Padahal Islam jauh dari semua sikap dan perilaku mereka. Karena itu, mengetahui dan mempelajari Islam harus lewat kehidupan (Sunnah) Nabi Muhammad saw. saja. Dengan cara ini, Islam akan bebas dari segala citra negatif dan sifat buruk. Dan karena itu, Islam tidak identik dengan Arab.