USHUL FIQIH – DINAMIKA KEMUNCULAN DAN PERKEMBANGANNYA DALAM DUNIA ISLAM-. (Bagian Kedua)
Periode kelahiran ilmu ushul fiqih dalam syiah
Kebutuhan akan ushul fiqih dalam Ahlussunnah lebih besar daripada syiah, karena seperti apa yang dikatakan oleh Rasyid Ridha dalam tafsirnya bahwa hadist yang berkaitan dengan hukum tidak lebih dari lima ratus hadist adapun empat ribu lainnya adalah hadist mauquf[1] dan mursal[2].
Beliau juga menukil apa yang dikatakan oleh Imam Razi yang mengatakan “Jumlah dalil yang jelas berasal dari al-Quran dan hadist hanyalah sedikit sekali”.[3]
Hal itu disebabkan, menurut Syekh Jafar Subhani karena,”Dalam Ahlussunnah era nash telah berakhir setelah wafatnya Rasulullah saw oleh karena itulah mereka berusaha untuk membuat formula untuk menyelesaikan segala problematika hukum yang mereka hadapi, sehingga kebutuhan akan ilmu ushul fiqih sangat mendesak sekali.
Masalah itu tidak dihadapi oleh Syiah karena era nash tidak berakhir dengan wafatnya Rasulullah saw, karena mereka memiliki pewaris kepemimpinan Rasulullah saw yaitu 12 orang imam pengganti beliau yang memiliki konsekwensi ketaatan sama seperti ketaatan kepada Rasulullah saw dan semua perkataan mereka bukanlah ijtihad tapi merupakan bagian dan agama dan syariat, sehingga urgensi akan ilmu ushul fiqih tidak begitu mendesak bagi kalangan syiah”.[4]
Namun bukan berarti tema-tema yang berkaitan dengan ushul fiqih tidak menjadi konsentrasi pada era para imam as, karena beberapa karya bermunculan berkaitan dengan beberapa tema ushul fiqih diantaranya ialah:
- Al-Alfadz karya Hisyam bin Hakam
- Ikhtilaf al-Hadist wa masaa’ilihi , karya Yunus bin Abdurahman
- Ibthol a-qiyas, karya Abu Manshur Shirom an-Nisyaburi
- Ibthol al-qiyas, karya Ibnu Junaeid
Geliat karya-karya ushul fiqih lebih mengemuka pasca kegaiban Imam Mahdi ajs. Beberapa karya tersebut ialah:
- Karya Syekh Mufid ( 336 – 413 H ) yang dicantumkan oleh murid beliau al-Karojiki dalam kitabnya Kanzul fawaid.
- Karya yang ditulis oleh murid beliau juga Sayid Murtadha berjudul “adz-Dzari’ah fii Ushuul as-Syarii’ah”.
- ‘Iddah al-Ushul, karya Syekh Thusi ( 385-460 H)
Dan masih banyak karya-karya yang lain yang tidak dapat kita sebutkan disini.
Pendapat lain
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Ayatullah Hasan Shadr bahwa orang pertama yang membuka pintu ilmu ini dan merumuskannya adalah Imam Muhammad bin Ali Baqir a.s., lalu putra beliau, yaitu Imam Ja’far Shadiq a.s. Mereka yang mulia telah mendiktekan pelbagai kaidah dan permasalahan Ushul Fikih kepada sekelompok murid mereka, yang pada gilirannya mereka (para murid) itulah yang mengumpulkan semua itu.
Lalu ulama-ulama yang datang setelah mereka menyusunnya sesuai dengan kerangka pembahasannya, seperti Ushul Al Rasul, Al-Fushul Al-Muhimmah fi Ushul Al-Aimmah dan Al-Ushul Al-Ashilah. Semua kitab ini dilengkapi dengan riwayat para perawi yang terpercaya dan semua sanadnya bersambung sampai kepada Ahlulbait a.s. (Hasan Shadr, Ta’sis Al-Syi’ah li Funun Al-Islam, 1370 HS, hlm. 310)
Argumentasi
Beliau pencetus kaidah istishab, yaitu sebuah kaidah yang mengatakan bahwa keyakinan tidak mungkin dapat dihilangkan dengan keraguan.
قلت له: – أي للإمام الباقر – الرجل ينام وهو على وضوء، أتوجب الخفقة والخفقتان عليه الوضوء؟
فقال: يا زرارة قد تنام العين ولا ينام القلب والأذن، فإذا نامت العين والأذن والقلب وجب الوضوء.
