Sudahkah Layak Kita Mengklaim Diri Sebagai Pecinta dan Pengikut Ali ? Refleksi atas Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dalam Rumah Cinta Fatimah
Fardiana Fikria Qur’any, M.Ud_________ Merayakan Ghadir Khum menjadi satu tradisi bagi kalangan muslim Syi’ah. Ghadir Khum adalah peristiwa pengangkatan Ali bin Abi Thalib oleh Nabi Muhammad SAW pada Haji Perpisahan (wada’). Nabi Muhammad SAW bersabda “Man kuntu Mawla fa hadza Ali Mawla” yang berarti “Siapa yang menjadikan Aku sebagai wali, maka dia pun menjadikan Ali sebagai walinya”. Terlepas dari perdebatan kata “wali” di kalangan Sunni maupun Syi’ah, Ali (kw) tetap pernah mengukir sejarah sebagai pemimpin yang berilmu dan bijaksana. Kita tidak perlu lagi fokus pada dialog teologis antar mazhab pemikiran, melainkan perlu memfokuskannya pada refleksi diri tentang bagaimana pembuktian diri sebagai pecinta dan pengikut Ali bin Abi Thalib.
Setiap tahun perayaan Ghadir Khum dirayakan seperti halnya kita merayakan hari kelahiran kita. Kita berbahagia atas diangkat dan dideklarasikannya Ali bin Abi Thalib sebagai penerus tampuk kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Kita hadir di majelis perayaan, membaca doa bersama, mendengar ceramah dan berbagi bingkisan. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah dengan rangkaian seperti itu kita sudah melakukan satu hal yaitu, merefleksikan sejauh mana keimanan kita terhadap kewilayahan Ali bin Abi Thalib berdampak pada sikap dan akhlak kita sehari-hari sebagai manusia? Sebagai orang yang mengklaim sebagai pecinta dan pengikut Ali, sudahkah kita membuktikan cinta kita melalui pikir, tindak dan laku kita? Jika kita sudah mencintai Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin kita, apa bukti yang bisa dibilang sebagai bentuk cinta kita pada sang imam?
Ali sebagai Pemimpin Rumah Cinta Fatimah
Ali bin Abi Thalib memiliki kualitas intelektual dan spiritual yang sejak kecil dibangun di rumah kenabian. Ilmu yang didapatkannya secara langsung dari Nabi Muhammad telah terinternalisasi dan terimplementasi dengan baik di dalam dirinya. Sebagai sosok pemimpin, Ali bin Abi Thalib tidak bisa dilepaskan dari sisi lain dirinya sebagai seorang suami dari Fatimah dan ayah dari Hasan, Husein, Zainab dan Ruqayyah. Karena sebelum Ali bin Abi Thalib menjadi pemimpin umat pamannya, ia sudah lebih dahulu menjadi pemimpin bagi Fatimah, perempuan yang juga dididik dalam rumah kenabian dan pemimpin bagi anak-anaknya. Maka, keteladanan Ali sebagai pemimpin rumahtangga dan keluarganya perlu dijadikan teladan terlebih dahulu sebelum beranjak pada kepimimpinan umat.
Nabi Muhammad SAW berpesan kepada Ali bin Abi Thalib di malam pengantin Ali dan Fatimah:
“Wahai Ali, janganlah engkau marah. Jika engkau marah, berdirilah. Ingatlah ketentuan Allah atas hamba-Nya, yakni agar engkau bersikap secara santun kepada mereka. Dan jika katakan kepadamu, “Bertakwalah kepada Allah”, tinggalkanlah amarahmu dan kembalilah pada sikap santun dan sayangmu.”.[1]
Ali tidak hanya menganggap Muhammad sebagai ayah mertuanya, melainkan segala nasehatnya merupakan kebenaran yang menjadi pedoman dan pegangan baginya dalam menjalani bahtera rumah tangga. Sikap sopan santun dan kasih sayang seorang laki-laki menjadi hal yang sangat penting dalam menjalani bahtera rumah tangga terutama saat ia dalam kondisi marah. Oleh karena itu, dari sini kita bisa mengambil teladan dari Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin dalam rumah cinta fathimah sebagai teladan yang mendidik isteri dan anak-anaknya dengan penuh cinta dan kasing sayang. Menegurnya dengan lembut tanpa sedikitpun melukai perasaan. Dengan demikian, seorang pecinta dan pengikut Ali semestinya ketika memerankan perannya sebagai suami perlu mencontoh bagaimana Ali bin Abi Thalib mendidik isteri dan anak-anaknya dengan kesantunan serta kasih sayang.
