Sayidah Khadijah (ra), yang tak Tergantikan
Dalam Musnad Ahmad diriwayatkan hadis Nabi saw: Allah tidak menggantikan untukku yang lebih baik darinya (Khadijah). Ia beriman kepadaku ketika orang-orang kufur terhadapku. Ia mempercayaiku di kala orang-orang mendustakan aku. Ia menghibur hatiku dengan (menyerahkan) harta kekayaannya (kepadaku di jalan Allah) ketika orang-orang menjauhiku. Allah swt telah mengkaruniakan kepadaku anak darinya saja, tidak dari wanita yang lainnya. (hadis 23719)
Di masa hidup Nabi saw, dalam sirah orang-orang yang beriman kepada beliau, bangunan keagamaan mereka berdiri atas keimanan yang bagai pondasi yang menembus ke dalam tanah, mengokohkan bangunan itu di atasnya. Semakin dalam dan mengakar ke dalam bumi, semakin kokoh bangunan itu. Ialah keimanan yang paling unggul.
Ada pula keimanan seumpama tiang yang menjulang, di atasnya adalah atap-atap yang tinggi. Tiang-tiang inilah yang memberikan bentuk hakiki bangunan. Di atas tiang-tiang inilah bangunan dapat diambil manfaatnya. Juga keimanan yang hanya merupakan warna dan tidak memberi efek yang signifikan dan kekuatan bagi bangunan itu, kecuali memberi warna eksternal saja dan menjadi media bagi dirinya (sebagai warna) dan bagi bangunan.
Jadi, tidaklah sama di antara tiga tingkatan iman tersebut, sebagaimana firman Allah swt:
Mengapa kamu tidak menginfakkan (sebagian hartamu) di jalan Allah, padahal Allah-lah yang mewarisi langit dan bumi? Tidak sama orang yang menginfakkan (hartanya) dan berperang sebelum tercapai kemenangan (dengan orang yang menginfakkannya setelah kemenangan tercapai). Mereka memiliki derajat yang lebih tinggi daripada orang-orang yang menginfakkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Tapi Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS: al-Hadid 10)
Khadijah ra adalah ekstensi tingkat pertama keimanan tersebut. Ia, dua puluh lima tahun bersama Rasulullah saw. Pastinya sarat dengan peristiwa-peristiwa dan nilai-nilai, saat ia mendukung penuh dakwah Nabi saw dengan segala resiko yang dihadapinya. Semua kekayaannya ia serahkan kepada beliau. Dengan harta itu, Allah menghidupi muslimin yang fakir di saat mereka krisis pangan dan memerdekakan budak-budak yang beriman yang nyaris mati di tangan para algojo kaum musyrik.
Khadijah dengan keimanan dan pengorbanannya demi risalah yang dibawa oleh Nabi saw, selalu terkenang di benak beliau. Tak jarang Almarhumah disebut-sebut oleh Rasulullah, meskipun telah wafat lima belas tahun silam di masa itu. Meskipun juga di sisi beliau sejumlah isteri, mereka tak mampu menggantikan posisi Khadijah di hati beliau.
Gelar Ath-Thâhirah (Wanita Suci)
Komitmen di tengah lingkungan yang taat agama, tidaklah sesulit di tengah masyarakat yang menyimpang seperti kaum jahiliyah. Orang yang berlaku demikian, ibarat mendaki puncak dengan diterjang ombak. Meski ombak terus menerjangnya, ia tetap konsisten di jalannya. Khadijah binti Khuwailid as adalah pribadi yang semacam itu. Masyarakat di masa itu menjadi lingkungan yang penuh kemaksiatan dan penyimpangan. Kesewenang-wenangan dan perzinahan sudah tak dapat dihentikan oleh para pembesar Quraisy, apalagi oleh kaum di bawah kelas mereka.
Para tokoh mempunyai andil dalam terciptanya sosial ini. Tetapi tambang pilihan dimiliki wanita salehah ini, dan keunggulan akalnya (ketika kesempurnaan ini banyak dimiliki kaum laki, dan tidak bagi kaum wanita kecuali empat orang: yang pertama adalah Khadijah as, sebagaimana diterangkan dalam hadis Rasulullah saw) menjadikan ia menempuh jalan kesempurnaan, keutamaan dan kesucian. Sehingga di masa jahiliyah dan pra Islam, ia menerima gelar ath-Thâhirah (wanita yang suci).
Di jalan yang mulia itu ia mencari seorang yang thâhir (lelaki suci) untuk hidup bersamanya. Sang lelaki termulia ini pun memenuhi undangan Khadijah yang takjub dengan apa dia dengar tentang Muhammad bin Abdullah saw, pemuda istimewa di tengah masyarakat Mekah. Ia lain daripada yang lain dan tak seorangpun yang menyamainya dalam kesempurnaan akhlak dan sikap pemisahan diri dari atmosfir jahiliyah yang meliputi masyarakat Mekah.
Khadijah memikirkan cara pendekatan kepadanya. Inilah bukti kesempurnaan akalnya. Seandainya ia menyerah pada kondisi umum, maka ia takkan menjauhi kaum konglomerat yang tak bermoral, para tokoh masyarakat dan kepala suku. Juga takkan menjauhi tradisi-tradisi mereka. Tetapi ia menyaksikan dengan nyata (fenomena-fenomena jahiliyah). Ia adalah wanita yang telah menentukan garis masa depannya.
Sang wanita teladan ini mulai memikirkan cara yang tepat untuk mendekati Muhammad (saw). Sementara Muhammad bin Abdullah saw telah menginjak usia yang menuntut kemandirian dan percaya diri. Bahkan ia harus membantu pamannya, Abu Thalib. Ketika dua keinginan bertemu, maka Muhammad saw pergi membawa harta benda Khadijah ke Syam untuk diperniagakan dalam bagi hasil dengannya. Maisarah (lelaki) pembantunya yang mengiringi perjalanan dipenuhi rasa takjub terhadap apa yang ada pada diri dan yang datang dari- Muhammad saw.
Dialah Muhammad saw, yang selalu jujur dalam bicara dan selalu amanat dalam muamalah. Namun demikian, ia meraup keuntungan yang memuaskan. Alhasil ia kemudian datang bersama pamannya, Abu Thalib untuk melamar Khadijah. Sang paman mengungkapkan di saat melamar Sayidah Khadijah untuk keponakannya:
Adapun putra saudaraku ini, adalah seorang yang tak dapat dibandingkan dengan lelaki Quraisy manapun kecuali dialah yang terbaik, termulia di antara semua lelaki dan paling adil di antara seluruh manusia. Walau ia kurang berharta, sesungguhnya harta itu pemberian yang akan berlalu dan bayangan yang akan lenyap. Ia mempunyai keinginan terhadap Khadijah.. (Furu al-Kafi/5/375)