Santri dalam Tradisi Keilmuan dan Budaya Kepatuhan
هُوَ الَّذي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِنْهُمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ آياتِهِ وَ يُزَكِّيهِمْ وَ يُعَلِّمُهُمُ الْكِتابَ وَ الْحِكْمَةَ وَ إِنْ كانُوا مِنْ قَبْلُ لَفي ضَلالٍ مُبينٍ
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul dari golongan mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab (Al-Qur’an) dan hikmah, meskipun mereka sebelum itu benar-benar terjerumus dalam jurang kesesatan yang nyata. (QS: al-Jumu’ah 2)
Hari Santri resmi menjadi hari nasional -dan diperingati oleh warga NU khususnya- pada setiap 22 Oktober, berdasarkan Keputusan Presiden no 22/2015. Mungkin dapat diangkat definisinya dari sisi tujuannya, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, yaitu: “Untuk mengenang, meneladani dan melanjutkan perjuangan ulama dan santri.”
Kesantrian seseorang mengusung dua aspek yang mengakar dalam dirinya:
1-Tradisi Keilmuan.
2-Budaya Kepatuhan.
Yang pertama, bahwa ilmu ibarat langit yang luasnya tak bertepi dan tingginya tak berujung. Ia menaungi siapapun di bawahnya, berapapun jumlah mereka dan di manapun mereka berada. Ia akan bergerak membentang saat kaki mereka melewati garis startnya, dan semakin luas bersamaan gerak langkah mereka yang semakin jauh di bawah “langit” ini. Ilmu yang menaungi ini, sebagaimana dikatakan oleh “Sang Pintu Kota Ilmu Nabi”, Imam Ali kw, ialah yang menjaga diri mereka, sebagai kebalikan harta benda yang harus dijaga oleh si pemiliknya.
Ia pun menyerupai samudera, teramat luas dan dalam. Semakin jauh diseberangi dan semakin dalam diselami, berbagai hikmah berharga yang didapati.
Disebut santri, umumnya terkait dengan pondok pesantren di bawah asuhan seorang ulama. Mereka menimba ilmu kepada sang guru, menyantri dan bahkan mengabdi kepadanya karena keilmuannya yang tinggi dan kepemimpinannya yang bijak di tengah mereka. Karena demikian itu, masyarakat pun sangat menghormatinya dan segan berat terhadapnya.
Dapat dikatakan bahwa ulama dan santri adalah manusia-manusia ilmu agama. Betapa tidak, di dalam lingkungan khas mereka sebagian besar dari semua waktu yang mereka lalui adalah dunia ilmu. Setiap hari, dari pagi mereka seakan sarapan ilmu, dan siang dan malamnya seakan mereka makan ilmu di dalam kelas, kamar dan perpustakaan. Mereka membaca, mencatat dan menghafal ilmu.
Telaah dan tahqiq, menyisir halaman demi halaman kitab, dan mubahatsah (diskusi ilmiah), soal jawab dan adu argumen di antara mereka menjadi bagian kesibukan dan tradisi mereka. Hingga dari semua usaha keras itu mereka temukan mutiara-mutiara hikmah yang tersimpan di dalam teks-teks ilmu yang dalam, dan memecahkan masalah-masalah yang sulit terpecahkan.
Belajar-mengajar ilmu adalah tradisi mereka, yang memiliki sejarah panjang sampai ke masa wahyu empatbelas abad yang lalu. Ialah masa Rasulullah saw dengan para sahabatnya. Di masa itu, sebagaimana merupakan tugas beliau yang diterangkan dalam ayat suci di atas, beliau membentuk halaqah atau kelas ilmu. Mengajari para sahabatnya ilmu. Mereka duduk menyimak penjelasan Nabi saw tentang ilmu dan hikmah. Setelah menjadi orang-orang berilmu, mereka mengajarkannya kepada yang lain, generasi sesudah mereka (tabi’in) dan kemudian ke generasi setelah itu sampai generasi sekarang dan akan datang.
Itulah halaqah yang beliau utamakan, berdasarkan riwayat, diceritakan bahwa ketika Rasulullah saw masuk masjid, beliau melihat dua fenomena; yang satu sebagian sahabat sibuk dalam ibadah, dan sebagian yang lain mereka asyik dalam diskusi ilmu. Lalu Nabi saw melangkah ke arah kumpulan yang kedua untuk duduk dan nimbrung dalam diskusi ilmu di antara mereka. Tak sebatas di dalam masjid, gerakan keilmuan ini memiliki ruang di manapun dan kapanpun jua, membentuk sebuah tradisi yang melekat. Yaitu, tradisi keilmuan yang lebih kita didapati secara intens di dalam pondok pesantren khususnya.
Di dunia keilmuan ini, tak ada batasan tingkatan ilmu, bahwa di atas langit adalah langit, dan di bawah samudera terlalu dalam untuk diselami oleh setiap penyelam. Tak heran demikian itu, karena sumber ilmu Islam adalah Alquran; Kitab Samawi yang turun kepada Rasulullah saw, dari Zat Yang Maha mengetahui.
Diterangkan dalam hadis-hadis Nabi saw bahwa Alquran memuat ilmu segala awal dan akhir; memiliki tujuh makna lahir dan tujuh makna batin, dan ungkapan-ungkapan lainnya yang menunjukkan keluasan serta kedalamannya. Oleh karena itu, walaupun mereka telah mencapai tingkat ilmu yang tinggi dan menjadi sangat alim, dan mengajarkannya kepada yang lain, bukan berarti mereka telah “mentok” berhenti dari menimba ilmu. Segala ilmu yang mereka miliki di dunia ini, dikatakan hanyalah setetes dari samudera ilmu. Nyawa tradisi keilmuan (belajar-mengajar ilmu) ini selalu hidup dan takkan pernah mati.
(berambung)