Toleransi dalam Kejadian Asyura 60-61 H
Makna Toleransi
Secara etimologis, istilah “toleransi” berasal dari bahasa Latin “Tolerare” yang artinya menahan diri, sabar, atau membiarkan sesuatu yang terjadi.
Toleransi adalah suatu sikap saling menghargai antar kelompok atau antar individu dalam suatu komunitas atau masyarakat atau dalam lingkup lainnya. Toleransi adalah sautu perbuatan yang melarang terjadinya diskriminasi sekalipun banyak terdapat kelompok atau golongan yang berbeda dalam masyarakat. Toleransi dinegasikan dengan kata diskriminasi. Dengan tidak melakukan diskriminasi maka seseorang telah melakukan toleransi.
Toleransi adalah respon terbaik dalam menghadapi adanya perbedaan, andai tidak ada perbedaan maka toleransi tidak akan pernah berharga, namun kenyataannya manusia diciptakan sebagai umat-umat beragam, diciptakan beragam agar saling mengenali, lita’arafu.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْناكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثى وَجَعَلْناكُمْ شُعُوباً وَقَبائِلَ لِتَعارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.[1]
Beberapa perbedaan yang ada diantara manusia adalah perbedaan pendapat, pandangan, agama, ras, budaya, madzhab fikih, madzhab aqidah dan perbedaan lainnya. Tanpa toleransi walau bersaudara lahir dari ibu yang sama namun karena beda pendapat bisa jadi dua orang akan bermusuhan hingga saling membunuh, karena beda agama menganggap agama lain salah dan hanya agamanya yang benar akhirnya saling mengkafirkan, menjelek-jelekkan, menganggap dirinya sebagai ahli surga dan yang lain adalah para penghuni neraka.
Toleransi adalah dasar agar manusia tidak menyombongkan diri dihadapan orang atau kelompok lain ketika memiliki kelebihan atau keberuntungan lebih banyak dari yang lain. Semua ada perhitungannya. Menghargai orang lain yang lebih rendah dan lemah tidak akan merendahkan kualitas manusia, sebaliknya hal itu adalah bekal yang membuat manusia melejit kualitas dirinya.
Toleransi yang salah kaprah
Toleransi itu memiliki lingkup paling kecil yakni dalam lingkup pribadi. Disini banyak salah paham, sehingga orang atas nama toleransi akhirnya bermalas-malasan, bangun tidur ketika 15 menit lagi sudah akan masuk salat subuh , kita atas nama toleransi terhadap diri berkata “Nanti dulu” dalam berbagai tugas yang berhubungan dengan pribadi kita, mengerjakan tugas ditunda-tunda dengan mengatakan nanti juga selesai, belum ada ide, dosen pembimbingnya tidak aktif, dll.
Dalam lingkup kecil kita mentolelir sikap dan sifat negatif yang kita miliki. Ini adalah hal terbesar yang dihadapi masing-masing individu, adanya sifat negatif disetiap individu sebagai ujian dan tantangan, ketika sifat negatif ini selalu di tolelir dan dibiarkan, maka sifat ini semakin hari semakin kuat. Setan pun tidak perlu turun tangan untuk menghancurkannya, dia akan hancur dengan sendirinya.
Inilah mengapa jihadun nafs sangat berharga, serta menjadi parameter kuantitas masing-masing manusia. Siapa yang tuntas dalam jihadun nafs maka dia akan berhasil. Jihadun nafs adalah ketika masing-masing individu tidak memberikan toleransi kepada sifat dan sikap buruk diri. Saking dekatnya maka jihadun nafs disebut melawan diri sendiri, melawan egoisme ketidaktaatan kepada Tuhan.
Toleransi dari Asyuro itu hanya untuk sebatas toleransi beragama atau lebih luas dari itu.
Sebelum melihat batas luasan toleransi dalam asyuro, apakah dalam kasus asyura ada nilai-nilai toleransi?
