Ushul Fiqih – Dinamika kemunculan dan perkembangannya (bagian ke empat)
Ilmu ushul fiqih pasca Imam Syafii
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, http://ikmalonline.com/ushul-fiqih-dinamika-kelahiran-dan-perkembangannya-dalam-dunia-islam-bagian-pertama/bahwa Imam Syafii dalam karyanya yang sangat fenomenal ar-Risalah menjadi tonggak perkembangan ushul fiqh sebagai bidang ilmu yang mandiri. Dalam karyanya tersebut Imam Syafii menegaskan kembali al-Quran sebagai sumber pertama, sedangkan hadits sebagai sumber kedua. Beliau melakukan pendisiplinan dan sistematikasi penggunaan ijma dan qiyas oleh para pendahulunya. Ia mengkritik ijma’ yang dilakukan berdasarkan kedaerahan, yaitu ijma’ penduduk Madinah dan ijma’ penduduk Kufah. Beliau menegaskan bahwa ijma’ yang valid adalah ijma’ umat Islam, tidak cukup ijma’ penduduk Kufah, penduduk Madinah, atau ijma’ sahabat saja. Imam Syafii juga membenahi penggunaan qiyas agar dilakukan secara metodologis. Beliau mengajukan syarat-syarat agar qiyas dapat dilakukan. Gagasan demikianlah yang kemudian melahirkan madzhab Syafii.
Ilmu Ushul Fiqh sesudah masa beliau semakin berkembang dan meluas dengan aliran yang bermacam-macam. Hal itu, karena sistematika yang dipergunakan oleh Imam Syafii dalam menyusun ilmu Ushul Fiqh dalam kitab Ar Risalah, kitab Jima’ul Ilmi dan kitab Ibthalul Istihsan menekankan, bahwa ushul fiqh merupakan suatu kaidah yang baku untuk mengetahui pendapat-pendapat yang benar dan yang salah, juga sebagai prinsip-prinsip global yang harus diketahui dan dijadikan pedoman dalam usaha penggalian hukum-hukum syariat pada setiap masa. Imam Syafii telah mempergunakan metode ushul fIqh ini untuk mendiskusikan pendapat-pendapat para pakar hukum islam yang berkembang luas pada saat itu. Seperti pendapat Imam Malik, didiskusikan dalam kitabnya Ikhtilafu Malik, begitu juga terhadap pendapat-pendapat ulama Iraq serta pembahasan dan kritiknya terhadap kitab Imam Al Auzai yang ditulis oleh Imam Abu Yusuf. Dengan demikian semua pendapat-pendapat fiqh mengikuti kaidah-kaidah ushul fiqh ini.
Imam Syafii sendiri dalam menggali hukum-hukum syariat telah menggunakan metode ushul fiqh ini secara konsisten. Dengan demikian, ushul fiqh juga merupakan landasan bagi mazhab Syafii. Hal itu, bukan hanya sekedar untuk mempertahankan mazhabnya, karena ushul fiqh menurut Imam Syafii bukan hanya merupakan kerangka teoritis saja, akan tetapi sekaligus merupakan ilmu terapan.
Meskipun semua pakar hukum islam telah mempelajari dan meneliti ushul fiqh yang disusun oleh Imam Syafii, tetapi setelah periode beliau, mereka berbeda pandangan, sebagai berikut:
- Diantara mereka ada yang memberikan penjelasan (syarah) terhadap ushul fiqh Imam Syafii dengan merinci kaidah-kaidah yang masih global. Yang kebanyakan dilakukan oleh pakar hukum madzhab Syafii.
- Sebagian yang lain ada yang mengambil sebagian besar kaidah-kaidah ushul fiqh yang telah ditetapkan Imam Syafii, dan tidak menyetujui bagian yang lain, dan berijtihad untuk menambah kaidah-kaidah yang lain. Yang termasuk kelompok ini ialah ulama Hanafiyah yang menggunakan ushul fiqh lmam Syafii dengan menambah kaidah lain, yaitu istihsandan ‘urf. Begitu pula ulama Malikiyah yang menerima ushul fiqh Imam Syafii dengan menambah ijma’ penduduk Madinah yang diambil dari Imam Malik, di mana hal ini ditentang oleh Imam Syafii. Mereka juga menambah istihsan, mashalih mursalah dan adzd zarai’ yang dibatalkan oleh Imam Syafii.
