Tafsir Haji Kontemporer
Semua ulama dan umat Islam, entah mereka dari Ahli Sunnah, Syiah, atau dari mazhab lainnya, sepakat sepenuhnya bahwa haji merupakan rukun Islam di samping kewajiban-kewajiban: shalat, puasa, zakat. Kendati di antara sebagian ulama, khususnya kalangan mufasir, dijumpai aneka perbedan penafsiran atas ayat-ayat Al-Quran, namun semua mufasir sepakat mengenai ayat haji di surah Al Imran [3]: 97, Allah SWT berfirman:
“Berhaji di rumah [Allah: Ka’bah] adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu [bagi] orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke rumah Allah; barangsiapa mengingkari [kewajiban haji], maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”.
Tidak ada yang berselisih pendapat mengenai kewajiban haji dalam ayat ini. Semua umat Islam, dengan metode tafsir dan pemahaman apa pun, menyimpulkan bahwa dalam ayat ini, Allah SWT mewajibkan haji ke atas segenap muslim dengan syarat ia memiliki kemampuan dalam melaksanakannya. Sedemikian tegasnya kewajiban ini sampai-sampai Allah SWT memperingatkan kekufuran, yakni pengingkaran, terhadapnya.
Kendati sama dengan shalat, kewajiban haji juga dilakukan pada waktu tertentu. Seperti juga puasa di bulan Ramadhan, kewajiban dilakukan pada bulan Dzul Hijjah. Namun tidak seperti kewajiban shalat dan puasa bulan Ramadhan, haji wajib dilaksanakan hanya di tempat tertentu, yaitu di tanah suci Mekah dimana rumah Allah Baitullah yang suci berada.
Karena pelaksanaannya selalu tiba setahun sekali, hanya pada bulan Dzul Hijjah, tentu saja haji memiliki peran penting dalam urusan tahunan dalam skala internasional dan lintas bangsa. Nilai-nilai dan semangat haji bukan hanya diupayakan agar tertanam pada masing-masing jemaah, tetapi jemaah dalam pengertian harfiahnya, yakni himpunan dan kelompok, juga menanamkan nilai-nilai serta semangat yang diperoleh sepanjang melaksanakan haji dalam kehidupan kolektif dan berjamaah. Maka, haji pada tahun ini tentu dan sudah semestinya memiliki semangat yang unik bagi kepentingan dunia Islam dan masyarakat Muslim sedunia.
Manasik haji tak ubahnya mata air jernih yang membersihkan seorang jemaah dari kotoran dosa dan kelalaian sekaligus mengembalikan cahaya fitrah ilahi ke dalam jiwa dan hatinya. Menanggalkan segala bentuk pakaian kebesaran di miqat dan menggantinya dengan baju ihram yang sama dan sewarna merupakan simbol persatuan umat Islam sekaligus perintah untuk menjaga solidaritas di antara umat Islam di seluruh penjuru dunia.
Dari satu sisi haji membawa semangat: “…maka Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa karena itu berserah dirilah kalian kepadaNya, dan berilah kabar gembira kepada mereka yang tunduk patuh (kepada Allah)” (QS. Al-Hajj: 34).
Di sisi lain, didengungkan seruan: “…dan Masjidul Haram yang telah Kami jadikan untuk semua manusia baik yang bermukim di sana maupun yang di padang pasir…” (QS. Al-Hajj: 25).
Selain sebagai simbol kalimat tauhid, Ka’bah juga menjadi lambang tauhid kalimat (persatuan) dan persaudaraan Islam.
Umat Islam yang berdatangan dari segala penjuru dunia ke tempat ini karena kerinduan bertawaf mengitari Kabah dan berziarah ke haram suci Rasulullah SAW, hendaknya memanfaatkan peluang yang
ada untuk memperkokoh jalinan persaudaraan antara mereka, dan ini adalah satu dari sekian problematika besar yang dihadapi umat Islam. Hari ini, kita menyaksikan secara nyata betapa kaum durjana yang memusuhi dunia Islam kian getol menebar pertikaian di tengah umat. Karenanya, umat Islam kini merasakan adanya kebutuhan mendesak kepada persatuan dan solidaritas di antara mereka.
Hari ini, kaum Muslimin di seluruh dunia harus memikirkan bagaimana dan di mana agenda serangan fitnah, perang, peledakan, aksi teror dan pembantaian buta yang menghanguskan sejumlah negara seperti: Irak, Afganistan dan Pakistan, dalam beberapa tahun terakhir ini, diprogram dan disusun. Setelah hembusan kebangkitan Islam menggugah dan bangsa-bangsa ini pun tersadarkan, kaum imperialis tak lagi bisa mempertahankan kondisi internasional yang mereka tata. Kematian syahid, mi’raj ke sisi Allah dan di jalan Allah kembali muncul menjadi faktor tak tertandingi yang menggerakkan jihad.
Hari ini, kaum imperialis modern dengan beragam rupanya telah mengerahkan segala sarana dan potensi untuk menundukkan Islam. Mereka mengerahkan segalanya dari pasukan militer, tangan-tangan besi, dan pendudukan secara terbuka, hingga rangkaian mesin-mesin media propaganda. Berbagai cara dan metode menebar kebohongan dan isu mereka lakukan. Para teroris dan pembunuh berdarah dingin diterjunkan. Sarana-sarana penebar kebejatan moral juga dimanfaatkan dan disebarluaskan. Candu dan narkotika diperbanyak dan ditebar. Semangat dan kesucian moral anak-anak muda jadi sasaran. Gempuran politik masif pun tak luput dikerahkan untuk melemahkan pusat-pusat perlawanan dan moqawamah. Sentimen kesukuan dan fanatisme madzhab dan kelompok ikut diusik untuk menebar permusuhan di antara saudara.
Jika antara bangsa-bangsa Muslim dan antara penganut berbagai madzhab Islam, atau suku-suku Muslim terjalin hubungan cinta kasih, sikap saling berbaik sangka dan solidaritas, tentu buruk sangka antara mereka -yang memang diinginkan oleh musuh- akan sirna. Saat itu, sebagian besar konspirasi busuk musuh akan lumpuh dan agenda mereka untuk semakin menancapkan kekuasaan atas umat Islam akan gagal. Ritual haji adalah salah satu momentum yang paling berharga untuk mewujudkan cita-cita yang luhur ini. Dengan bekerjasama dan berpijak pada prinisp-prinsip kesamaan antara mereka yang telah dinyatakan oleh Al-Quran dan Sunnah, umat Islam akan menjelma menjadi kekuatan yang mampu berdiri tegar di hadapan berbagai agenda jahat dan bahkan mampu membuatnya takluk di hadapan tekad dan keimanan Islam.
Sebagai mayoritas Muslim terbesar dibanding negara-negara berpenduduk muslim, para jemaah haji, keluarga haji, penyelenggara haji dan umat Islam Indonesia sudah sepatutnya tidak hanya berhenti pada kemufakatan dan seragaman dalam memahami ayat haji di muka itu sebagai kewajiban, tetapi juga kita yang lebih wajib lagi bagaimana kita bahu membahu menerapkan nilai-nilai yang dibawa dari Baitullah yang suci itu pada kehidupan di negeri kita dan menjadi salah satu kontribusi dalam memecahkan berbagai keinginan dan kehendak buruk. Kita bisa dengan mudah, setidaknya, meyakinkan diri sendiri, bahwa haji tidak bisa berkumpul dengan korupsi, terpidana korupsi, pengguna narkoba, pendakwah kebencian dan penebar fitnah tidak layak meyandang gelar haji.