Tasawuf dan Transformasi Sosial
Umumnya, laku sufistik dimengerti sebagai suluk personal, yaitu suatu perjalanan ruhaniah seseorang secara personal sehingga karenanya ia hanya membawa dampak perubahan bagi seseorang yang bersangkutan. Terlebih munculnya stereotype yang mengemukakan bahwa laku sufisme identik dengan kesendirian, sejenis asosial, pakaian yang serba lusuh, dan kadang tempat tinggal yang tidak tentu, intinya jauh dari kehidupan yang berkecukupan lebih-lebih kemewahan.
Pandangan tersebut barangkali muncul dari suatu pemahaman bahwa kaum sufi tak lagi butuh pada dunia karena yang diinginkannya hanya selalu beribadah kepada Tuhan. Di samping itu, mungkin juga karena melihat penampilan-penampilan sejumlah orang yang ‘disebut’ sufi yang terlihat seperti gambaran di atas. Terlebih pula cerita-cerita yang beredar mengenai tampilan luar sosok-sosok yang dianggap sufi tersebut.
Tentu saja, stereotype di atas tak sepenuhnya salah. Tapi jelas kurang tepat memahami doktrin utama dalam dunia tasawuf. Memang tasawuf lebih berkonsentrasi pada soal hati, atau dzauq, yang cenderung amat personal menyangkut kondisi batin seseorang. Namun hal tersebut dijalani bukan untuk menghindari dunia, justru ia hendak membangun dunia berdasar perspektif yang sejati yang berasal pada ketersingkapan kebenaran dalam jiwanya. Kaum sufi tidak ingin membangun dunia tempat mereka hidup (masyarakat dan lingkungan) dengan hanya bersandar pada keterbatasan ilmu pengetahuan dan hukum agama yang kaku.
Apa yang hendak dilakukan oleh kaum sufi adalah membangun masyarakat berdasar kekuatan jiwa, spirit ilahiah yang murni, yang jauh dari ambisi pribadi, golongan, mazhab yang tak jarang meski menggaungkan terma-terma agama namun terselip ambisi kelompok di hatinya.
Penyucian Jiwa
Oleh sebab itu, amal pertama dan utama di dalam tasawuf sebagai praktik ruhaniyah adalah penyucian jiwa (tazkiyatun nafs). Tasawuf memandang jiwa sebagai pusat arti kehidupan manusia. Karena para sufi amat meyakini bahwa jiwa manusia memiliki kedalaman yang cukup dalam, dimana dalam kedalaman itulah ia menyimpan rahasia-rahasia (sirr) kehidupan.
Karena ia adalah rahasia, maka rahasia tersebut hanya bisa dipahami oleh mereka yang menelusurinya. Sebagaimana juga istilah yang lazim kita kenal “man ‘arofa nafsahu faqod ‘aroba robbahu” menandaskan bahwa diri manusia adalah media utama yang menghantarkan manusia itu sendiri kepada pengetahuan yang benar mengenai wujud Sang Haqq. Tentu pengetahuan di sini dalam batas asma dan sifatNya.
Makrifat, menurut Zun Nun al-Mishri, dalam kitabnya al-Qalam ‘alam al-Basmalah, terbagi dalam tiga klasifikasi. Pertama, ma’rifat tauhid yang dipahami oleh orang-orang awam. Kedua, ma’rifat alasan dan uraian mengenai Tuhan yang dipahami oleh para ilmuan, filsuf,dan sastrawan. Dan Ketiga, ma’rifat tentang sifat-sifat keesaan dan ketunggalan Tuhan yang dialami oleh para wali dan para kekasih Allah. Para wali, lanjut al Mishri, mereka yang menerima limpahan rahasia-rahasia kehidupan yang dihujamkan langsung oleh Tuhan dalam hatinya. Karena bagi kaum sufi, Tuhan itu Maha Suci, maka Dia akan menyingkapkan diriNya pada jiwa yang suci.
Limpahan cahaya Tuhan tersebut, secara pasti akan mentransformasi jiwa seseorang makin kokoh cintanya pada Tuhan. Ibn ‘Arabi mengemukakan bahwa seorang ‘Arif adalah dia yang memperoleh penampakan Tuhan sehingga pada dirinya tampak kondisi-kondisi hati tertentu (ahwal). ‘Irfan diperoleh seseorang melalui jalan al-idrak al-mubasyir al-wujdani (penangkapan langsung secara emosional), bukan analisa pikiran secara rasional.
Dalam khazanah Filsafat Yunani, khususnya Platon, jiwa manusia memiliki dua wajah, satu sisi wajah tersebut mengarah (terhubung) dengan alam idea—yang dengannya manusia memperoleh pengetahuan universal—dan sisi yang lain jiwa yang terikat dengan alam materi yang berubah-ubah. Dalam jiwa yang terhubung dengan alam idea, ia bersifat kokoh, luas, lapang bahkan abadi, sehingga ia menjadi prinsip kebenaran. Sementara jiwa yang berubah-ubah lantaran berhubungan dengan alam materi tak bisa menjadi landasan hidup, meskipun tetap berguna dalam skala praktis.
Bukan Tentang Sistem Politik Tapi Jiwa yang Hidup
Kehidupan sosial bagi kaum sufi adalah realisasi akhlak ketuhanan, yang telah ada secara potensial dalam jiwa manusia karena fitrahnya. Namun fitrah ilahiyah tersebut tak bisa dikenal dengan baik sebelum manusia melakukan proses penyucian jiwa, oleh sebab sisi jiwa kita yang menghadap dunia dengan penuh hasrat, ambisi, nafsu menghalangi pandangan mata batin.
Maka, penyucian jiwa, jika begitu, adalah dengan pertama-pertama membangun jarak dengan dunia, di sini tahap yang dikenal sebagai proses takhalli. Dengan membangun jarak tersebut, jiwa bisa leluasa berfokus pada dirinya, dengan sejumlah riyadhah dan mujahadah dalam tahap-tahap maqomat yang akan memunculkan ahwal dalam jiwa. Makin bersih jiwa makin nampak tajalli Tuhan. Hingga pada akhirnya akan membuahkan suatu akhlak yang penuh keindahan.
Memang, tasawuf tak menawarkan satu sistem sosial tertentu, atau satu kelembagaan politik tertentu. Namun yang ia tawarkan adalah manusia sebagai manusia yang memiliki jiwa yang hidup, tak sekedar tatanan hukum yang kadang hanya tertulis di atas kertas, atau ilmu pengetahuan yang bersilat sengkarut dalam rerimbunan teori.
Doktrin tasawuf melahirkan sejenis sistem moral. Yakni suatu moralitas yang basisnya adalah spiritualitas. Suatu moral yang tidak hanya dikonsepsi dalam terminologi etik-filosofis, atau tuntutan hukum yang bersifat memaksa, tapi dengan dasar ketersingkapan dan ketundukan jiwa pada yang Maha Sejati, maka moralitas sufistik muncul sebagai satu kesadaran yang intim, sehingga ia tidak terjebak oleh formalisme hukum di satu sisi, dan tak terlena oleh kebebasan di sisi lain.
Seorang oportunis berkata jujur karena tak sedang terancam, atau seorang ustadz berkata jujur karena berharap pahala, atau seorang terdakwa berkata jujur karena terpaksa, atau seorang ilmuan berkata jujur karena pengetahuannya, tapi seorang sufi berkata jujur karena ia melihat dengan jelas ada RahmanNya dalam sebuah kejujuran.
Fardiana Fikria Qurany