Tafsir Sufistik Basmalah Dalam Pandangan Ibn ‘Arabi dan Mulla Shadra (Bagian Kedua)
Menurut beliau, ilmu Alquran itu bermacam-macam dan pendekatan-pendekatan yang dilakukan terhadapnya berbeda-beda sebagaimana perselisihan dan perbedan mazhab Islam dan pelbagai agama. Dan setiap orang dan kelompok bangga terhadap keyakinannya dan merasa benar sendiri. Maka barangsiapa yang ingin mengarungi kedalaman laut ini dan menyelam hingga sampai ke dasarnya maka ia harus memberanikan diri untuk mengkaji pelbagai tafsir dan meneliti akidah setiap firqah (golongan/paham) dari dua puluh tujuh aliran dan menyingkap rahasia setiap mazhab Islam, sehingga jelas baginya mana yang benar dan mana yang salah; mana yang religius dan mana yang membuat-buat bid’ah. Maka, seseorang harus memelihara rasa haus untuk mengetahui hakikat segala sesuatu dan hal ini hendaknya menjadi ciri khas keberagamaannya dimana hal ini sejatinya merupakan fitrah yang Allah SWT tanamakan pada dirinya, tanpa ikhtiyarnya, sehingga terputuslah dari hatinya ikatan taklid buta dan robeklah/berlubanglah perahu akidah warisan yang diterima seorang anak dari para orangtua dan gurunya. Sebab, akidah seorang anak itu dibentuk oleh lingkungan dan orang-orang dekatnya. Sebagaimana disabdakan oleh Nabi saw.: “Setiap bayi itu dilahirkan berdasarkan fitrah. Hanya saja, bapak-ibunya yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani dan Majusi. (Ibid 32)
Apabila seseorang melalui jalan pencarian dan penelitian ini sehingga ia mengalami kebingungan, kebosanan, dan keremukan jiwa serta membaralah api jiwanya yang tersembunyi di dalamnya karena keterdesakan serta menyalalah api hatinya karena saking naik pitamnya ia terhadap dirinya sendiri karena melihat jiwanya serba kekurangan dan hina maka saat itulah minyak cahaya iman nyaris menyala meski tidak bersentuhan dengan api. Maka ia terbawa oleh arus cahaya dan tersingkap baginya rahasia dari alam rahasia. Lalu ia melihat—dengan hal itu—cahaya yang jelas yang menjadi dasar setiap penglihatan yang teliti dan menyaksikan dengan hal itu rahasia tersembunyi dengan penuh keraguan, penelitian dan pembahasan yang mendalam. Maka dengannya ia berkemampuan untuk mengetahui pelbagai rahasia pengetahuan misteri-misteri Alquran yang agung dan tampak jelas baginya makna-makna lembut dari Kitab Allah Yang Maha Tahu dan mukjizat Rasul-Nya saw. (Ibid).
Kalangan urafa (para penumpuh jalan spiritual) yang melihat dasar segala sesuatu dan tolok ukur masalahnya tanpa mereka tertutup dari pelbagai karakter dan elemennya berpandangan bahwa ‘ism itu lebih umum dan lebih mencakup daripada sekadar lafal yang didengar atau gambar yang dikenal atau sesuatu/benda yang berada. Penjelasan mereka ini menyerupai uraian Alquran dan hadis karena ‘ism dalam firman-Nya:
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى [87/ 1]
Dan firman-Nya:
تَبارَكَ اسْمُ رَبِّكَ ذِي الْجَلالِ وَ الْإِكْرامِ [55/ 78]
Tidak mungkin yang dimaksud adalah huruf dan suara serta sesuatu yang semitsal dengan keduanya karena keduanya merupakan tanda/pengaruh dari materi. Jika Dia (Tuhan) demikian maka Dia menjadi sesuatu yang paling hina/rendah, sehingga bagaimana mungkin Dia dijadikan tempat bertasbih (musabbah) dan disucikan (muqaddas).
Dan tidak benar anggapan bahwa maknanya bersifat metaforis (majazi), sedangkan makna ‘ism di sini bersifat hakiki. Maka, menurut kalangan ‘urafa ‘ismullah (nama Allah) merupakan makna yang suci dari karakter baru dan modern; bersih dari kekurangan pembentukan dan perubahan. Karena itu, dibenarkan meminta pertolongan dan mengambil berkah dengan nama-Nya SWT, seperti saat Anda mengatakan: Dengan nama Allah, aku membaca; Dengan nama Allah aku menulis. Kemudian tawasul dengan nama Allah menjadi kebiasaan untuk memenuhi pelbagai hajat manusia, seperti saat orang mengatakan:
بسم اللّه الشافي بسم اللّه الكافي
Dengan nama Allah Yang Menyembuhkan dan dengan dengan nama Allah Yang Mencukupi
Dan dalam doa Nabi saw disebutkan:
باسم اللّه الذي لا يضرّ مع اسمه شيء في الأرض و لا في
السّماء.
