Tafsir Isyari Menguak Aspek yang Terabaikan
Oleh : Salman Fadllullah, M.A
Apresisasi kaum muslimin dari berbagai kalangan terhadap al-Quran menunjukkan bahwa al-Quran—baik disadari atau tidak—adalah bagian dari kekuatan kudus. Dr. Syihabudin Qalyubi menyatakan bahwa banyak orang yang kagum kepada al-Quran,
namun mereka tidak dapat menjelaskan mengapa mereka kagum atau tertarik. Pesona al-Quran bukan hanya karena faktor dogma teologis tapi juga karena ada faktor inheren di dalam teks itu sendiri.Karena itu, Thâhâ Husayn (1889-1973) menyatakan bahwa al-Quran tidak bisa disebut dengan puisi atau prosa. Al-Quran tidak bisa bisa dikategorikan dengan nama apapun. Ia adalah kitab yang sangat sempurna yang datang dari Yang Mahabijak dan Maha memiliki pengetahuan.
Al-Quran adalah kalamullah dan kitabullah sekaligus. Kalamullah artinya wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw, adapun kitabullah artinya mushaf yang ada di tangan kita ini—yang terjaga keasliannya dari sejak diturunkan hingga sekarang. Al-Quran sebagai kalamullah jika kalam difahami sebagai sifat Allah—maka al-Quran bukanlah makhluk; ia abadi. Namun jika kalamullah difahami sebagai kreasi, perbuatan (af ’al) Allah yaitu Allah berbicara kepada Rasulullah—maka ia adalah makhluk-Nya, sebab Af ’al tuhan meniscayakan sisi lain yang menjadi penerima wahyu tersebut. Kesalahfahaman dalam menempatkan makna kalamullah ini pernah melahirkan fitnah antara Asy’ari dan Muktazilah. Kelompok Asy’ari menuduh Muktazilah—yang menganggap al-Quran sebagai makhluk—telah kafir. Sebab dianggap telah merendahkan sifat Allah dan menyamakannya dengan makhluk.
Bangunan Islam didirikan di atas ilmu pengetahuan . Ilmu pengetahuan artinya adalah kesadaran spritual dan intelektual dan maxim dari para pengembannnya. Masalah-masalah yang timbul dari aliran-aliran Islam di era klasik, bisa jadi sumbernya dari kekacauan cara berpikir dan nalar yang tidak logis dan tidak sistematis; tidak holistik alias parsialis, atau mengabaikan proses alamiah dan ilmiahnya, atau tidak diuji secara metodologisnya oleh para ahli zamannya, dan suka menyederhanakan pendekatan atau mengebiri akal sehat, tidak mempertimbangkan opini-opini umum, tidak berusaha menguji validitas tafsirannya dengan tafsiran yang lain, sekaligus mengabaikan standar-standar baku dari pada pakarnya
Mengkaji tafsir ayat al-quran rasanya tak akan pernah lekang oleh zaman—sebab setiap orang yang beriman selalu membutuhkan pencerahan-pencerahan al-Quran—dan rasanya tidaklah salah bahwa salah satu mukjizat al-quran adalah petunjuk spiritualnya (hûdan) yang akan membuat takjub siapapun yang mencoba menghampirinya.
Dari sisi lain al-Quran juga bisa menjadi sumber polemik dari yang lembut hingga yang kasar dan bahkan menjadi justifikasi untuk tindakan-tindakan yang justeru bertentangan dengan semangat al-Quran sendiri. Tetapi ini bukan kesalahan al-Quran. Menurut Mulla Sadra, manusia lah yang menjadikan teks al-Quran itu cahaya yang menyinari hatinya ataukah ia membelenggu dirinya, menghijab dirinya dari cahaya al-Quran. Karena itu, tidak semua tafsiran atas al-Quran bisa dibenarkan. Kita harus mendudukan hirarki tafsiran—secara proporsional—dari yang termulia sampai
yang terburuk dan terjahat dari al-Quran.
Analisis atas pelbagai kecenderungan studi al-Quran digagas secara sistematis oleh Ignaz Goldhiher. Dalam magnum opusnya tentang madzab-mazhab tafsir. Ia membagi studi tafsir dari era klasik hingga modern menjadi studi al-Quran tradisionalis, studi al-Quran dogmatik, mistik, sektarian dan modern
Al-Quran menurut para arif
al-Quran secara literal artinya himpunan, kumpulan, koleksi. Sinonim al-Quran adalah al-Furqan yang artinya memecahmecah, memisah-misah, merinci. Allah swt berfirman : Innâ alaynâ jam’ahu wa quranâhu, faidza qaranâ fattabi quranahu, tsumma alaynâ bayanahu. Sesungguhnya kami yang menghimpun alquran dan pabila kami bacakan al-Quran maka ikuti bacaanya dan sesungguhnya kami yang akan menjelaskannya.