قلت: فإن حرك في جنبه شيء وهو لا يعلم به؟
قال: لا، حتى يستيقن أنه قد نام، حتى يجيء من ذلك أثر بين، وإلا فإنه على يقين من وضوئه، ولا ينقض (تنقض) اليقين أبداً بالشك، وإنما ينقضه بيقين آخر.
Zuroroh bertanya kepada Imam al-Baqir as,”Seorang ingin tidur dan ia dalam keadaan berwudhu, apakah satu atau dua kali lenggutan akan menjadikan dia wajib untuk berwudhu?, Imam as menjawab,”Ya Zuroroh terkadang mata terpejam namun hati dan telinga masih tidak tertidur, jika mata, telinga dan hati tertidur maka wajib baginya berwudhu”.
Zuroroh bertanya lagi,”Jika ada yang bergerak disampingnya namun ia tak mengetahuinya (apakah tetap wajib berwudhu), Imam as menjawab lagi,Tidak, kecuali ia benar-benar yakin bahwa ia telah tertidur, (dia tidak harus berwudhu) kecuali jika ada tanda-tanda yang jelas bahwa ia tertidur, jika tidak, maka ia tetap dalam keadaan yakin bahwa ia masih dalam keadaan berwudhu.
Selamanya keyakinan tidak akan dapat tertolak dengan keraguan, keyakinan dapat ditolak dengan keyakinan yang lain”.[5]
Imam Baqir as pencetus kaidah tajaawuz, sebuah kaidah yang menyatakan untuk tidak mempedulikan keraguan yang telah berlalu dan melanjutkan amal ibadah yang sedang dilakukannya.
في موثقة إسماعيل بن جابر قال: قال أبو جعفر : «إن شك في الركوع بعد ما سجد فليمض، وإن شك في السجود بعد ما قام فليمض، كل شيء شك فيه مما قد جاوزه ودخل في غيره فليمض عليه
Muwastaqoh Ismail bin Jabir, ia berkata, Abu Jafar as berkata,”Jika seseorang ragu dalam rukuk setelah ia sujud, maka lanjutkanlah, jika ia ragu dalam sujud namun ia dalam keadaan qiyam maka lanjutkanlah, segala sesuatu keraguan yang telah berlalu dan ia telah masuk pada sesuatu yang lain maka lanjutkanlah”.[6]
Masih banyak lagi beberapa riwayat dari Imam Muhammad al-Baqir as yang merumuskan beberapa kaidah yang digunakan dalam ilmu fiqih dan ushul fiqih.
kesimpulan
Syekh Jafar Subhani menegaskan bahwa era nash terus berlanjut sampai era imam mashum as, dan kepedulian para Imam as untuk memberikan dasar-dasar perumusan kaidah ushul fiqih juga dipaparkan dalam pendapat kedua, namun hal tersebut masih belum layak disebut sebagai kelahiran ilmu ushul fiqih, geliat ilmu ushul fiqih dalam madhzab syiah justru tampak pasca ghaib kubro yang dipelopori oleh syekh Mufid dan syekh Thusi.
Wallahu A’lam
Ali Shofi
[1]Pengertian istilah ulama hadis adalah:
“Sesuatu yang disandarkan kepada sahabat, baik dari perkataan, perbuatan, atau taqrir, baik bersambung sanadnya maupun terputus.”
Sebagian ulama mendefinisikan hadis mauquf adalah:
“Hadis yang disandarkan seseorang kepada sahabat, tidak sampai kepada Rasulullah SAW” .
Abdul Majid Khan, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2010), 227
[2] Mayoritas ulama hadits mendefisinikan hadis mursal dengan hadis yang disandarkan langsung kepada Nabi oleh seorang tabi’in, baik tabi’in besar maupun tabi’in kecil, tanpa terlebih dahulu disandarkan kepada sahabat Nabi.
Idri, Studi Hadis, (Jakarta: Prenada Media Group,2010),hlm. 193.
[3] Tafsir Manar,Juz.V/189.
[4] Adhwaa ‘ala ‘aqooid as-Syiah al-Imamiyyah. 279.
[5] Jami’ ahaadits as-Syiah, Ayatullah Burujerdi, juz 2, hal 350, hadist no.2328
[6] Al-Istibshar, Syekh Thusi, juz 1, hal,370-371, hadist no.1417