Rahimpur Azghadi: Redefenisi Perempuan Dalam Hukum Islam (1)
Hasan Rahimpur Azghadi, cendikiawan Muslim abad ini menjawab masalah Islam kontemporer dalam acara Stadium General di Jakarta. Kuliah umum bertema “Redefenisi Perempuan Dalam Hukum Islam” berlangsung tanggal 17 November 2016 di Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) SADRA. Pada kesempatan tersebut, beliau membahas beberapa hal tentang isu perempuan yang menjadi masalah bersama, baik laki-laki maupun perempuan.
Perbedaan peran khusus laki-laki dan perempuan
Islam menjadikan manusia secara mutlak sebagai obyek pembicaraan tanpa membedakan antara jenis kelamin. Hal ini dapat ditandai dengan banyaknya ayat al-Quran yang dimulai dengan kalimat “Ya ayyuhal insan”. Dalam pembahasan hak dan kewajiban serta keluarga yang merupakan tugas dan hak bersama tidak ada kekhususan. Baik bagi laki-laki dan perempuan, kecuali dalam persentase yang kecil. Perbedaan jenis kelamin berlaku hanya berkaitan dengan tugas dan hukum khusus. Misalnya, perbedaan fisik yang meniscayakan adanya perbedaan taklif dan tugas. Perbedaan ini tidak menjadi alasan untuk memunculkan persaingan atau diskriminasi diantara kedua jenis kelamin. Dalam surah an-Nisa ayat 32 disebutkan:
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا ۖ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ ۚ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa dalam beberapa hal perempuan lebih dari laki-laki dan sebaliknya. Kalau ada 90 persen persamaan dan 10 persen perbedaan, tidak selayaknya ada yang berkata: “Andaikan saya lelaki”, atau sebaliknya. Jika perempuan berasumsi kalau saya lelaki, maka saya lebih kuat dan seterusnya, maka hal ini tidak benar. Laki-laki lebih kuat secara fisik karena ada tanggungjawab yang berat untuk mengayomi keluarga bahkan Negara. Misalnya, menjadi tentara dan menjalani wajib militer untuk membela Negara. Namun laki-laki tidak bisa menjadi ibu yang harus melahirkan dan menyusui. Menjadi ibu merupakan karunia bagi perempuan. Al-Quran hendak menyampaikan pesan bahwa memang ada perbedaan, namun bukan untuk saling membanggakan dan melecehkan yang lain. Karena, al-Quran menyebutkan bahwa masing-masing akan dinilai sesuai dengan usahanya (مِمَّا اكْتَسَبُوا).
Hak ekonomi laki-laki dan perempuan
Al-Quran menyatakan bahwa setiap manusia, baik laki-laki dan perempuan memiliki hak ekonomi yang sama. Berkaitan dengan perbedaan hukum waris dalam surah an-Nisa ayat 11:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ada yang bertanya kepada Nabi saw, mengapa demikian? Nabi menjawab laki-laki mendapat bagian yang lebih besar karena meiliki kewajiban menafkahi istri dan anaknya. Secara khusus laki-laki berkewajiban memenuhi kebutuhan keluarga. Meskipun laki-laki mendapat bagian lebih banyak, namun harus digunakan untuk dirinya, anak dan istrinya. Laki-laki tidak punya hak untuk mengkonsumsi lebih banyak dari perempuan, karena laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam mengkonsumsi. Sedangkan perempuan bisa jadi mendapatkan bagian yang lebih banyak, karena bagian yang diterima hanya untuk dirinya saja. Dengan kata lain, laki-laki hanya mendapat sepertiga bagian. Sedangkan perempuan mendapatkan sepertiga bagian tanpa kewajiban mengeluarkan biaya apapun, karena kebutuhan dirinya menjadi tanggungan suami.
Dalam hukum diyah (sanksi atas pembunuhan) terdapat perbedaan berkaitan dengan besarnya uang yang harus keluarkan oleh pembunuh. Jika korbannya laki-laki, besaran jumlah diyah yang harus dibayarkan lebih banyak dibandingkan dengan korban perempuan. Hal ini bukan berarti merendahkan derajat perempuan. Jika korbannya adalah perempuan, maka yang menerima diyah adalah suaminya yang masih bisa bekerja. Sedangkan jika korbannya laki-laki, yang menerima diyah adalah sang istri. Karena itu, jumlahnya harus lebih besar agar ia tidak terpaksa bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Contoh lain, seorang anak ber-nasab dengan nama ayahnya dan bukan dengan nama ibu. Apakah karena ayah lebih mulia? Jawabnya tidak. Hal ini dikarenakan ayahlah yang bertanggungjawab atas anak itu. Sekalipun sudah bercerai dengan ibu sang anak, anak tersebut tetap dikenal sebagai anaknya dan memiliki tanggungjawab khusus. Namun, jika seorang perempuan bercerai, ia sama sekali tidak punya tanggug jawab dengan anaknya. Jadi asumsi bahwa perbedaan merupakan diskriminasi terhadap perempuan tidak benar, justru sebaliknya. Semua hukum Islam tidak boleh dilihat parsial, namun harus komprehensif.