Sandaran utama adalah ilmu dan keyakinan Al-Isra : 36
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui, (dan janganlah kamu ikut campur dalam hal yang tidak ada hubungannya denganmu) Sungguh pendengaran dan penghlihatan serta hati. Semua itu harus dipertanggungjawabkan.”[1] (Sesungguhnya pada hari kiamat kamu bertanggungjawab di sisi Allah atas penglihatan, pendengaran dan hati yang kamu gunakan baik dalam kebaikan atau keburukan)
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui, jadi janganlah ikut campur dalam hal yang tidak ada ilmu pada hal itu, pada hal-hal yang tidak ada hubungannya denganmu. Sungguh pendengaran dan penghlihatan serta hati. Semua itu harus dipertanggungjawabkan. (Sesungguhnya pada hari kiamat kamu bertanggungjawab di sisi Allah atas penglihatan, pendengaran dan hati yang digunakan baik dalam kebaikan atau keburukan)
Dalam kehidupan sandaran utama seharusnya adalah ilmu, jadi dalam segala hal kesimpulan yang diambil dan disepakati didasari pada pengetahuan dan keyakinan, bukan atas dasar perkiraan, persangkaan baik, atau apalagi hanya karena kemungkinan semata yang tidak diketahui dasar-dasarnya.
Pada kenyataanya berapa banyak fitnah muncul dan merugikan banyak pihak hanya karena informasi yang tidak jelas, hanya perkiraan saja, hanya dari share info di medsos, di instagram, di WA atau platform yang lainnya.
Fitnah juga bisa muncul karena prasangka buruk, isu-isu liar dan serta kejailan beberapa orang yang membuat berita-berita hoaks. Dampaknya carut marut terjadi, pembuat berita hoaks hanya terkekeh menikmati keberhasilannya dalam berbuat bohong, bahagia ketika info hoaks itu menjadi viral.
Tanpa adanya ilmu maka beberapa orang bisa salah dalam menghukumi, tergesa-gesa dalam menghukumi dan menilai lalu memberikan respon sesuai isi hoaks yang ia terima. Dari hoks berkembang menjadi tumpukan hoaks yang lain, kedustaan demi kedustaan.
Pendapat tanpa dasar penelitian tanpa dalil yang kuat menyebar kemana-mana memenuhi jagat maya.
Mengamalkan ayat 36 dari surat ke 17 ini akan menjaga umat manusia dari berbagai simpangsiur diatas. Satu kalimat namun menjadi penjamin ketentraman umat manusia dalam jumlah tidak terbatas. Menjadi asas keamanan dan ketentraman.
Mengamalkan ayat diatas bermakna, tidak tergesa-gesa juga tidak terlambat dalam menilai dan menghukumi, dua hal ini sama-sama berdampak buruk, jadi dalam kasus ini, kita diajari untuk mengamalkan alamru baina amrain, di tengah-tengahnya tidak terlalu cepat tidak terlalu terlambat.
Terlalu cepat menghukumi terjadi karena sikap orang tidak teliti dan tidak ingin meneliti, terlalu lambat dalam menghukumi juga dihasilkan dari sikap kaku dan angkuh, terlalu berburuk sangka.
Terlalu cepat menghukumi juga gambaran dari orang yang mengikuti secara buta (taklid buta), mengikuti tanpa meneliti kualitas yang diikuti, taklid buta sendiri ada beberapa kelompok:
Taklid seorang alim kepada orang alim yang lain. Ini juga tidak dibenarkan, kalau sudah menjadi mujtahid maka dia tidak boleh bertaklid kepada orang lain. Orang yang memiliki ilmu semestinya juga yakin terhadap ilmu yang ia miliki.
Taklid seorang alim kepada orang bodoh, ini juga tidak dibenarkan, orang yang memiliki ilmu dengan semua alasannya jelas tidak dibenarkan untuk mengikuti orang yang tidak berilmu. Selain itu hal ini juga bertolak belakang dengan akal sehat.
Taklid seorang jahil kepada orang jahil juga sama, hal ini juga tidak sesuai dengan akal sehat, orang yang jahil tidak dibenarkan mengikuti orang jahil yang lain, hasilnya sama, tidak sampai pada amalan yang didasari pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan.
Taklid seorang jahil kepada seorang alim, taklid inilah yang dibenarkan, hal ini juga dapat diterima oleh akal sehat, orang yang jahil ketika mengikuti orang alim maka akan menjadi benar amal perbuatannya. Walau dia tidak berilmu tapi dengan mengikuti langkah seorang alim maka amalnya juga menjadi benar sebagaimana langkah orang alim yang dia ikuti.
Seara fisik beberapa orang memang tampak berilmu, namun karena dia tidak memiliki akidah kuat, tidak taat kepada Allah, bisa jadi dia tidak termasuk orang yang layak dijadikan sebagai rujukan. Beberapa orang mengumbar kemana-mana ayat Allah, berceramah kesana kemari namun yang keluar dari lisannya caci maki dan kata kata buruk. Jelas disini dia bukan orang berilmu yang layak dijadikan sebagai rujukan. Orang berilmu yang layak dijadikan rujukan tentu mereka yang berilmu dan juga tampak dari amal perbuatan dan perkataan yang baik dan mulia. Ucapannya baik sebagai gambaran hatinya yang juga baik.
Beberapa orang ada yang bisa berubah karena kemilau harta dunia, pendapatnya bisa berubah sesuai uang sogokan yang ia terima, benar dia sudah S3 sarjana hukum, sudah menjadi hakim, tapi selama dia tidak mengamalkan nilai-nilai kebenaran maka kepantasan dan kelayakan untuk menjadi tempat rujukan tidak lagi bisa dia sandang.
Beberapa poin diatas adalah poin pihak yang dirujuk, kita sebagai orang awam yang merujuk dalam ayat diatas juga mendapat tuntutan yang tidak kecil, kita harus menggunakan telinga kita, mata kita, hati kita untuk menilai sesiapa yang ingin kita jadikan sebagai panutan.[2]
[1] Al-Isro: 36
[2] Disarikan dari penjelasan Syaikh Mohsen Qiroati 20 Azar 99.