Dengan nama Allah yang dengan nama-Nya segala sesuatu di bumi dan langit tidak akan berbahaya.[1]
Telah menjadi ketetapan di kalangan para peneliti dari para ulama bahwa yang berpengaruh di alam wujud hanya Allah SWT atau malaikat yang dekat dengan-Nya dari para malaikat-Nya yang tentu dengan seizin-Nya. Maka, benda dan materi tidak akan mampu memengaruhi esensi sesuatu, baik pada dataran keberadaan maupun pada dataran ketiadaan. Oh iya, zikir dan doa mampu memengaruhi dari sisi makna-maknanya dan hubungan jiwa saat mengingat prinsip-prinsipnya yang aktif. Maka, Allah Yang Maha Bijaksana adalah sumber pengkabulan pelbagai hajat dan pemenuhan pelbagai doa, bukan pengucapan lafal/huruf dan suara serta komat-kamit kedua bibir dengan mengucapkan kata dan ungkapan.
Mulahazhah (Catatan)
Ibn Arabi tidak memandang huruf apa adanya dan hanya berhenti pada fungsi linguistik dan bentuk lahiriah dari huruf. Bahkan yang menarik, beliau menerawang lebih jauh dan mengungkap rahasia-rahasia huruf. Huruf ‘ba yang terdapat dalam basmalah bagi beliau bukan hanya ‘ba “biasa” yang biasa kita kenal yang dalam abjad Hijaiyah terletak setelah alif dan dalam ilmu Nahwu dianggap sebagai salah satu huruf Jar. Itu semua benar, tetapi ‘ba lebih tinggi daripada semua itu. Ba’ merupakan simbul tingkatan maujud; ba’ merupakan manifestasi dari insan kamil, dari Rasulullah saw.
Sebagaimana Ibn Arabi, Mulla Shadra bahkan dengan jelas dan tegas mereka yang disebutnya ahlul ‘ibarah (pakar tekstual). Shadra menyindir dan mengkritik mereka yang hanya menghabiskan usia dan waktu mereka untuk menggapai kata-kata dan mendalami ilmu sharaf dan nahu atau i’rab dan aturan-aturan/kaidah-kaidah bahasa dan akal mereka tenggelam dalam pemahaman sastra dan gaya bahasa. Sebaliknya, Shadra memuji kaum ‘arif (‘urafa/ahlul haqiqah) yang mempelajari dan mengetahui ilmu bahasa seperlunya saja dan kemudian mereka melakukan perjalanan spiritual dan bersiap menuju Hari Kemudian.
Berkaitan dengan tafsiran ‘ism dalam ayat bismillah, Shadra menolak keras anggapan/tafsiran harfiah dan lahiriah yang menganggap ‘ism sebagai huruf dan suara atau sesuatu yang semitsal dengan keduanya, karena keduanya merupakan tanda materi. Juga tafsiran majazi yang berusaha menyimpangkan makna hakiki dari ‘ism. ‘Ism memiliki kekuatan dan pengaruh yang tak terbatas karena ia adalah nama dari Zat Yang Tak Terbatas.
Kesimpulan
Ibn Arabi dan Mulla Shadra yang merupakan pribadi-pribadi agung dan luhur dari kaum urafa tidak menampik aspek eksotorik dan lahiriah dari bismillah namun beliau sebagai ahli batin dan ahlul haqiqah tidak hanya mau tertipu dan terpedaya dalam bingkai dan penjara ‘ibarah/bahasa dan lafal. Bagi mereka, Alquran itu mengandung makna zahir dan makna batin. Makna batin bismillah melampaui aspek zahirnya. Jika asma Allah dalam bismillah hanya dilihat dari aspek zahirnya; aspek huruf dan suara maka ia tidak berpengaruh dan berguna. Asma Allah dalam bismillah yang kita diperintahkan supaya mengawali setiap perbuatan kita dengannya mengandung sebuah energi, kesempurnaan dan wujud serta pengaruh yang tak terbatas.
[1] Ibid, hal. 33.