Tahrif; Jangan Mengarang Cerita!
Almarhum Mirza Husein Nuri guru Syekh Abbas Qommi, Syekh Ali Akbar Nehawandi (Masyhad) dan Syekh Muhammad Baqir Birjundi, adalah muhadits besar yang sangat pakar di bidangnya dengan pengetahuan luas, memiliki daya hafal sangat kuat, punya citarasa dan penuh semangat keimanan. Salah satu kitab yang beliau tulis ialah tentang tugas-tugas pembicara di mimbar berjudul Lu`lu` wa Marjan. Adalah kitab yang sangat bernilai dalam tema ini.
Dijelaskan di dalamnya syarat kedua bagi sohibul mimbar adalah bicara jujur. Beliau bahas soal dusta dan macam-macamnya dengan penjelasan yang luiar biasa, menunjukkan keluasan ilmu beliau. Beberapa contoh dusta yang beliau bawakan termasuk mengenai peristiwa Karbala. Beliau menegaskan: Hari ini mesti diadakan ‘azâ` (peringatan duka) al-Husain. Tetapi di masa kita terdapat ‘azâ` baru yang dulu tak ada.
Semua kebohongan yang disampaikan tentang peristiwa Karbala, tapi tak seorang pun memprotesnya. Menangis atas musibah Imam Husain memang harus. Namun bukan lantaran pedang-pedang dan tombak-tombak yang melukai jasad sucinya, tapi dikarenakan kebohongan.
Di bagian mukadimah kitab itu, beliau juga mengungkapkan: Seorang alim dari India menulis surat kepada saya, mengeluhkan tentang syair-syair duka kebohongan yang dilantunkan di India. Ia meminta saya supaya menulis kitab yang mengkritik kebohongan itu. Kemudian beliau mengatakan bahwa bukan cuma di India, pusat syair kebohongan itu bahkan ada di Irak dan Iran.
Tugas Masyarakat
Selain para pelantun yang memikul tanggung jawab, menjadi tugas bagi semua orang yang menghadiri peringatan itu. Masyarakat menanggung dua tugas besar:
1-Nahi munkar; jika mereka mengetahui adanya kebohongan di satu majlis, maka haram menyimaknya dan harus dilawan.
2-Majlis harus menjadi karbala.
Majlis harus dikarbalakan. Apa maksudnya? Mereka harus mendengarkan syair duka yang benar, agar pengetahuan mereka meningkat dan jiwa mereka menjadi tergugah dalam satu kata. Yakni, menjadi terhubung dengan jiwa Imam Husain. Kesimpulannya bahwa air mata walau setetes yang keluar dari mereka yang demikian adalah sesuatu yang agung. Sedangkan airmata yang keluar lantaran sebuah pembantaian semata, tak bernilai sekalipun menjadi sebuah lautan.
Diceritakan; seorang alim besar di satu daerah selalu memprotes kebohongan yang disampaikan di atas mimbar. Pada suatu hari beliau mengadakan peringatan di masjid, dan mengundang seorang ustadz. Sebelum acara dimulai beliau berpesan kepadanya, Saya menginginkan sebuah majlis yang menjadi contoh di dalamnya tidak dilantunkan kecuali bait (ma`tam/maqtal) yang benar. Janganlah menyampaikan satu bacaan pun kecuali dari kitab-kitab mutabar (yang diakui kebenarannya).
Ia mengatakan, Siap! Karena majlis ini milik Anda. Kemudian ia ceramah. Sampai di bagian lantunan duka, ia sudah terikat dengan keharusan pembacaan yang jujur. Tetapi apapun yang ia lantunkan, dingin tak membuat majlis tersentuh. Sang alim heran, bahwa majlis ini beliau yang punya acara, apa yang akan mereka katakan. Kaum perempuan akan bilang, Niat beliau tak baik sehingga majlisnya tak ada tangisan. Kalau tulus majlisnya menjadi Karbala.
Tak tahu harus bagaimana! Lalu beliau berbisik kepada pelantun syair, Bacakan sedikit bait berbisa!
Apa yang orang-orang nantikan dari majlis untuk menjadi “Karbala” ialah membuat kebohongan. Oleh karenanya, kebanyakan karangan dibikin-bikin untuk memancing tangis hadirin. Seakan tiada hal lain selain karangan yang dibuat.
Cerita Palsu
Dikisahkan; pada suatu hari Imam Ali sedang berceramah di atas mimbar. Saat itu al-Husain bersuara, Aku haus. Aku ingin minum!
Imam berkata, Ambilkan air minum untuk anakku. Seorang anak kecil langsung berdiri. Ia adalah Abul Fadhal Abbas. Lalu pergi untuk mengambil segelas air dari ibunya. Ketika datang dan masuk ke dalam majlis, air yang ia bawa tumpah sebagian. Melihat kejadian itu, menetes air mata Imam. Mereka bertanya, Mengapa Anda menangis?
Beliau mengungkapkan, Apa yang akan mereka alami mengingatkan aku.. Alhasil diketahui (bahwa peristiwa yang akan terjadi pada kedua putranya itu di Karbala,-penerj).
Mengenai dongeng ini, Almarhum tuan Nuri menjelaskanbahwa apa yang dikatakan itu, Harus kalian ketahui bahwa Imam Ali berceramah di atas mimbar hanya pada masa kekhalifahannya. Di Kufah, ketika itu al-Husain berusia 33 tahun. Masuk akalkah seorang berumur tigapuluh tahun, pada saat ayahnya sedang berceramah memberi nasihat kepada masyarakat, tiba-tiba memotong pembicaraan beliau dengan mengatakan, Aku ingin minum? Di sisi lain, Abul Fadhal saat itu bukan anak kecil lagi. Usianya minimal 15 tahun.
Kalian perhatian bagaimana cerita itu dibuat-buat! Kalaupun bukan cerita bohong, adakah nilai di dalamnya? Apakah ini mengangkat atau menjatuhkan kedudukan Imam Husain?
Referensi:
Hamase-e Husaini/Syahid Mutahari