Dalam hal ini kita bisa melihat satu dua kasus, detik-detik pada saat hari-hari dari tanggal 1 sampai tanggal 10 muharam, disini akan kita temukan beberapa kejadian, dalam waktu yang sangat sempit dan keadaan serba terbatas dan sangat membakar kekuatan kesabaran seorang sabar, kondisi yang sangat tidak menguntungkan pada pihak Imam Husain as, beliau dan juga para sahabat dan keluarga beliau tidak henti-hentinya menawarkan kepada pasukan musuh untuk bertaubat, Imam Husain as berkata dan siap merangkul siapa saja yang mau bertaubat walau mereka sudah begitu bengis hingga menjerumuskan Imam Husain as dan keluarga beliau ke padang Karbala, membuat beliau beserta rombongan bersiap menanti kematian dalam atau karena kehausan. Ketika ada yang benar-benar datang bertaubat seperti Al Hurr, Imam Husain as benar-benar menerimanya sepenuh hati, semua perbedaan, kesalahan dan kekeliruan yang dilakukan Hurr tidak dilihat sama sekali. Disinilah bagaimana Imam dan rombongan menerapkan Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Tidak lagi dilihat bahwa dia adalah pimpinan pasukan musuh yang menggiring mereka ke padang karbala tanpa belas kasihan. Yang dilihat adalah nilai ketakwaan yang akhirnya membawa Hurr datang bertaubat menyerahkan diri, turut serta mati syahid bersama Husain as. Siapa saja yang menerima ajakan Imam Husain as sangat jelas bahwa itu adalah kesiapan untuk menerima kematian secara mulia. Hal yang akan sangat berat atau tidak mungkin bagi para pecinta ladang dan onta, para pecinta harta dan kekayaan dunia.
Momen kedua adalah ketika Imam Husain as menawarkan kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya untuk meninggalkan karbala ditengah malam buta, pada saat ada kemungkinan untuk pergi melarikan diri. Menguji kesiapan masing-masing orang yang berada di tenda Imam Husain as, apakah benar mereka siap menjadi penyampai hujjah terakhir, menjadi korban yang memantik keimanan setiap manusia dipanjang zaman atau tidak. Disini masing-masing pejuang itu berhasil mengalahkan egosentris masing-masing, mereka tidak mentolelir ego yang selalu menggaungkan sifat cinta dan rakus terhadap dunia.
Ungkapan “Bagaimana kami akan menghadap kakekmu di hari kiamat kelak jika aku pergi darimu”
“Bukankah kami cukup menari-narikan pedang lalu kehidupan surgawi yang akan kami dapatkan”
Mereka tidak bisa lagi ditipu dunia, mereka tahu dunia itu fana, dunia itu terbatas, toleransi terhadap sifat tamak dunia, untuk bisa hidup sepuluh tahun dua puluh tahun lebih lama, lalu harus menghianati Imam zamannya.
Poin selanjutnya adalah Imam Husain as ketika mengajak itu bermakna umum, semua orang dia ajak untuk menjadi pembela kebenaran, berjuang tanpa melihat agama, ras, suku, golongan, bangsa, budaya, madzhab fikih, madzhab aqidah dan perbedaan lainnya.
Orang yang menjalankan sikap toleransi menunjukkan bahwa dia memiliki kedewasaan berpikir, cara berpikir yang lebih luas dan lebih luwes, orang yang memiliki sikap toleran pasti atas dasar ilmu, bukan hanya coba-coba apalagi tebak-tebakan.
Jadi toleransi dalam asyura itu sangat luas, melampaui agama, ras, bangsa dan batasan-batasan lainnya.
Toleransi membuahkan masyrakat idaman
Pada dasarnya tujuan toleransi adalah untuk menciptakan suasana yang harmonis di dalam masyarakat yang majemuk. Masyarakat bisa hidup aman tentram dan tidak saling mengganggu hak orang lain, masing-masing individu akan mendapatkan sesuai haknya, keadilan akan merata untuk semua kalangan. Dari sini maka akan muncul masyarakat idaman.
Dengan belajar dari asyuro masyarakat bisa belajar toleransi, bisa lebih dewasa dalam menghadapi perbedaan dan ketidaksamaan yang ditemui dilingkup kecil maupun ditengah-tengah masyarakat.
[1] Qs. al-Hujurat: 13.