Taubat dalam Sudut Pandang Imam Ghazali
Taubat dalam pelbagai penjelasan Imam Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulum ad-Din memiliki makna yang tersusun dari tiga faktor atau unsur: ilmu,hal (keadaan) dan amal. Ilmu berada pada jenjang pertama, hal pada tahapan kedua dan amal pada tingkatan ketiga.
Beliau mengatakan: Tahapan pertama menjadi penyebab tahapan kedua dan jenjang kedua menyebabkan jenjang ketiga.
Imam Ghazali mengatakan: “ilmu adalah penbgetahuan tentang mudarat dan bahaya dosa-dosa dan maksiat-maksiat dan bahwa dosa adalah penghalang/penutup antara hamba dan Mahbub(Sang Mahacinta).
Setiap kali petaubat memperoleh makrifat qalbi (intuitif) seperti ini dengan ‘azm rasikh (tekad yang kuat) maka hatinya akan “terluka” atau “menderita” karena pengetahuan tersebut. Sebab, setiap kali hati merasakan kehilangan al-Mahbub maka ia akan menderita dan pesakitan Bila kehilangan Sang Mahacinta karena suatu perbuatan yang dilakukannya maka ia akan sangat menyesal atas kelakuannya. Dan derita seseorang atas perbuatan yang dilakukannya yang menyebabkannya jauh dari Sang Mahacinta dinamakan dengan “nadam” alias penyesalan.
Apabila penderitaan dan rasa sakit ini begitu menguasai hati seseorang maka derita dan rasa sakit hati ini akan membangkitkannya menuju suatu kedaan yang dinamakan “iradah” dan “qashd” (tujuan), dan petaubat akan dihubungkan dengan perbuatan yang bertalian dengan zaman sekarang, yang lalu dan yang akan datang. Dan hubungan amal petaubat dengan zaman sekarang seperti ini: ia akan menjauh dari dosa yang menyelimutinya, dan terkait dengan zaman yang lalu seperti ini: ia akan berusaha mengganti kesalahan yang lalu atau bila ada hak yang belum dipenuhinya di masa lalu maka ia akan melaksanakannya (tentu bila hal ini memungkinkan).
Ilmu berada menempati jenjang pertama bagi peraubat, yaitu kesadaran akan kebaikan-kebaikan dan pengaruh-pengaruh positif taubat dalam batasan iman dan keyakinan yang pasti.
Iman adalah perkara-perkara yang kita percayai bahwa dosa adalah “racun pembunuh”, sedangkan yakin adalah kepastian tashdiq qalbi (pembenaran hati) dan tidak ada sedikitpun syubhah dan keraguan (perihal dampak buruk dosa), sehingga tashdiq ini mengakar pada hati petaubat. Oleh karena itu, setiap kalicahaya iman menyinari hati petaubatmaka bergeloralah “api penyesalan”, dan setiap kali ia melihat-karena pengaruh dari lentera iman ini–betapa jauhnya ia dari al-Mahbub maka ia merasakan kesakitan dan penderitaan, tak ubahnya seperti orang yang berada dalam kegelapan yang pekat lalu tiba-tiba cahaya menyinarinya. Maka setiap kali seseorang yang nyaris binasa dengan tersingkapnya halangan dan hijab lalu ia melihat Kekasihnya maka di hatinya akan bersemi beni mahabbah (cinta) dan akan bangkit bara rindu dan untuk menggantikan masa lalunya yang kelabu, ia akan bertindak cepat.
Oleh karena itu, meninggalkan dosa yang berhubungan dengan masa sekarang, dan masa yang akan datang serta memperbaiki masa lalu secara berteraturan dan berurutan: pengetahuan, penyesalan, dan qashd (bertujuan/beramal) mereka istilahkan dengan taubat. Yakni, taubat adalah kumpulan/himpunan dari tiga hal tersebut. Dan terkadang taubat hanya mengindikasikanmakna penyesalan, sedangkan ilmu dan pengetahuan berposisi sebagai kebutuhan pra taubat dan meninggalkan dosa sebagai buahnya dan hasilnya adalah penyesalan. Teori dan pandangan ini didukung oleh hadis Nabi saw: «الندم توبة» penyesalan adalah taubat.
Sebab, penyesalan itu berasal dari ilmu dan kesadaran yang pasti akan menghasilkan perubahan dan tidak mungkin sunyi dari qashd (tindakan) dan iradah. Oleh karena itu, penyesalan itu memiliki dua mata pisau: buah (tsamar) dan membuahkan (mutsmir).
Hafidh “Iraqi dalam takhrij (menjelaskan) kitab Ihya mengatakan:”Hadis ini dari Ibn Majah dan Ibn Hibban serta Hakim dan sanad-nya dari hadis Ibn Mas’ud dan mereka menilai hadis ini sebagai hadis shahih. Demikian juga Ibn Hibban dan Hakim meriwayatkan hadis ini dari Anas dan mereke berdua menilai hadis ini shahih berdasarkan syarat Imam Bukhari dan Imam Muslim (Ihya ‘Ulum ad-Din 3/4-4, cetakan Dar al-Ma’rifah, Beirut).
Imam Ghazali menjelaskan bahwa taubat hakiki yang diperintahkan oleh Allah Swt kepada seluruh kaum Muslimin supaya mereka menjadi orang-orang yang sukses adalah taubat nasuha alias khalis (murni) dan taubat yang diterima oleh Allah terdiri dari tiga unsur:
1-Faktor Epistemologis
Unsur pertama yang membentuk taubat adalah ‘amil idraki (faktor epistemologis). Yaitu menyangkut pengetahuan manusia terkait dengan dosa dan kekeliruan saat ia menentang Allah sehingga tersingkaplah tabir matanya dan hilangnya penyumbal telinganya serta terbukanya tirai gelap yang menyelimuti akalnya secara perlahan-lahan saat yang bersangkutan kembali kepada fitrahnya yang sehat.
Di sinilah seseorang akan merasakan kebesaran Allah Azza wa Jalla dan akan mencapai kemuliaam maqam yang tinggi dan ia akan menyadari bahwa betapa tolol dan bodohnya ia selama ini karena mengabaikan dan meremehkan ajakan Allah dan justru taat pada musuhnya, yaitu setan, sehingga ia merasakan kerugian dan mudarat yang nyata. Dan ia sadar betapa kecewanya ia dan baru sadar bahwa selama ini, ternyata telah bergabung dengan kafilah tentara-tentara Iblis.
Bersambung