Himpunan itu adalah ilmu ijmali, akal basith, dan furqan adalah ilmu nafsani yang terperinci. Rasulullah dalam al-Quran menyatakan : “utîtu jawâmi’ al-Quran” (aku dikaruniai al-Quran yang sangat lengkap). al-Quran yang ada di tangan kita atau mushaf ini adalah al-Quran sekaligus juga al-Furqan. al-Quran itu adalah entitas yang sangat agung sebab datang dari Tuhan, kemudian diturunkan pada Muhammad dan kemudian diturunkan lagi kepada
yang lebih rendah lagi yaitu umatnya.
Al-quran sekalipun sesuatu yang sangat tak terkatakan ketinggian martabatnya tapi dipersembahkan apa adanya; dibungkus dengan
tirai-tirai material huruf agar bisa difahami oleh makhluknya ini lutf Allah swt kepada hamba-hamba-Nya. Ibarat intan yang mulia yang tidak bisa disentuh oleh tangan-tangan kotor, karena itu dibungkus dengan kain agar siapa saja bisa menggenggamnya dan merasakan nilainya, Di dalam surat al-Anfal ayat 23, Allah swt berfirman, “Seandainya Allah mengetahui ada kebaikan pada mereka, pasti Allah akan membuatnya mereka mau menyimaknya.”
Maksudnya bahwa menyimak al-Quran menuntut kualitas diri yang mulia, supaya Allah berkenan membukakan pintu hatinya. Jika tidak ada kualitas diri seperti itu, maka Allah tidak akan berkenan membukakan mata hatinya.
Al-Quran itu diselimuti oleh berbagai hijab, ribuan hijab agar bisa dicerna oleh yang lemah akalnya, sebab yang terlalu benderang akan menyilaukan mata yang lemah, sepertinya halnya kelelawar yang tidak kuat dengan cahaya matahari, karena itu mereka tidak suka berkeliaran di siang hari. Agar si lemah dapat menikmati cahaya al-Quran, cahaya itu tidak dilemahkan intensitasnya tapi cahaya itu tapi dibungkus dengan ribuan pembungkus (hijab),
al-Quran itu satu hakikat tapi memiliki martabat-martabat dalam penurunnya dan memiliki ragam nama sesuai ragam lokus. Al-Quran yang ada di tangan kita adalah Kalamullah dan Kitabullah sekaligus. Sebagai kalamullah ia adalah cahaya maknawiyah. yang diturunkan kepada hati-hati para kekasih-Nya. Al-Quran mengisyaratkan “Walakin ja’anlahu nûran nahdî bihi man nasyâ min ‘ibâdina. wa bil haqi anzalnâhu wa bilhaqi nazala. Akan tetapi kami jadikan (al-Quran) sebagai cahaya yang dengannnya Kami beri petunjuk siapa saja yang kami hendaki dan hakikatnya yang kami
turunkan al-Quran.
Al-Quran menurut Mulla Sadra
Perbedaan antara kalamullah dan kitab-Nya
Mulla Sadra membedakan antara kalamullah atau wahyu dengan kitabullah. Pertama al-Quran secara hakikat diturunkan kepada Muhammad—wa bil haq anzalnâ, dan hakikat (al-Quran) kami turunkan (kepada Muhammad)—ini menegaskan bahwa sesungguhnya dalam tingkatan yang paling tinggi Muhammad telah menerima keseluruhan al-Quran dan sekaligus hakikatnya. Namun dalam tingkatan untuk umatnya beliau harus menyampaikannya
disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Mulla Shadra mengatakan bahwa Al-quran memiliki derajat-derajat dan manzilah-manzilah seperti layaknya manusia juga memiliki derajat-derajat. Derajat yang paling bawah dari al-Quran adalah seperti derajat yang paling bawah dari manusia. Derajat yang paling bawah dari al-Quran yaitu (nushaf) yang ada di antara dua jilid dan demikian juga derajat yang paling bawah dari manusia adalah apa yang ada di kulitnya. Dan bagi setiap derajat ada para pemikul (hamalah) yang selalu menjaganya dan mencatatkannya—yang tidak akan disentuh kecuali setelah membersihkan diri dari kotoran (hadats) atau kebaharuan (huduts) atau setelah menyucikan diri dari belenggu-belenggu tempat dan status imkan (possibility states). Manusia yang terbelenggu dengan lahiriyah (literalis) hanya akan mengapresiasi kulit teks-teks) alQuran. Sementara yang dapat menangkap ruh al-Quran hanyalah
ulul albab ( orang-orang yang tercerahkan hati dan pikirannyapenulis).