Selain itu, dalam pembagian peran-peran domestik-publik, Ali dan Fatimah sudah menyepakati pembagian tugas-tugas rumah tangga. Kesepakatan ini diambil dari saran yang juga diberikan oleh Nabi Muhammad SAW ketika dimintai pendapatnya tentang pembagian tugas di rumah cinta Fatimah. Terkait tugas domestik, Fatimah mengerjakan tugas yang ringan seperti memasak dan Ali mengerjakan tugas yang berat seperti memikul air. Namun setiap Ali memiliki waktu, ia akan membantu isterinya mengerjakan tugas-tugas domestiknya. Adapun kerja publik adalah tugas dan peran yang dimainkan oleh Ali bin Abi Thalib dan meskipun begitu Fatimah juga melakukan peran publik di saat mendampingi suaminya berjihad ataupun melakukan perjalanan.[2]
Pembagian peran-peran rumah tangga Fatimah dan Ali baik publik maupun domestik diambil berdasarkan kesadaran dan keridhoan keduanya, bukan berdasarkan unsur domestifikasi dan dominasi salah satu pihak. Fatimah mengatakan bahwa dirinya sangat bahagia ditempatkan pada pekerjaan-pekerjaan yang tidak memerlukan interaksi dengan para pria.[3] Dasar pembagian peran rumah tangga ini perlu dicontoh oleh setiap kita yang mengklaim diri sebagai pecinta dan pengikut keduanya, terutama pengikut Ali bin Abi Thalib.
Terakhir yang terpenting dalam pernikahan Ali dan Fatimah, Ali tidak menghadirkan sosok perempuan lain selain Fatimah dalam rumah tangganya. Ali tidak melakukan praktik poligami saat ia menikah dengan Fatimah. Berbagai asumsi bisa saja bermunculan kenapa Ali melakukan monogami saat bersama Fatimah seperti halnya Nabi Muhammad yang juga melakukan monogami saat bersama Khadijah, namun yang perlu kita ingat adalah sebelum Ali dan Nabi Muhammad SAW melakukan poligami, mereka sudah lebih dahulu melakukan monogami dan sukses dalam pernikahannya.
Mari kita refleksikan tiga hal (Mendidik dengan Kasih Sayang, Terlibat dalam Peran-Peran Penting dalam Rumah dan Melakukan Monogami) tadi dengan kehidupan kita hari ini. Kita perlu bertanya pada diri kita sendiri. Apakah kita sudah melakukan ketiganya dalam memimpin rumah cinta kita? Apakah kita sudah memuliakan isteri kita dengan cara mendidik mereka dengan kasih sayang, melakukan peran dan tugas bersama baik itu rumah tangga maupun kepengasuhan anak? Apakah kita sudah sukses dengan pernikahan yang kita lakukan? Mari kita refleksikan kembali dan jika masih ada yang kurang, kita terus belajar untuk memperbaiki setiap kekurangan diri, sehingga kita bisa dengan layak mengklaim diri ini adalah pecinta dan pengikut Ali bin Abi Thalib.
[1] Fuad Abdurrahman, Fatimah az Zahra: Pemimpin Wanita di Surga. (Jakarta: Republika, TT). Hal. 70
[2] Fuad Abdurrahman, Fatimah az Zahra: Pemimpin Wanita di Surga, Hal. 71
[3] Fuad Abdurrahman, Fatimah az Zahra: Pemimpin Wanita di Surga, Hal. 72