Taqlid Anda “Ijtihad” Anda
Di dalam Islam siapapun yang namanya manusia, dari kelompok dan golongan manapun statusnya adalah hamba Allah swt. Semuanya sama di dalam status ini, tanpa terkecuali. Maka tugas mereka pun sama, yaitu menghamba kepada Allah, yang merupakan tujuan dari penciptaan mereka (QS: adz-Dzariyat 56). Mengenai bagaimana penghambaan itu, Allah jelaskan kepada mereka melalui seorang dari golongan mereka sendiri, manusia pilihan-Nya yang menjadi rasul-Nya, untuk membimbing mereka di dalam menjalankan tugas itu.
Tugas yang merupakan hak Allah, yang harus ditunaikan itu memerlukan pengetahuan rincian dan caranya yang diinginkan. Tanpa pengetahuan, takkan terlaksana tugas itu sebagaimana mestinya. Penghambaan kepada Allah tidaklah cukup dalam arti global begitu saja. Seperti orang mengatakan: Yang penting menyembah-Nya! Atau cukup dengan niat saja, misalnya. Akan tetapi semua amal yang dilakukan dan yang ditinggalkan oleh seorang hamba sesuai syariat Islam, adalah bentuk ketaatan kepada Allah, dan ketaatan ini merupakan penghambaan diri kepada-Nya.
Dalam bahasa fikih tugas tersebut disebut taklîf”, yang artinya adalah mengharuskan dan membebani. Secara istilah, taklif adalah perintah dan larangan dari Allah. Ungkapan taklif, misalnya: Dirikanlah shalatlah!; Berpuasalah!; Menikahlah; Janganlah berzina!; Jangan minum khamar!; Jangan mencuri!, dan lain sebagainya.
Semua tugas itu, baik yang merupakan ibadah maupun yang merupakan muamalah, mengenai bagaimana pelaksanaan dan lainnya dijelaskan dan dicontohkan oleh Sang Pembawa syariat ilahiah (saw) dan para washinya serta orang-orang yang direkomendasikan sesudah mereka, yakni fuqaha. Semua ini masa kemudian membentuk sebuah pengetahuan yang disebut dengan ilmu fikih atau hukum Islam.
Bukan Taqlid Irasional
Untuk mencapai pengetahuan akan hukum tersebut, sarananya adalah Alquran dan Sunnah serta akal. Namun sumber-sumber syar’i ini hanya untuk yang pakar di bidang ini, yakni hanya seorang faqih lah yang berkemampuan menggunakannya sebagai sumber hukum. Sedangkan yang awam hukum tidak mempunyai kemampuan itu. Dengan akalnya pun terbatas pada masalah-masalah mendasar yang gamblang. Misalnya, bahwa ia sampai pada kesimpulan harus merujuk atau bertaqlid kepada seorang faqih, adalah atas hukum akalnya. Bagaimana bisa demikian?
Jawaban dia sederhana, bahwa kendati mampu membaca Alquran dan Sunnah bahkan mengetahui artinya, tetapi dia tidak menguasai tata bahasa Arab, tafsir, hadis dan ilmu-ilmu lainnya yang mengantarkan pada pengetahuan hukum dari semua sumber itu. Selain itu ia tidak mengetahui cara bagaimana ayat ini atau hadis itu untuk dijadikan sebagai dasar pengetahuan ini. Oleh karenanya, tak ada cara lain baginya kecuali cara yang mudah- menempatkan dirinya seperti seorang pasien yang merujuk kepada ahli medis alias dokter.
Itulah “ijtihad” kaum awam di dalam mengikuti pandangan faqih, bahwa mereka tidak sedang meniru apa yang dikatakan di dalam risalahnya: “Taqlid kepada saya adalah wajib!”. Hal ini sama halnya dengan orang yang mengatakan kepadanya: Saya orang jujur!. Ketika ditanya apa buktinya, dia mengatakan, “Saya beritahu Anda bahwa saya orang jujur.” Yakni, dalil atas kejujuran dia adalah kejujurannya itu pula. Akal menilai hal ini batil bahwa sesuatu bergantung pada dirinya, yang disebut dengan daur.
Taqlid pada Apa atau Siapa?
Di sini dibedakan antara mengikuti apa dan siapa, dan konteks dalam masalah ini adalah mengikuti “siapa’. Bukan mengikuti “apa” kendati terdapat nasihat dari Imam Ali (kw): Perhatikan apa yang dia katakan, dan jangan perhatikan siapa (dia) yang mengatakan!. Karena konteksnya adalah terkait dengan masalah akhlak, bahwa terkadang perkataan anak kecil lebih bijak atau benar daripada perkataan orang sepuh. Bukan dalam konteks masalah kepakaran di bidang ilmu seperti hukum.
Nah, yang pakar di bidang ilmu hukum Islam atau fikih adalah seorang faqih. Karena itu, yang awam hukum harus mengikuti siapa (dia). Hukum akal ini yang mengharuskan sikap taqlid kepada seorang faqih, (kalau Syiah Imamiyah di masa kegaiban Imam Zaman yang mereka yakini ini) juga berdasarkan pesan-pesan para imam Ahlulbait lah yang mengharuskan merujuk kepadanya.
Satu misal mereka mengatakan: Faqih yang menjaga dirinya, memelihara agamanya, menentang hawa nafsunya dan mentaati perintah maula (imam)nya, maka hendaklah kaum yang awam bertaqlid kepadanya. Adapun keharusan merujuk kepada Para imam suci itu adalah pesan dan wasiat Rasulullah saw di antaranya hadis ats-Tsaqalain dan lainnya. Jadi, hal mengikuti pandangan faqih, yakni taqlid kepadanya bersandar pada pesan-pesan Para washi Nabi saw, dan mengikuti mereka bersandar pada pesan-pesan Rasulullah saw.