Di dalam surat al-Hasyr, Allah Swt berfirman, “Seandainya alQuran itu kami turunkan di atas gunung maka gunung itu akan hancur karena takut kepada Allah swt.” Ayat seperti ini tidak mendapatkan refleksi yang mendalam dari sebagian kalangan kaum muslimin. Sebagian orang hanya mengukur kemuliaan, kehormawan dari penampilan-penampilan lahiriyah dengan tanpa memperhatikan kualitas-kualitas batinnya. Cara pandang seperti itu
telah menjerumuskan seseorang pada pandangan dunia positifisme yang menjadi kaki tangan materialisme
Mengkaji tafsir ayat al-Quran, rasanya tak akan pernah lekang oleh zaman—sebab setiap orang yang beriman selalu membutuhkan pencerahan-pencerahan al-Quran—dan rasanya tidaklah salah bahwa al-Quran adalah mukjizat abadi dan terbesar dari mukjizatmukjizat yang lain. Salah satu mukjizat itu adalah kekuatan petunjuk spiritualnya (hûdan).
Setiap orang membutuhkan petunjuk al-Quran, namun jarang sekali yang berjalan melalui proses yang alamiah dan ilmiah. alQuran mengatakan hal yastawiladzina ya’lamu walladzian la ya’lamuna? Apakah sama orang yang mengetahui dengan yang tidak mengetahui? Di sini perlu mendapatkan perhatian penuh bahwa memilih jenis tafsir bukanlah karena suka atau tidak suka yang kadang-kadang membelenggu seorang penafsir atau orang
yang belajar tentang tafsir—tapi harus karena cahaya ilmu.
Memilih tafsir isyari bukanlah karena pergeseran paradima dari literalis (zahiri) menjadi esoteris (maknawi) atau dari esoteris menjadi tafsiran eksoteris dan esoteris (tafsir zahir wal batin) namun lantaran ilmu. Bahwa dalam islam pengetahuan tidak hanya terbatas pada yang lahiriyah namun juga batiniyah , intuitif, mental, cognitif, dan lebih jauh lagi adalah kasyaf. Pengetahuan tidak hanya didapat lewat penyimpulan nalar tapi juga lewat pengalaman dan juga lewat pembersihan diri (tazkiyatun nafs). Seperti yang dicontohkan oleh Imam Shadiq as yang dilukiskan oleh Imam Malik bahwa imam Shadiq selalu dalam tiga kondisi ; sedang menunaikan salat, sedang berpuasa, atau sedang membaca al-Quran, dan tidak pernah
menyebutkan nama Rasulullah tanpa dalam keadaan berwudu.
Keistimewaan Tafsir Isyârî
Kehidupan ini sangat ditentukan oleh apa yang tidak tampak, yaitu perasaan, emosi, iman, sesuatu yang sangat tidak tersentuh oleh indrawi, dan sesuatu yang tidak bisa dilacak oleh alat-alat fisik. Yang sangat halus dan lembut justeru memiliki efek yang sangat dahsyat. Adalah sangat mustahil al-Quran tidak menghargai pengetahuan-pengetahuan batin yang diperoleh oleh seseorang yang selama hidupnya beribadah dengan ikhlas kepada Allah swt. Pengetahuan yang bersifat batin, ilhami, intuitif, contemplatif memiliki tingkatan-tingkatan antara satu yang lain
Jika al-Quran hanya sekedar himpunan kata-kata yang kering dan tidak mengandung makna-makna batin maka tidak mungkin melahirkan inspirasi-inspirasi spiritual. Sayid Qutub misalnya sekalipun dikenal sebagai pembela kelompok literalis—pernah mengatakan bahwa kebahagiaan spiritual dan ilham sebagai sesuatu yang sangat menentukan bagi kehidupan bagi setiap orang
Menurut saya pandangan yang parsial tentang al-Quran itu beranjak dari sikap yang tidak adil terhadap ayat-ayat lain. Mereka tidak memiliki pengetahuan atau tidak membaca ayat-ayat lain yang secara diametrikal berbeda dan yang ketiga ini adalah penyakitnya para ulama yaitu kurang analisa yang tajam; sesuatu sikap yang tidak terpuji. Al-quran mengatakan bahwa hanya orang-orang yang serius, giat mengasah pikikran dan menganalisa dengan tajam yang akan memperoleh wawasan yang maksimal (insight).Dengan demikian perintah untuk tafakur dan berpikir bukanlah sekedar berpikir saja tapi memang benar-benar berpikir dan mengerahkan seluruh waktu, tenaga dan analisa dengan data-data yang lebih lengkap untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih matang.
Tafsir isyari memberikan makna yang dalam atau hakikat dari setiap simbol. Dalam ayat terakhir surah al-Fatihah, misalnya kita diingatkan bahwa kata maghdubi ‘alayhim yang biasanya untuk menunjukkan kelompok Yahudi dan Nasrani—ternyata juga bisa menampar wajah orang-orang muslim. Ibnu Arabi dalam tafsirnya mengatakan yang bahwa yang dimaksud dengan kata maghdubi alayhim adalah mereka yang terhijab oleh hijab materi, hijab
inderawi (hijab jasmani) dan hijab dzawq hissi sehingga tidak bisa merasakan karunia kalbu, karunia akal. Dan itu mirip dengan orang-orang Yahudi sebab justifikasi mereka tentang hal-hal yang eksoteris. Dengan demikian, jika orang-orang muslim juga terbelenggu oleh materi, jasmani dan sensual (hissi) sehingga sulit mendapatkan karunia-karunia spiritual, mereka juga adalah bukti konkret (misdhaq) dari frase ayat maghdûbi alayhim.
