Saya Yakin, Kabah Rela Ali Sebagai Putranya
Ali bin Abi Thalib -karramallahu wajhah- satu-satunya manusia yang lahir di dalam Kabah. Adalah satu keistimewaan yang tak dimiliki oleh semua orang di sepanjang zaman. Tempat kelahiran dia ini adalah tempat yang paling disucikan seluruh muslimin di dunia ini. Banyak hal yang bisa diperbincangkan mengenai nilai atau tingkat kesucian dan keagungan Kabah, dan yang dapat disampaikan sebatas pengetahuan penulis adalah:
Pertama, siapakah pembangunnya? Nabi Ibrahim as, bapak seluruh pemeluk agama-agama samawi dan kaum muwahhidin. Ia membangunnya atas perintah Allah swt.
Kedua, bangunan ini tak sesederhana bentuknya yang kubus. Ia disebut sebagai Baitullah (Rumah Allah), yang berarti memiliki nilai kemuliaan yang besar. Karena disandarkan pada Dzat Yang Mahaagung dan Mahasuci, Allah swt.
Ketiga, di masa Jahiliyah, ketika pasukan gajah yang dipimpin Abrahah datang untuk menghancurkannya, Abdul Muthalib sang pemimpin kaum mengatakan: Allah lah pemiliknya!. Kemudian: Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat). (QS: al-Fil 3-5).
Keempat, ia adalah kiblat muslimin pada saat mereka melaksanakan shalat. Tidaklah sah shalat seseorang bila menghadap ke arah lainnya, dan ia harus mengulangi shalatnya.
Kelima, mengitarinya, yakni tawaf di sekelilingnya merupakan ibadah kepada Allah, dan pelakunya diharuskan oleh syariat Islam dalam keadaan suci. Tentunya banyak keutamaan-keutamaan lainnya yang layak untuk ditelaah.
Relasi antara Tempat Lahir dan Yang Terlahir
Terlintas kemudian di benak ini satu pemikiran, bahwa dengan semua keutamaan yang dimiliki Kabah -tak niscaya- menunjukkan, siapapun yang lahir di dalamnya adalah orang termulia! Dengan kata lain, apa relasi antara tempat lahir dan yang terlahir? Secara logis, antara Ali dan Kabah adalah dua sesuatu yang berlainan (tabâyun). Jadi, tak adakah relasi sama sekali antara keduanya?
Saya pikir dari sisi itu tidak ada sama sekali, bahwa lahir di manapun, di dalam kandang domba atau di dalam masjid sekalipun, tak niscaya yang terlahir itu senilai tempatnya. Kita pasti sepakat bahwa kemuliaan seseorang tidak terletak pada dimana ia lahir. Tetapi saya kira kita akan sepakat adanya penilaian walau bermacam-macam- terhadap orang yang lahir di suatu tempat yang memiliki keutamaan atau tidak, dan yang pasti, lahir di dalam Kabah adalah keistimewaan tersendiri bagi yang terlahir, karramallahu wajhah.
Terlepas dari keistimewaan itu, satu soal menyangkut keutamaan yang terlahir –salamullah alaih- di dalam Kabah, yaitu: bagaimana ceritanya, beliau bisa lahir di dalam Rumah Tuhan ini? Sejarah lah yang bisa menjawab soal ini, bahwa pada saat itu dinding Kabah tiba-tiba menganga ketika Fatimah binti Asad hendak melahirkan putranya, Ali bin Abi Thalib karramallahu wajah. Kemudian setelah ia melahirkan dan keluar dari Kabah dengan membawa bayinya yang mulia, dinding itu menutup kembali seperti semula.
Siapa yang Telah Membukanya?
Siapa yang telah membuka dan menutup dinding itu? Sejarah tidak menjawab adalah suaminya, Abu Thalib, selaku juru kunci Kabah masa itu. Saya pikir, pengetahuan akidah yang dapat menjawab soal itu -daripada dikatakan bahwa Kabah lah yang membuka dan menutup dindingnya sendiri. Masalah ini menarik beberapa perkara teologis berikut:
Pertama, hukum kausalitas seperti tiada gerak sesuatu tanpa penggeraknya, dan yang terlintas di sini ialah bahwa yang membuka dan menutup dinding itu tiada lain adalah Sang Rabbul Kabah.
Kedua, terkait dengan kehendak Allah bahwa semua yang ada, makhluk dengan segala fenomenanya adalah atas kehendak dan izin-Nya. Terlebih dengan fenomena yang bersejarah ini, yang dialami oleh Fatimah binti Asad, ibu Sang Imam, dan adalah kehendak Allah swt memuliakan Ali Sang Washi Nabi saw.
Ketiga, tegaskan saja bahwa kejadian itu bukan merupakan mukjizat, tetapi yang jelas adalah sebuah keajaiban yang tak pernah terjadi sebelum dan sesudahnya.
Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, yang terlahir di dalam kiblat muslimin ini layak berbangga meskipun tak harus ia merasa bangga. Jiwanya yang agung lebih besar dari memikirkan soal kebanggaan. Bagi setiap muslim ada kebanggaan tersendiri saat dan pernah tawaf mengitari Kabah, dan dapat menceritakan pengalaman ritualnya ini kepada orang lain. Tetapi siapapun tak mempunyai cerita dan pengalaman lahir di dalamnya, kecuali dia salamullah alain.
Di sisi lain menyambung poin relasi antara dua sesuatu di atas- sebagai penutup makalah ini, ialah bahwa Kabah telah memuliakan beliau dengan membuka dindingnya untuk kelahirannya, yang kemudian besar dalam didikan Rasulullah saw Sang Pendidik terbaiknya, Ali pun selalu menghidupkan dan membesarkan kiblat muslimin ini dengan sirahnya, lebih dari siapapun setelah Rasulullah saw. Sampai dikatakan, bukan Ali yang berbangga diri lahir di dalam Kabah, tetapi Kabah lah yang berbangga diri karena dia.
Saya yakin, Kabah rela Ali sebagai “putra”nya.