Tradisi Maulid Nabi di Cirebon; Keraton Kesepuhan
Annisa Eka Nurfitria, LC_____ Tradisi Maulid Nabi, atau yang dikenal sebagai “Muludan,” merupakan bagian penting dari budaya masyarakat Cirebon, Jawa Barat, yang telah berlangsung selama berabad-abad. Acara tahunan ini tidak hanya merayakan keindahan seni, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai keberkahan dan mendorong keberagaman. Berikut beberapa ritual dan aspek penting dari tradisi Muludan yang masih relevan hingga kini.
Cirebon, sebuah wilayah di Jawa Barat, dikenal dengan ragam hidangan kulinernya. Salah satu yang populer di kalangan penduduk setempat adalah Bekasem Ikan. Dapat dikatakan bahwa Bekasem Ikan ini adalah salah satu hidangan kuliner yang istimewa. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa proses pembuatannya telah menjadi bagian dari tradisi yang secara rutin dilaksanakan oleh Keraton Kasepuhan Cirebon. Keraton Kasepuhan Cirebon secara rutin mengadakan tradisi pembuatan Bekasem Ikan menjelang peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Ikan yang telah dibiarkan dalam guci penyimpanan selama satu bulan mulai dikeluarkan. Prosesi membuka guci yang berisi Bekasem Ikan tersebut dilakukan pada hari yang sama dengan tradisi Siraman Panjang, di mana keramik seperti piring hingga guci di Keraton Kasepuhan dicuci. Setelah dikeluarkan dari guci, Bekasem Ikan yang telah disimpan selama satu bulan akan menjalani proses pengeringan. Terdapat beberapa jenis ikan yang umumnya digunakan sebagai bahan utama dalam pembuatan Bekasem ini, termasuk ikan Kakap dan beberapa jenis ikan lainnya. Setelah melalui semua tahapan pembuatannya, Bekasem Ikan akan disajikan bersama dengan Nasi Jimat ketika Keraton Kasepuhan mengadakan tradisi Panjang Jimat. Tradisi ini merupakan puncak dari perayaan peringatan Maulid Nabi SAW di Keraton Kasepuhan.
Keraton Kasepuhan Cirebon juga mengadakan tradisi siraman panjang. Kegiatan ini adalah bagian dari tradisi siraman panjang yang diadakan dalam rangka peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada tanggal 5 Mulud setiap tahunnya. Keraton akan mengadakan siraman piring-piring peninggalan dari Wali Songo, dan nantinya akan dikeluarkan dalam acara Panjang Jimat, Selama tradisi siraman panjang, sejumlah benda pusaka dicuci. Pada awal pelaksanaan ritual siraman panjang, para abdi dalem berkumpul di Bangsal Pungkuran Keraton Kasepuhan Cirebon. Kemudian, secara berturut-turut, para abdi dalem keraton memasuki gudang penyimpanan jimat untuk mengambil piring, guci, dan gelas yang merupakan peninggalan dari Sunan Gunung Jati. Benda-benda berusia hampir enam abad ini kemudian ditempatkan di sebuah meja khusus. Abdi dalem keraton berkumpul bersama dan melantunkan doa serta selawat sebelum barang-barang bersejarah ini dicuci dan ditempatkan kembali ke tempat penyimpanan mereka. Barang-barang ini akan digunakan untuk mewadahi hidangan khas Cirebon, seperti bekasem, pada saat pelaksanaan upacara Panjang Jati. Barang-barang peninggalan Sunan Gunung Jati yang “disucikan” dalam siraman panjang terdiri dari tujuh piring berukuran besar, 38 piring pengiring, dua guci, serta dua tempat untuk minyak mawar atau melati.
Prosesi ritual siraman panjang mencerminkan kondisi suci yang dipertahankan saat merayakan peringatan Maulid Nabi. Panjang Jimat memiliki arti memperingati sepanjang masa, dan jimat ini mengandung makna dari dua kalimat Syahadat. Sebenarnya, tindakan mencuci dalam ritual ini adalah tindakan simbolis yang menggambarkan pentingnya nilai-nilai agama yang terkandung dalam dua kalimat Syahadat tersebut. Setelah selesai ritual siraman panjang, masyarakat dari berbagai daerah yang hadir untuk menyaksikan ritual tersebut dengan cepat menyerbu air yang digunakan untuk mencuci piring pusaka. Mereka saling dorong dan berebut air dengan antusias. Antusiasme warga yang bersaing untuk mendapatkan air bekas mencuci piring peninggalan Sunan Gunung Jati terkait dengan keyakinan mereka bahwa air tersebut memiliki berkah. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa selama seluruh prosesi, para Abdi Dalem membacakan sholawat, yang meningkatkan nilai sakral air tersebut. Air ini memiliki sejarah hampir enam abad dan dianggap suci dalam konteks ritual tersebut.
Sedangkan ritual Panjang Jimat hampir sama dengan upacara lainnya, yang semuanya mengukuhkan keseragaman budaya Jawa yang asli. Pada saat itu, raja tampil di depan rakyatnya, yang dikenal sebagai miyos dalem. Kemampuan raja untuk menciptakan kesatuan digunakan untuk memastikan legitimasi keraton. Selama acara ini, raja memberikan berkahnya untuk kesejahteraan rakyatnya. Di Keraton Kasepuhan, upacara Panjang Jimat dipimpin oleh petugas dan ahli agama dari lingkungan kerabat kesultanan Keraton Kasepuhan. Tahapan pertama adalah Susrana, yang dilaksanakan di gedung atau bangsal dalem. Di sini, disajikan Nasi Rosul sebanyak tujuh golongan, dan masing-masing golongan diletakkan di atas tasbih atau piring besar. Petugas yang terlibat dalam tahap ini meliputi Nyi Penghulu, Nyi Krum, dan disaksikan oleh para Ratu Dalem. Di belakang Bangsal Dalem, disajikan air mawar, bunga goyah, “serbad boreh” (panem), dan hidangan tumpeng 4 “pangsong”/”ancek”/”angsur” yang berisi kue-kue dan tempat dong-dang yang berisi makanan. Petugas yang terlibat dalam tahap ini termasuk Nyi Kotif Agung dan Nyi Kaum, dan mereka disaksikan oleh para Ratu dan keluarga kesultanan. Para pedagang juga turut meramaikan tradisi peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Keraton Kasepuhan Cirebon. Dalam merayakan tradisi Maulid, mereka memberikan kesempatan kepada pedagang usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk ikut serta dalam menjual produk-produk mereka di halaman belakang Keraton.
Tradisi Muludan juga mencakup aksi amal dan berbagi kepada yang membutuhkan. Ini adalah cara masyarakat Cirebon mempraktikkan serta melestarikan nilai-nilai kesejahteraan dan kebaikan yang diajarkan dalam ajaran Islam dan tradisi leluhur serta nenek moyang mereka.
Sumber : https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditwdb/panjang-jimat-kasepuhan-cirebon/