Dengan bantuan tafsir-tafsir esoteris, bisa diakses makna-makna yang lebih mendalam, komprehensif—yang sering hilang dalam tafsiran-tafsiran teologis dan jurisprudensi atau sektarian, apalagi tafsiran politis fundamentalis. Tafsir isyari juga adalah bentuk apresiasi atas amal atas akhlak sebab makna-makna itu ditemukan oleh orang-orang suci dan yang ingin membersihkan dirinya. Dengan kata lain, lewat tafsir isyari, kita menemukan epistemologi tak terbatas dari pengalaman keberagamaan (religious experience) yang sangat tak terbatas. Dan untuk menyerap Yang Takterbatas,
tentu memerlukan tafsiran-tafsiran yang tak membatasi potensi manusia dalam dimensi tertentu.
Dari sisi lain, terlalu melompat pada tafsiran isyari juga kadang-kadang jika belum waktunya yang pas, dikhawatirkan akan kurang mengapresisi kekayaan tafsir-tafsir yang lain seperti : tafsir bil matsûr, tafsir lughawi, dan tafsir-tafsir lain. Lebihlebih dengan tafsiran isyari kadang-kadang terasa hilang dimensi historis, ruang, waktu, konteks dan teks. Saat kita membaca surah Yusuf misalnya kita bisa menghirup dimensi korporeal; sejarah,
perjuangan dan penderitaan seorang anak muda yang dizalimi,dan difitnah, Demikian juga dengan sejarah dakwah Nabiyullah Musa
as, kita bisa merasakan degup keberanian dalam melawan tiran yang sangat bengis di zamanya.
Pada akhirnya, kita akan melihat bahwa setiap orang lebih suka dengan pilihan-pilihannya sendiri, Sebagian orang lebih senang memilih ayat-ayat yang sesuai dengan selera hati dan pikiran mereka sambil mengabaikan ayat-ayat lain. Mulla Sadra menyatakan bahwa ketika pendapat telah menjadi keyakinan akhirnya akan terbelenggu dengan pendapatnya dan jika pendapatnya kesesatan maka akan keyakinannya menjadi kegelapan yang nyata.
Aktifitas membaca atau menafsirkan al-quran adalah penyatuan antara wujud yang lemah dengan Sang Wujud Yang Mahamulia. Jadi secara ontologis tafsir adalah sebuah upaya untuk meningkatkan kualitas wujud, sebab kuantias dan kualitas ilmu akan meningkatan intensitas wujud. Seperti yang disinggung di atas, bahwa secara epistemologis tafsir isyari adalah suatu bentuk apresiasi atas pencarian ilmu lewat penyucian diri. Salah satu upaya penyucian diri adalah dengan melawan dorongan-dorongan rendah dari jiwa, yaitu nafsu. dalam hadis dikatakan : “Sesungguhnya Allah swt mencintai
sang pemberani, yaitu yang berani membunuh hayat (ular) dan tidak ada hayat (ular) yang lebih mengerikan dari nafsumu; taklukanlah dan selamatkan dirimu dari racunnya yaitu akidah yang batil, pendapat yang kotor, dan pengaruh-pengaruhnya.”
Tafsir Isyâri (tafsir esoteris) Ibnu Arabi dan Mulla Sadra
Menghadirkan gagasan Ibnu Arabi dan Mulla Sadra dalam konteks ayat-ayat al-Quran merupakan kajian baru dan menarik karena sementara ini, tafsir esoteris keduanya masih jarang diapresiasi. Sebagian besar apreasisi para peneliti masih sering dipusatkan pada studi-studi doktrin-doktrin metafisik atau teologi. Padahal jika dilihat dari kualitas dan kuantitas, tafsir mereka berdua didasarkan pada sebuah teori yang utuh dan kuat dan memiliki basis
dari sumber-sumber ajaran Islam. Yang kedua juga dari kekayaan literatur dan kemudahan mendapatkan kitab-kitab mereka. Mulla Sadra misalnya, memiliki kajian tersendiri dalam kitab seperti Mafâtîh al-Ghayb yang menjadi pengantar untuk memahami sisi batin al-Quran dan irfannya, demikian juga dengan delapan jilid tafsir filosofis dan irfannya dan beberapa kitab kecil tentang rahasia ayat-ayat dan kritikan untuk pseudo-sufism. Sementara Ibn Arabi sendiri memiliki kitab-kitab yang dipenuhi dengan tafsir-tafsir alQuran, Kitab Futuhat al-Makiyyah misalnya sebetulnya adalah sebuah kitab tentang tafsir al-Quran dan kitab-kitab lain yang terselamatkan.
