Tasawuf dalam Al-Qur’an (Bagian Kedua dari Dua Tulisan)
Untuk menjawab sejauhmana kebenaran kaum sufi dalam menjelaskan—berdasarkan modal utama tasawuf Islam—kaidah-kaidah dan kriteria-kriteria tasawuf yang sahih dan sejauhmana mereka tidak menyimpang dari prinisp-prinsip hakiki Islam serta sejauhmana keterpengaruhan tasawuf Islam oleh aliran/mazhab dari luar, maka semua pertanyaan ini memerlukan kajian dan penelitian tersendiri.”[1]
Penulis akan merangkum alasan-alasan yang dikemukakan oleh pandangan pertama dan sekaligus pandangan kedua di bawah ini:
Kedua pandangan di atas mengklaim bahwa Islam adalah agama yang sederhana, mampu dipahami oleh umumnya masyarakat, dan tidak akan membebankan sesuatu yang di luar kemampuan manusia serta tidak mengandung ajaran yang penuh rahasia, samar dan sulit dimengerti.
Tauhid yang merupakan pondasi ajaran Islam adalah tauhid yang dangkal/mudah. Misalnya, setiap rumah pasti ada yang membangun dan antara pembangun dan rumah pasti berbeda dan tidak dapat disamakan di antara keduanya. Demikian juga alam yang mempunyai Pencipta yang berbeda dan terpisah dengannya.
- Zuhud merupakan sebuah solusi dan terapi yang ditawarkan Islam untuk menghadapi daya tarik dan pesona dunia. Zuhud bermakna berpaling dari pelbagai kenikmatan duniawi yang fana dan berusaha mencapai kenikmatan ukhrawi yang kekal.
- Terkait dengan pengaturan perbuatan-perbuatan mukallaf, fikih Islam merupakan solusi dan rujukannya.
- Tauhid yang dikemukan ‘urâfâ bukanlah tauhid yang ditawarkan dalam Islam karena pendekatan dan penjelasannya berbeda sekali, misalnya paham wahdat al-wujûd yang sangat asing bagi kebanyakan orang.
- Sayr dan sulûk‘irfâni juga berbeda dengan zuhud yang direkomendasikan Islam. Sebab dalam sayr dan suluk terdapat pemahaman-pemahaman, seperti ‘isyq (cinta) dan mahabbah Ilahiah, fana dalam Tuhan, tajalli Allah dalam hati ‘ârif yang semua ini tidak pernah dibahas dalam zuhud Islam.
- Adab-adab tarekat yang diamalkan dalam tasawuf pun adalah perbuatan yang tidak pernah ditegaskan dan didukung oleh syariat Islam atau fikih.[2]
Muthahari menampik dan menolak pelbagai alasan tersebut dengan mengatakan,
Pada hakikatnya pandangan kelompok ini tidak dapat dibenarkan. Modal-modal dasar dan pertama tasawufIslami lebih kaya daripada apa yang diasumsikan—baik karena kebodohan maupun kesengajaan—oleh kelompok ini. Tauhid Islami tidak sesederhana dan sedangkal yang dibayangkan oleh mereka. Demikian juga zuhud dalam Islam tidak sekering dugaan mereka. Dan kalangan sahabat tidak hanya abid dan zahid biasa yang beribadah hanya untuk mendapatkan pahala/surga atau takut dari siksaan/neraka. Di samping itu, adab-adab Islam tidak hanya terbatas pada perbuatan-perbuatan fisik dan anggota badan (sebagaimana yang diatur dalam fikih).[3]
Bila memang sumber utama tasawuf Islam itu ada dari khazanah dan pustaka Islam sendiri maka mestinya al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama syariat Islam memberikan tempat yang layak baginya. Al-Qur’an sebagai pedoman hidup setiap muslim seharusnya menjadi rujukan utama dalam hal ibadah, zuhud, dan masalah spiritual yang krusial lainnya. Apakah memang demikian adanya? Lalu sejauhmana al-Qur’an menjelaskan dan merumuskan pemikiran tasawuf dan bagaimana posisi tasawuf di dalamnya? Apakah al-Qur’an menyapa kaum âbid dan zâhid dengan bahasa biasa dan berbicara dengan’ârif dengan bahasa dan pendekatan yang khusus? Apakah pesan tauhid yang mendominasai mayoritas ayat-ayat al-Qur’an itu disampaikan dengan bahasa dan tingkat pemahaman yang sama?