Pengaruh ilmu kalam dan logika Aristotelian dalam ushul fiqih
Dalam perjalanan waktu, perkembangan kalam luar biasa besar. Kalam ini bukan saja sebagai cabang keilmuan Islam, namun juga masuk dalam ranah politik dan sosial budaya. Kalam sudah menjadi ideologi bagi setiap golongan untuk mempertahankan eksistensinya di tengah masyarakat. Pada akhirnya, ideologi kalam merasuk ke berbagai keilmuan Islam, termasuk di dalamnya ilmu ushul fiqih.
Dalam ushul fiqih, kajian kalam ini sangat kental. Ini bisa dilihat dalam kitab al-Mu’tamad karya Abul Husain Al-Basri yang beraliran Muktazilah dengan al-Mustashfa karya Imam Ghazali yang beraliran Asyariyah. Kedua ushul fiqih ini benar-benar menyatu dengan bahasan kalam. Bahkan kalam menjadi kajian tak terpisahkan dari ilmu ushul fiqih. Kalam ini masuk sampai pada sisi terpenting dalam ushul fiqih, yaitu terkait bahasan semantik yang menghasilkan berbagai qaidah ushuliyah lughawiyah. Tentu bukan hanya dua buku itu. Masih banyak buku-buku ushul fiqih lainnya yang terpengaruh terhadap bahasan kalam ini.
Ilmu kalam pada awalnya menggunakan qiyas ghaib ala syahid untuk mendukung berbagai argumentasi mereka. Lalu kalam banyak bersentuhan dengan filsafat dan bahkan kalam ini bertempur dengan filsafat. Pergulatan hebat antara kalam dengan filsafat ini, secara langsung mempengaruhi cara berfikirnya ulama kalam. Sebelumnya tidak terpikirkan bagi ulama kalam untuk menggunakan qiyas Aristetolian. Namun para filosof selalu menggunakan logika Aristoteles sebagai alat penguat atas argumentasi mereka. Maka ulama kalam pun pada akhirnya menggunakan logika Aristetolian sebagai piranti mereka untuk menghadapi para filosof. Bahkan para mutakallimun menjadikan logika Aristetolian sebagai mukadimah dalam bahasan ilmu kalam.
Ternyata, logika kalam ini juga berpengaruh kedalam ilmu ushul fiqih. Sebelumnya tidak terpikirkan bagi para ulama ushul untuk menggunakan logika Aristoteles sebagai bagian dari ilmu ushul fiqih. Namun karena ulama kalam menggunakan logika Aristoteles, dan ilmu ushul fiqih juga sudah terpengaruh dengan aliran kalam, maka logika Aristoteles juga dijadikan sebagai mukadimah dalam ilmu ushul fiqih. Tujuannya tidak lain adalah sebagai alat bantu dalam mendukung berbagai argumentasi kalam mereka, meski dalam koridor ilmu ushul fiqih. Ini bisa dilihat secara jelas dalam kitab al-Mustashfa fi Ilmil Ushul karya Imam Ghazali di mana mukadimah buku tersebut memberikan keterangan mendetail mengenai ilmu logika Aristetolian.
Logika Aristo ini, menemui puncaknya dalam ilmu ushul fiqih karya Ibnu Hazm Azh-Zhahiri. Jika Ghazali sekadar menjadikan logika Aristetolian sebagai mukadimah buku saja dan sebagai penguat argumen dalam berdebat terkait ilmu ushul fiqih kalam, maka Ibnu Hazm menjadikan logika Aristetolian ini sebagai piranti penting untuk merumuskan berbagai kaidah ilmu ushul. Kitab al-Ihkam fi Ushulil Ahkam merupakan kitab ushul fiqih yang sangat kental dengan logika Aristetolian. Tidak hanya itu, Ibnu Hazm juga menulis buku lain terkait kaidah ilmu ushul yang dirumuskan dari logika Aristetolian dan penerapannya dalam ilmu fikih. Buku itu adalah Attaqrib lihaddil Mantiq Wal Madkhal Ilaihi Bil Alfaz Al-Ammiyyah Wal Amtsilah Al-Fiqhiyyah.
Seruan rekonstruksi ulang (tajdiid) Ushul Fiqh Pasca Imam Syafii
Wacana rekonstruksi Ushul Fiqih adalah tema yang mejadi diskusi menarik diantara para ulama. Selain usianya sudah 13 abad, terhitung sejak Imam Syafii menulis kitab ar-Risalah, Ushul Fiqih sebenarnya banyak telah mengalami perubahan mendasar, seperti metodologi penulisan maupun pembahasan materinya. Urgensi memperbarui ilmu ini memiliki implikasi terhadap konstelasi hukum Islam dan karena Ushul Fiqih adalah ilmu ciptaan manusia yang tidak sakral.
DR Yusuf Qardawi mengatakan bahwa ilmu yang muncul dari rahim umat ini sangat memungkinkan untuk direkonstruksi. Kalau ilmu seperti Fiqih, Tasawuf, dan Tafsir bisa diperbarui, kenapa ilmu Ushul Fiqih tidak?[1]
Hal senada juga dikuatkan oleh Dr. Ali Jum’ah dalam bukunya, Aliyat al-Ijtihad, beliau mengatakan bahwa alangkah ironisnya bagi orang yang menguasai Ushul Fiqih dan Fiqih secara bersamaan, akan tetapi dia hanya mengetahui teori dan sistem pengajaran dan tidak lebih dari itu. Dia juga mengatakan bahwa Ushul Fiqih harus menjadi problem solver-nya umat ini dalam memecahkan persoalan kontemporer.[2]
Ungkapan lebih lugas dipaparkan oleh Hasan Turabi. Menurutnya, Ushul Fiqih saat ini sudah tidak relevan terhadap perkembangan zaman. Menurutnya, Ushul Fiqih klasik merupakan jawaban terhadap problematika umat yang berkembang pada saat itu. Tokoh yang satu ini termasuk yang sangat gencar dalam menyuarakan tajdid Ushul Fiqih. Baginya, Ushul Fiqih harus lebih akomodatif terhadap permasalahan-permasalahan kontemporer. Tertutupnya pintu ijtihad dalam Ahlusunnah semakin mengernyitkan dahi para orientalis yang berujung pada kesimpulan asumtif bahwa ilmu ini tumbuh dan berkembang sebagai jawaban atas problematika umat terdahulu. Untuk merekonstruksi ilmu Ushul Fiqih demi tercapainya pembaruan Islam haruslah ada suplemen ilmu-ilmu sosial Barat yang sejatinya akan merekonstruksi epistemologi Islam dalam Ushul Fiqih.[3]
Wacana tersebut kemudian dibantah oleh Muhamad Said Ramadhan Buthi yang mengatakan Ushul Fiqih dan ilmu-ilmu Islam tidaklah muncul sebagai jawaban atas persoalan-persoalan yang ada pada saat itu, seperti persoalan ekonomi, politik, sosial, dan sebagainya. Ilmu Ushul Fiqih lahir secara aksiomatik, dan merupakan hasil pemahaman para ulama terhadap nash. Muncullah pertanyaan, kalau permasalahan kontemporer tersebut terus berkembang, apakah Ushul Fiqih juga harus menyesuaikan? Ilmu ini, menurut Muhamad Said Ramadhan Buthi, sangat sulit untuk direkonstruksi, terutama jika ditinjau dari segi isinya karena landasannya sendiri adalah Al-Quran dan Sunnah. Merekonstruksi ilmu ini akan berakhir sia-sia saja.[4]
Ali Shofi
[1] Rachmat Syafi’I, “ Ilmu Ushul Fiqh”, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2007), hal.128.
[2] Rachmat Syafi’I, “ Ilmu Ushul Fiqh”, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2007), hal.132
[3] Nazar Bakry, “Fiqh dan Ushul Fiqh”. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003). Hal.86
[4] Nazar Bakry, “Fiqh dan Ushul Fiqh”. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003). Hal.102