Tafsir Mulla Sadra adalah perpanjangan dari filsafat hikmah muta’aliyahnya, demikian juga tafsir yang dinisbatkan kepada Ibnu Arabi adalah wadah bagi teori-teori utamanya. Menurut Dr. Sulayman Atasy, puncak zaman keemasan tafsir isyari terjadi di era Ibnu Arabi,banyak para penafsir besar lahir dari haribaan pengaruh ibnu Arabi seperti Kâsyânî, Simnânî dan setelah itu tafsir isyari kehilangan orisinalitasnya. Tasawuf setelah itu kembali
lagi sibuk hanya seputar salat dan wirid-wirid, hikmah filosofisnya semakin menyusut.
Tapi sebelum itu ada beberapa pembahasan yang akan kita lalui pertama pengetahuan kasyaf secara epistemologis dan kedua alQuran di mata kaum arif.
Ayat-ayat al-Quran tentang pengetahuan batin (ladunî, irfan, tashawuf, mistikism)
Allah swt berfirman wa man yutal hikmah faqad ûtiya khayran katsîran (sesiapa yang dikarunia hikmah sesungguhnya telah dikaruniai kebaikan yang sangat melimpah). Ayat ini dengan tegas menunjukan bahwa Al-quran memberikan nilai yang positif kepada ilmu-ilmu yang tidak tersirat di dalam al-Quran seperti hikmah atau dalam bahasa sekarang falsafah. Atau ayat yang memberikan pujian kepada ûlul albâb: alladzina yadzkurûnallah qiyâman wa quû’dan wa ‘a’lâ junûbihim wayatafakarûna fikhalqi samâwâti wal ardhi. Ayat yang sangat populer ini mengajak orang-orang islam untuk melakukan refleksi dan mengambil hikmah dari apa saja dan bukan hanya teks-teks yang tersurat. Termasuk diantaranya menurut saya adalah merenungkan kata-kata dari para kekasihkekasih Allah (wali-wali Allah)
wa fil ardhi ayâtun lil muqinîna wa fi anfusikum afalâ tubshirûn. (Di bumi terdapat ayat-ayat untuk orang-orang yang memiliki keyakinan dan apakah mereka tidak memikirkan diri mereka sendiri). Menurut ayat ini, orang-orang yang memiki iman yang sangat kuat memiliki kemampuan untuk mendapatkan tandatanda kebenaran di dunia ini. Artinya dengan kualitas seperti itu akan meraih ilmu dari alam semesta ini. Keyakinan dan kekuatan
imanlah yang ikut mencerdaskan mereka. Setelah itu Allah swt juga menyuruh manusia untuk melakukan perenungan atas diri mereka sendiri. Artinya di dalam jiwa, ada pengetahuan yang diraih. Ilmu pengetahuan tidak hanya dicapai dari luar tetapi juga bisa diraih dari dalam diri. Jiwa mengandung sesuatu yang luarbiasa. Melihat ke dalam adalah jalan pengetahuan yang paling awal dan sekaligus juga paling meyakinkan. Ayat lain mengatakan, Kami akan memperlihatkan ayat-ayat kami di afaq dan di dalam diri-diri kalian sehingga jelaskan kebenaran bagi kalian. Ayat ini dengan tegas sekali menunjukan bahwa kebenaran itu bisa ditemukan di dalam pengalaman kesucian (spiritual experience).
Hadis-Hadis tentang pengetahuan batin
Disini saya sengaja tidak membeda-bedakan hadis sunni atau hadis syiah. Saya lebih suka melihat bahwa syiah adalah sisi yang tak terlihat atau yang hilang dari mazhab Sunni dan Sunni adalah sisi yang terabaikan dari mahab Syiah. Keduanya sekalipun memiliki perbedaan tapi merupakan kesatuan dari perspektif yang berbeda. Perbedaan itu tergantung sudut pandang yang melihatnya. Apapun bisa menjadi beda untuk sesuatu yang sebetulnya sama, jika yang dilihat adalah aspek perbedaannya. Sebagian orang yang suka melihat perbedaan dan tidak bisa melihat kesatuan tentu akan
mengabaikan banyaknya kesamaan dari dua mazhab besar ini.
1. Imam Shadiq as berkata, “Al-Quran itu memiliki aspek lahiriyah dan memiliki aspek batin. Aspek lahirnya mengandung hukum tertentu dan aspek batinnya juga mengandung hukum tertentu. Ilmu pengetahuan tentang aspek lahiriyah sangat elok sementara pengetahuan tentang aspek batinnya sangat mendalam.”
2. Rasululullah saw berkata, “Kiblatku antara masyriq dan magrib.” hadis ini menurut Sayid Haidar Amuli menjadi dalil bahwa Rasulullah menguasai semua level. Sebab yang dimaksud dengan masyriq adalah kiblat nabi Isa as dan magrib adalah kiblat nabi Musa as. dan ini adalah level yang paling agung sebab menghimpuan esoterik dan eksoterik. dan ini sesuai dengan ayat : wa ja’alnâ kum ummatan wasathan litakûnû syuhadâ ‘ala nas (aku
jadikan kalian sebagai umat washatan (umat yang menggabungkan antara eksoterik dan esoterik)
3. Ali bin Abi Thalib as berkata, -Asy-syari’atu nahrun,wal haqîqat bahrun, wa al-fuqahâ hawla nahrun yathûfûna wal hukamâ fil bahri yaghûshûna (Syariat itu adalah sungai dan haqiqat itu samudera. Para fukaha berdiri di tepi sungai sementara para ahli hikmah berenang di dalam samudera.’Aku adalah al-Quran yang berbicara dan aku adalah al-quran yang lengkap karena menghimpun dua maqam yaitu lahir dan batin.
4. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasululah saw berkata, “Jika kalian mengetahui apa yang aku ketahui, maka kalian akan sedikit tertawa dan sering menangis dan kalian akan keluar ke tempat-tempat yang ‘sepi’ (- teks asli arabnya -lakharajtum ilâ shu’udât) dan tidak akan bisa tidur dengan tenang.” Hadis ini dimuat di kitab shahih Bukhari, Muslim dan juga Nasâi tetapi hanya sampai redaksi kalian akan sering menangis. Menurut hadis ini bahwa ada hal-hal yang tidak diketahui oleh para sahabat dan hanya diketahui oleh Rasululah saja; sesuatu yang sangat menggugah emosi dan
spiritual—tentunya adalah seuatu yang sangat agung dan tinggi dan itu adalah pengetahuan tentang hakikat dari segala hakikat.
5. Masih dari Abu Hurairah (inna min al-‘ilmi ka hayati maknûn lâ ya’lamu ha illâ al’ulamâu billah fa idzâ nathaqû bih lâ yunkiruhu illâ ahlu ghurrati billah aaza wajalla), dikatakan “Sesungguhnya sebagian ilmu itu ada yang seperti permata tersembunyi di dalam tiram, yang hanya diketahui oleh para ulama lillah dan tidak akan mengingkari pengetahuan itu kecuali orang-orang tertipu di hadapan Allah swt.” Pengarang Qut al-Qulûb mentakhrij hadis dari Ibnu Mas’ûd yang menyatakan, “ Sesungguhnya al-Quran itu memiliki makna lahir dan memiliki makna batin, memiliki had dan mathla”.
6. Abu Nua’im dalam kitab Hilyatul Awliyâ menukil hadis dari Ibn Mas’ud, “Sesungguhnya al-Quran itu diturunkan dengan tujuh huruf dan setiap huruf itu mengandung makna lahir dan makna batin dan sesungguhnya Ali bin Abi Thalib menguasai ilmu lahir dan ilmu batin.”
7. Di dalam surat al-An’am, “Allah swt menjelaskan bahwa mereka yang akan menerima islam adalah orang-orang yang memiliki hati yang lapang (syarh shadr). Rasulullah ditanya, bagaimana seseorang bisa memiliki hati yang lapang (syarh shadr)? Rasululah menjawab, “Ada cahaya yang menyinari dadanya sehingga menjadi luas dan lapang.”
8. Dalam Kitab Bukhari, bab ilmu, diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. Ia pernah berkata, “Aku mengingat hadis-hadis dari Rasulullah sebanyak dua wadah besar. Satu wadah aku sampaikan dan satu wadah lagi kalau aku sampaikan maka tenggorakanku pasti dipotong.”
Namun kita juga jangan tergesa-gesa menyimpulkan mereka yang menolak tafsir isyari tidak merujuk pada al-quran. Tampaknya pendapat apapun di dalam Islam, dari yang ilmiah, dan tidak ilmiah, dari yang ekstrim atau yang moderat tidak pernah tidak meninggalkan al-Quran sebagai dasar rujukannnya. AlQuran mengatakan Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan
Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. Katakanlah: “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya (syâkilah) masing-masing.” Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya (QS al-Isra : 82-84). Fakhrurazi menafsirkan ayat di atas demikian :
al-Quran dapat mendatangkan rahmat dan kesembuhan bagi sebagian orang, tetapi pada saat yang sama juga mendatangkan bencana, kerugian dan kehinaan bagi yang lain. Ayat seterusnya juga menegaskan bahwa setiap orang beramal sesuai dengan syâkilah (tabiat)-nya. Maksudnya al-Quran akan mendatangkan pengaruh yang baik seperti pengetahuan dan kesempurnaan bagi mereka yang membersihkan dirinya tapi sebaliknya akan mendatangkan pengaruh yang buruk, menghinakan bagi orang-orang yang memiliki jiwa yang kotor. Seumpama sinar matahari matahari
yang sinarnya memiliki efek yang berbeda pada benda-benda yang berbeda-beda. Sinar matahari dapat membekukan garam, tapi juga bisa mencairkan minyak. Sinar itu juga bisa menghitamkan wajah tapi juga dapat memutihkan kain cucian. Artinya ini menunjukan variasi species jiwa. Ada species jiwa yang cemerlang sekali sehingga layak menerima cahaya al-Quran, tapi ada juga species jiwa yang sangat gelap dan kotor sekali yang menjadikan al-quran sebagai sumber kesesatan.
