Refleksi di Tahun Politik: Jangan Cabik Persatuan Ini!
Oleh: Otong Sulaeman
Perdamaian dan persatuan itu indah; sedangkan permusuhan dan pertikaian itu sangat buruk, busuk, dan menghancurkan semua pihak. Ketercabikan persatuan dan perdamaian hanyalah menguntungkan segelintir orang. Keuntungan yang didapat pun berjangka sangat pendek alias cepat menguap. Pada akhirnya, semuanya akan merugi.
Untuk itulah, Islam sangat menekankan pentingnya persatuan, sambil mengingatkan indahnya persatuan itu, serta sangat tidak nyamannya suasana permusuhan.
“Berpegang teguhlahlah kalian semua kepada tali Allah, dan janganlah bercerai berai. Ingatlah nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu bermusuh-musuhan, lalu Allah mempersatukan hati kalian. Lalu karena ni’mat Allah itu, kalian menjadi orang-orang yang bersaudara. (Padahal sebelumnya) kalian telah berada di tepi jurang neraka (kemusnahan), lalu Allah menyelamatkan kalian dari bahaya itu. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya, agar kalian mendapat petunjuk.” (Ali Imran 103)
Para mufassir besar Islam sepakat bahwa ayat ini memiliki asbab an-nuzul. Ada konteks peristiwa ketika ayat ini diturunkan oleh Allah SWT kepada Baginda Nabi SAW. Diceritakan bahwa suatu hari, di Masjid Nabawi, para sahabat sedang duduk berkumpul dan berbincang-bincang dengan akrab. Di salah satu bagian masjid, para sahabat yang berbincang-bincang itu adalah mereka yang tadinya berasal dari Kabilah Aus dan Khazraj. Sungguh pemandangan yang sangat indah dan menenteramkan. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW telah merekatkan hati yang sebelumnya tercerai-berai, memadamkan api dendam yang tadinya menyala-nyala, serta menumbuhkan benih-benih keharmonisan yang sebelumnya terkurung di kegelapan lipatan sekat-sekat perpecahan.
Aus dan Khazraj adalah dua kabilah yang pernah terlibat peperangan selama sekitar 120 tahun. Ada banyak perang yang mereka jalani. Yang paling terkenal adalah Perang Bu’ats. Pada perang ini, kemenangan silih berganti diraih oleh kedua pihak. Kemenangan di satu pihak artinya kekalahan di pihak lain. Kekalahan berarti ada darah yang tertumpah, harta yang terampas, kehormatan yang dicederai, serta nyawa yang melayang. Semua itu menjadi alasan bagi masing-masing pihak untuk menuntut balas kepada pihak lawan, hingga peperangan terus berkobar selama puluhan tahun. Tapi, semua dendam kesumat dan tuntutan itu sirna oleh cahaya Islam. Begitu mereka memeluk agama Islam, mereka bersumpah untuk menghilangkan semua permusuhan yang ada. Mereka pun hidup damai di bawah panji tauhid. Sungguh kenikmatan yang sangat berharga.
Tapi, datanglah munafik Syas bin Qais, seorang tokoh Yahudi. Ia mendatangi orang-orang Aus dan Khazraj yang tengah asyik berbincang-bincang itu. Ia mengungkit luka lama dengan cara menanyakan kabar saudara dan kerabat dari masing-masing orang Aus dan Khazraj yang terluka atau yang meninggal dunia. Ia juga mempertanyakan klaim atas harta yang dirampas pada peperangan dulu. Rupanya, kata-kata Syas ini mampu mempengaruhi kedua kelompok. Mereka kemudian masing-masing menyatakan bahwa memang masih ada utang nyawa yang belum terbayar dan masih ada harta yang belum dikembalikan.
Masing-masing pihak mulai tersulut api permusuhan. Awalnya hanya berupa kata-kata. Lama-lama, kedua kelompok siap menghunus senjata. Di Masjid Nabawi, persatuan di antara sesama ummat Islam siap tercabik-cabik. Saat itulah Rasulullah SAW datang.
“Aku masih ada di antara kalian, dan kalian mau kembali ke perilaku jahiliah kalian? Bukankah derajat kalian menjadi terangkat dengan datangnya Islam?” kata Rasulullah dengan wajah yang terlihat sangat marah. Lalu turunlah ayat 103 surat Ali Imran di atas. Orang-orang yang tadinya sudah saling menghunus pedang itupun terperangah. Mereka menangis dan saling berpelukan. Mereka tersadarkan atas kekhilafan mudahnya terhasut, hingga hampir-hampir saja mencabik-cabik nikmat persatuan yang sudah mereka genggam.
Bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, saat ini sedang dihadapkan kepada ujian persatuan dan kebersamaan. Masa-masa pemilu serentak (pileg dan pilpres) selama beberapa bulan ini (hingga hari pencoblosan April 2019 nanti), sayangnya, cenderung mengoyak kebersamaan anak-anak bangsa. Kampanye hitam disebar, para pendukung saling menghina dan menjatuhkan harga diri saingan, serta masing-masing pihak merasa bahwa pilihannya adalah yang terbaik, sedangkan lawan adalah kotoran yang mesti dilenyapkan.
Rupanya, fenomena yang terjadi di pilpres tahun 2014 lalu yang ternyata telah menyisakan luka lama perseteruan di antara anak bangsa, kembali terulang. Kemungkinan besar hal ini terjadi karena kontestasi pilpres kembali mempertemukan dua tokoh yang sama sebagai calon presiden: Jokowi dan Prabowo. Disintegrasi sosial yang sempat agar terurai, kembali menghantui kita. Paling tidak, yang betul-betul kita rasakan adalah meningkatnya rasa kebencian di antara dua pihak yang bersaing. Yang terjadi bukanlah rivalitas atas dasar “fastabiqul khairat”, melainkan sudah sampai pada tahapan pertempuran yang meniscayakan saling menyerang dan meniadakan.
Sungguh bangsa Indonesia dihadapkan kepada ujian ini. Sebagai bangsa dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, ketercabikan antar anak bangsa sama artinya ketercabikan antar sesama ummat Islam. Kita berharap, bangsa ini (khususnya lagi ummat islam) tidak sampai terprovokasi, hingga kebersamaan bangsa yang merupakan anugerah Ilahi ini bisa kita pertahankan, dengan cara apapun.