Muthahari menguak jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan mengatakan,
“Al-Qur’an al–Karĭm di bidang tauhid tidak pernah mengkiaskan Tuhan dan penciptaan seperti pembuat rumah dan rumah. Al-Qur’an mengenalkan Tuhan sebagai Pencipta dan Pembuat dunia, dan di saat yang sama mengatakan bahwa Zat suci-Nya ada di setiap tempat,
“Maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah.”[4]
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu.”[5]
“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin.”[6]
Menurut Muthahari, “ayat-ayat seperti tersebut—tentu masih ada ayat-ayat lain semacam ini—menggiring pemikiran menuju tauhid yang lebih baik dan lebih tinggi dari sekadar tauhid orang-orang awam.”[7]
Berkaitan dengan sayr dan suluk serta melalui jenjang-jenjang kedekatan dengan al-Haqq sampai manzilah yang terakhir, Muthahari mengisyaratkan sebagian ayat yang terkait dengan liqâ’ullah dan ayat-ayat yang berhubungan dengan ridhwânullah serta ayat-ayat yang berhubungan dengan wahyu dan ilham serta pembicaraan malaikat kepada selain nabi, seperti Maryam, dan khususnya ayat-ayat mi’raj Rasul saw.[8]
Di samping itu, Muthahari menegaskan bahwa di dalam al-Qur’an terdapat pembicaraan tentang nafs al-ammârah, nafs al-lawwâmah, dan nafs al-muthma’innah. Dan juga pembicaraan tentang ilmu ifâdhi, ilmu laduni, dan hidayah-hidayah yang diberikan karena mujâhadah,
“Dan orang-orang yang berjihad (untuk mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.”[9]
Juga dalam al-Qur’an terdapat penjelasan tentang tazkiyah an nafs yang diperkenalkan sebagai satu-satunya jalan yang menyebabkan keberhasilan dan kesuksesan, “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”[10]
[1] Lihat: Murtadha Muthahari, Kulliyyât ‘Ulum Islamiy, hal. 89. Pengantar Ilmu-Ilmu Islam (Tim penerjemah: Ibrahim Husain al-Habsyi, Ilyas Hasan, Muhsin Ali, Abdullah Ali, Muhammad Jawad), Pustaka Zahra, 2003, 1424 H, hal 101.
Murtadha Muthahari, Bedah Tuntas Fitrah, Dialihbahasakan oleh H. Alif Muhammad, Jakarta: PenerbitCitra, 2011 M, hal. 44.
[2] Rangkuman dalil-dalil pendukung pandangan pertama dan kedua ini penulis sarikan dari buku karya Murtadha Muthahari, Kulliyyât ‘Ulum Islamiy, hal. 89.
[3] Murtadha Muthahari, Kulliyyât ‘Ulum Islamiy, hal. 90.
.
[4] QS 2 : 115. Teks ayat tersebut sebagai berikut :
فَأَيْنَما تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّه
[5] QS 56: 85. Teks ayat tersebut sebagai berikut :
وَ نَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْكُم
[6]QS 57: 3. Teks ayat tersebut sebagai berikut :
هُوَ الْأَوَّلُ وَ الْآخِرُ وَ الظَّاهِرُ وَ الْباطِنُ وَ هُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَليم
[7] Murtadha Muthahari, Kulliyyât ‘Ulum Islamiy, (terbitan Intisyarat Shadra 1429 H), hal. 91.
Teks bahasa Persinya adalah
[8] Murtadha Muthahari, Kulliyyât ‘Ulum Islamiy, hal. 91. MuhyiddinIbn Arabi, Al–Futuhât al–Makkiyah, Beirut: Dar Shadir, 2004 M, hal 54.
[9] QS 29: 69. Teks ayat tersebut sebagai berikut :
وَ الَّذينَ جاهَدُوا فينا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنا
[10] QS 91: 9-10. Teks ayat tersebut sebagai berikut :
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاها وَ قَدْ خابَ مَنْ دَسَّاها