Kelompok yang menolak jenis tafsir isyari mengatakan bahwa yang memiliki otoritas menjelaskan ayat-ayat hanyalah Rasulullah dan para sahabatnya yang mendapatkan ilmu dari Rasulullah. Mereka berdalih, misalnya dengan surah an-Nahl ayat 44, Allah swt berfirman Kami turunkan padamu ad-zikra (al-quran) untuk engkau menjelaskan kepada manusia apa yang telah kami turunkan padamu agar mereka berpikir).Jadi menurut mereka, Islam ini
telah sempurna, semua hal yang fundamental telah dijelaskan oleh Rasulullah mengapa harus merujuk pada klaim-klaim Ibn Arabi, dsb? Tapi ini dibantah oleh sebuah hadis. Siti Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah tidak menafsirkan seluruh ayat al-quran dari awal hingga akhir ayat. Aisyah mengatakan Rasulullah tidak menafsirkan al-Quran kecuali yang diajarkan oleh Jibril kepadanya.
Contoh-contoh tafsir Isyari
Imam Shadiq as pernah berkata, “Tidak ada satu pun masalah yang diperselisihkan dua orang kecuali pasti ada jawabannya di dalam al-Quran, hanya saja tidak semua orang bisa menggalinya. Imam Shadiq as menyatakan Allah bertajali kepada hamba-hambaNya lewat kalam-Nya tapi tidak terlihat.
1. Wahai orang-orang yang beriman penuhi janji kalian!. Menurut Ibn Arabi yang dimaksud dengan orang yang beriman, yaitu yang memiliki iman ilmi, sementara yang dimaksud memenuhi janji (awfu bil-‘uqud) yaitu janji ketegasan kalian di dalam suluk. Perbedaan antara ‘ahd dan ‘aqd, ‘ahd adalah mengesakan tuhan semenjak azali (tauhid fi al-‘ajal), sementara ‘aqd yaitu membulatkan tekad untuk menuju tuhan (suluk).
2. Wa lâ tuhillu sya’arillah, menurut Ibn Arabi maksudnya janganlah kalian lepaskan maqam-maqam dan ahwal-ahwal di dalam suluk seperti sabar, syukur, tawakal, ridha dsb.
3. Janganlah kalian terpukau dengan aktifitas orang-orang kafir. Orang kafir di sini sebagai insan yang terhijab dari tauhid; yaitu din al-haq dalam (urusan) maqamat dan ahwal.
4. Washiti memiliki pandangan bahwa kematian sejati itu pasti diinginkan oleh jiwa. Ia menafsirkan ayat maka, bertaubatlah kepada tuhan kalian dan bunuhlah diri-diri kalian! (Qs al-Baqarah: 54). Taubat umat ini (umat Islam) lebih berat dari taubat bani Israil. Taubat bani Israil dengan cara membunuh jiwa-jiwa mereka sementara umat islam harus membunuh hakikatnya dan bukan hanya jiwanya.
Sekalipun hadis-hadis itu menegaskan bahwa untuk setiap ayat ada makna batinnya disamping makna-makna lahiriyah. Yang dimaksud dengan makna-makna lahiriyah adalah maknamakna yang difahami dari lafaz-lafaz ayat itu—tentu saja dengan bantuan analisis bahasa— atau juga makna-makna yang difahami lewat bantuan riwayat, sejarah —sementara yang dimaksud maknamakna batiniyah atau takwil—seperti yang telah disinggung di
atas—adalah makna-makna yang dicerap oleh seorang arif atau makna yang dijelaskan oleh Rasulullah, para imam atau wali-wali
yang suci di luar makna yang umum.
Namun kemudian kita juga melihat bahwa di dalam tafsir-tafsir irfan tidak semua ayat itu ditafsirkan. Sebagian besar ayat-ayat yang dijelaskan makna-makna lahiriyahnya adalah ayat-ayat tertentu saja— dan teruma jenis ayat-ayat yang memang mengandung kiasan-kiasan, atau simbol-simbol seperti cahaya, pohon yang baik (syajarah thayyibah), ceruk, misykat, dan sebagainya.
Disini kita bisa melihat misalnya gambaran tentang surga yang menawarkan kebahagian-kebahagiaan fisik seperti kebun-kebun yang mengalir di bawahnya sungai-sungai (jannâtin tajrî min tahtihâ al-anhâr). Teks ayat ini menurut para arif hanyalah simbol untuk menarik hati orang-orang yang masih terhijab dalam fantasi fisik—sementara kebahagiaan yang sejati adalah memiliki karakter spiritual— dalam hadis ditegaskan bahwa tidak ada kebahagiaan yang mengatasi kebahagiaan melihat Allah Swt.
