Taqiyah dalam Mazhab Maliki
Taqiyah arti secara bahasa adalah khawatir dan waspada akan bahaya. Kata atau makna ini disebut dalam Alquran:
إِلاَّ أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقاةً; “kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. (QS: Al Imran 28)
Mengenai pengertiannya tak ada perbedaan menurut Ahlussunnah dan Syiah Imamiyah, kecuali dari sisi cara pengungkapan dalam mengkonsepsi makna terminologis. Namun pada prinsipnya, taqiyah bukanlah dusta, kemunafikan dan tipu daya terhadap orang lain.
Di kalangan ulama berbagai mazhab tak didapati penegasan yang membolehkan taqiyah dalam kondisi ikhtiar. Yakni, dalam kebebasan tanpa tekanan dan paksaan. Taqiyah harus dilakukan dalam kondisi sulit, ditekan dan dipaksa oleh (penguasa) yang lalim atau menindas. Ulama sepakat bahwa taqiyah itu dalam kondisi terpaksa.
Imam Malik (wafat 279 H) dalam kitab al-Mudawanatu al-Kubra mengatakan: Tidaklah jatuh talaknya orang bertaqiyah karena dalam paksaan. Alasannya ialah perkataan Ibnu Masud sahabat Nabi saw:
ما من كلام يدرأ عني سوطين من سلطان الا كنت متكلما به; “Pernah aku mengucapkan kata-kata yang terlepas dari (mulut)ku atas dua cambukan penguasa.”
Dengan dalil ini artinya boleh menampakkan kontra realitas di dalam perkataan saat dalam terpaksa, walau dengan dua cambukan.
Ibnu Abdilbarr an-Namiri al-Qurthubi al-Maliki (wafat 463 H) pun berfatwa begitu. Sekiranya tak boleh taqiyah dalam ithq (memerdekakan budak) dan talak ketika dipaksa oleh orang lalim, niscaya ia mengatakan jatuhnya talak dan ithq. Dengan kata lain, ia membolehkan taqiyah dalam dua hal ini walaupun keduanya menjadi tidak sah.
Perkara-perkara yang di dalamnya Boleh Taqiyah
Ulama mazhab Maliki juga membolehkan mengucapkan kata kufur saat dipaksa, dalam taqiyah (untuk menjaga diri) dari kebinasaan, namun harus dengan ithmi`nân (kemantapan) hati dalam keimanan.
Ibnul Arabi al-Maliki (wafat 543 H) mengatakan: Orang yang menjadi kafir dalam taqiyah tapi hatinya mantap dalam keimanan, hukum murtad tak berlaku baginya. Karena keterpeksaannya di dunia..
Ibnu Jazi al-Maliki (wafat 741 H) juga mengatakan demikian. Termasuk sujud pada patung (menyembahnya). Ia menegaskan bahwa menurut jumhur boleh, lalu mengatakan: Sebagian melarangannya.
Di dalam perkara-perkara lainnya yang dibenarkan taqiyah, seperti zina, boleh dilakukan tanpa hukuman bagi yang dipaksa melakukannya. Ibnul Arabi menerangkan bahwa keterpaksaan apabila terjadi pada cabang-cabang syariat, tidak dijerat hukum orang yang dipaksa melakukan sesuatu. Hal ini berdasarkan hadis yang populer: رفع عن امتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه; “Dimaafkan kesalahan (yang tak disengaja) dan lupa dari umatku dan apa yang membuat mereka terpaksa.”
Hal itu dalam pengecualian atas dalil mu’tabar (yang diakui), seperti dipaksa membunuh. Jika seseorang dipaksa membunuh, lalu melakukan pembunuhan, maka ia (diqishash dengan) dibunuh. Bagaimana dengan sumpah? Mereka berselisih. Menurut Ibnul Arabi dibenarkan taqiyah di dalamnya.
Ia menyampaikan: Malik berkata, Tak berlaku (hukum) bagi orang terpaksa sumpah, talak, ithq dan lainnya, dan ia tidak apa-apa di hadapan Allah. Tetapi berlaku baginya sesuatu yang merupakan hak orang lain. Tidak boleh mengiyakan dia, seperti dipaksa membunuh seseorang atau mengambil hartanya. (Ibnul Arabi 3/1177-1182).
Imam Malik memandang taqiyah berlaku di dalam semua ibadat, dikarenakan itu adalah urusan antara Allah dan hamba-Nya. Di luar itu, di dalam tidak bolehnya taqiyah tak berarti disertai takut dibunuh. Sebagaimana dipahami dari perkataan Ibnul Arabi al-Maliki, dalam tafsir ayat:
الَّذينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ; “(Yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar.” (QS: al-Hajj 40).
Adalah dalil atas keterkaitan perbuatan yang terjadi dari seorang yang dipaksa dengan si pemaksa (penindas), dan berkonsekuensi hukum atas perbuatan dia. Oleh karena itu, ulama kami mengatakan:
ان المكره على اتلاف المال يلزمه الغرم وكذلك المكره على قتل الغير يلزمه القتل
“Pemaksa meraibkan harta (milik orang lain) harus dikenai ganti rugi. Begitu juga pemaksa membunuh orang lain, harus di-qishash dengan-bunuh.”
Maksudnya bahwa taqiyah di dalam merampas harta dibolehkan, tetapi ganti rugi menjadi keharusan orang yang memaksanya. Sedangkan membunuh tidak boleh (di dalamnya) taqiyah. Si pembunuh dibunuh, tetapi qishash jatuh pada orang yang memaksa. Karena itu (hukuman bagi) dia juga dibunuh.
Dalam pandangan Abu Hayyan al-Andalusi al-Maliki (wafat 754 H), dibenarkan taqiyah lantaran penguasa yang memaksa dengan aniaya, dari kaum kafir, pemuka yang menindas, perampok dan pemegang tahta. Sebagaimana dibenarkan dalam keadaan takut akan fisik (dilukai), dicambuk, diancam dan dimusuhi penguasa lalim…” (al-Bahrul Muhith 2, 424/Abu Hayan)