Tafsiran-tafsiran isyari itu menjadikan ayat-ayat hanyalah sebagai simbol (sandi) atau code kepada makna yang lebih dalam lagi. Misalnya ayat yang berbicara tentang pohon yang baik (syajarah thayyibah)—yang menurut ayat al-Quran akarnya menghunjam kuat ke dalam tanah (ashluha tsâbitun) dan rantingnya atau dahannya menjulang ke langit (far’uha fi as-samâ) yang memberikan buah-buah setiap saat (tuti ukulha kulla hîn)— Syaikh Jafar Subhani mewakili kaum theolog menafsirkan pohon yang baik dengan keyakinan yang benar (aqidah shahihah), yang ciri-cirinya, keyakinan itu
harus kuat menghunjam di dalam dada, namun juga keyakinan itu mendorongnya untuk selalu taqarrub kepada Allah dan di saat yang sama juga memberikan keberkatan kepada manusia yang lain. Ayat yang sama di atas, dimaknai untuk menunjukan keutamaan ahlubait nabi. Yang dimaksud dengan pohon, akar dan cabang adalah personifikasi dari manusia-manusia suci (ma’shum). Kedua tafsir itu tentu saja tidak bertentangan. Diktum mengatakan tafsir esoteris tidak boleh bertentangan dengan tafsir esoterik. Yang satu berbicara tentang tafsir dan yang kedua berbicara tentang takwil.
Di dalam kitab-kitab tafsir syiah kita menemukan banyak sekali tafsiran atau takwil ayat-ayat itu untuk menunjukan keistimewaan imam-imam seperti di dalam ayat ‘amma yatasalun yang ditakwilkan untuk menunjukan pengangkatan imam Ali as menjadi washy.
5. Di dalam surah Saba, ayat 46 dikatakan, Qul innama ‘aiduum biwahidaitn an taqûmû lillah (katakanlah aku hanya menasehatimu dengan satu hal yaitu bangkitlah untuk Allah). Menurut penyusun Kitab Anîsul ‘Ârifîn— yaitu kitab yang berisikan komentar Abd Razaq Kasyani atas kitab Manazil Sairin li-Khaja Abdulllah Anshârî—yang dimaksud dengan bangkit untuk Allah (awakening) adalah bangkit (awakening) dari tidur kelalaian ghaflah atau dari
perangkap kevakuman (wartah fatrah). Kebangkitan menuju Allah dalam terma sufi adalah yaqzah, Yaqzah merupakan maqam awal yang harus dimasuki oleh para salik yang ingin menuju Allah. Ayat ini menjadi memiliki makna yang agung dibandingkan dengan tafsiran eksoterik yang biasa-biasa saja yang diberikan oleh tafsirtafsir kaum teolog.
Salah satu hikmah dari makna-makna batin memang mengangkat ayat-ayat makna-makna lahiriyah—ayat-ayat yang hanya bisa difahami oleh mereka yang terhijab hati mereka dari cahaya hakikat kasyaf—untuk mereka yang terbelenggu dengan kulit-kulit (literal) ayat-ayat al-Quran.
Salah satu keindahan dari metoda tafsir isyari adalah penjelasan bahwa ayat-ayat itu selalu menyingkapkan sifat-sifat dan af ’al Ilahi. Jadi para arif selalu mencari kreasi dan sifat-sifat tuhan dari ayatayat itu sementara kaum literalis hanya mencari nomos (hukum)nya. Pemahaman atas hukum tanpa menghubungkan dengan sifat dan af ’al Ilahi mungkin akan menghasilkan pemahaman yang tidak lengkap. Sebenarnya sebagian para mufasir juga sudah menyebutkan tentang rahasia penyebutan sifat-sifat tuhan di setiap akhir ayat. Sifat-sifat tuhan itu menjadi clue atas makna yang sebenarnya dari ayat itu.
Dengan demikian, ayat-ayat yang diakhiri dengan menyebutkan sifat-sifat jamaliyah tuhan, seperti Yang maha pengasih, Yang maha penyayang, atau maha santun (raûf) biasanya ayat-ayat itu berbicara tentang hal-hal yang positif, dan jika diakhiri dengan sifat-sifatjalaliyah-Nya, maka ayat itu berbicara tentang suatu dampratan untuk kaum atau untuk perbuatan tertentu.
Sisi lain dari tafsir Isyari adalah kekayaan maknanya. Seorang arif mengatakan bahwa setiap huruf mengandung ribuan makna bahkan sampai enam puluh ribu makna. Bagi seorang arif, kata-kata, konsep adalah simbol dari sebuah makna yang ingin disampaikan oleh Zat Yang Mahaagung. Allah menggunakan bahasa sebab itu adalah media yang paling komunikatif bagi manusia. Tamtsil, metaforis, alegoris, semua itu adalah bahasa simbol. Kita belum bisa mengetahui apakah kecenderungan itu karena pesona ayat-ayat itu yang memiliki magnitude yang lebih dahsyat dari ayat-ayat lain
ataukah karena kekayaan makna-makna ayat itu yang bisa mewadahi seluruh perspektif esoterik, ataukah kecenderungan para mufasir
esoterik yang hanya memilih ayat-ayat tertentu saja.
DISKUSI: