USHUL FIQIH – DINAMIKA KEMUNCULAN DAN PERKEMBANGANNYA DALAM DUNIA ISLAM-. (Bagian Ketiga)
Apabila ushul fiqh dilihat sebagai metode pengambilan hukum secara umum, bukan sebagai sebuah disiplin ilmu yang khas seperti yang dijelaskan pada bagian pertama http://ikmalonline.com/ushul-fiqih-dinamika-kelahiran-dan-perkembangannya-dalam-dunia-islam-bagian-pertama/dan kedua http://ikmalonline.com/ushul-fiqih-dinamika-kemunculan-dan-perkembangannya-dalam-dunia-islam-bagian-kedua/ dalam tulisan ini maka dapat dikatakan ketika seorang sahabat misalnya dihadapkan terhadap persoalan hukum, lalu ia mencari ayat al-Quran atau mencari jawaban dari Rasulullah saww dan para imam mashum as, maka hal tersebut bisa dipandang sebagai metode mendapatkan solusi hukum.
Para sahabat sudah punya gagasan bahwa untuk mendapatkan solusi hukum dari al-Quran atau bertanya kepada Nabi saww atau para mashum as. Akan tetapi, cara yang demikian belum bisa dikategorikan sebagai sebuah disiplin ilmu. mencari solusi hukum dengan cara demikian adalah prototipe ushul fiqh, yang masih perlu pengembangan lebih lanjut untuk disebut sebagai disiplin ilmu ushul fiqh.
”Ushul fiqih” pada era nash dalam riwayat Ahlussunnah
Beberapa prototitpe ushul fiqh seperti demikian tentu telah ditemukan pada era nash pada zaman Rasulullah saww dan para imam mashum as, para sahabat berijtihad dalam persoalan-persoalan yang tidak ada atau tidak didapatkannya dalam al-Quran dan hadist. Namun ijtihad tersebut masih dilakukan dalam bentuk sederhana, tanpa persyaratan rumit seperti yang dirumuskan para ulama dikemudian hari. Seperti ijtihad yang dilakukan oleh Muadz bin Jabal pada saat Rasulullah saww masih hidup :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما أراد أن يبعث معاذا إلى اليمن قال: كيف تقضي إذا عرض لك قضاء؟ قال: أقضى بكتاب الله، قال فإن لم تجد في كتاب الله؟ قال فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، قال فإن لم تجد في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا في كتاب الله؟ قال أجتهد رأيي ولا آلو؟ فضرب رسول الله صلّى الله عليه وسلّم صدره وقال: الحمد لله الذي وفّق رسول الله
Bahwasannya Nabi Saww ketika mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau saww bersabda: “Bagaimana engkau menghukumi? Mu’adz menjawab: Dengan kitab Allah? Nabi saw bertanya: Jika tidak ada dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab: Dengan sunnah Rasulullah Saww. Nabi Saww bertanya lagi: Jika tidak ada dalam sunnah Nabi Saww.? Mu’adz menjawab: aku berijtihad dengan pendapatku. Mu’adz berkata: maka Rasulullah Saww bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusanNya Rasulullah Saww”. [1]
Dalam hadits lain diceritakan:
عن أبي سعيد الخدري قال خرج رجلان في سفر فحضرت الصلاة وليس معهما ماء فتيمما صعيدا طيبا فصليا ثم وجدا الماء في الوقت فأعاد أحدهما الصلاة والوضوء ولم يعد الآخر ثم أتيا رسول الله صلى الله عليه وسلم فذكرا ذلك له فقال للذي لم يعد أصبت السنة وأجزأتك صلاتك وقال للذي توضأ وأعاد لك الأجر مرتين
Dari Abu Said al-khudri, ia berkata:
“Pernah ada dua orang bepergian bersama. Ketika dalam perjalanan, datanglah waktu shalat, namun mereka tidak mendapatkan air. Mereka pun tayammum dengan tanah yang suci, lalu shalat. Setelah selesai shalat, mereka mendapatkan air, sedangkan waktu shalat masih ada.
Salah seorang dari mereka berwudhu lalu mengulangi shalatnya, sedangkan yang satunya tidak mengulangi shalatnya.
Setelah pulang, mereka datang dan menceritakan kepada Rasulullah saww kejadian yang mereka alami. Rasulullah saww berkata kepada yang tidak mengulangi shalatnya, “Kamu telah mengikuti sunnah dan shalat yang kamu lakukan telah cukup bagimu”. Sedangkan kepada yang mengulangi wudhu dan shalatnya beliau saww berkata, “Kamu mendapatkan dua pahala.”[2]
”Ushul fiqih” pada era nash dalam riwayat Syiah Ahlulbait as
Muadz bin Muslim, salah seorang sahabat Imam Shadiq As, tanpa mendapatkan izin dari imam as memberikan fatwa di masjid. Tatkala berita ini sampai kepada Imam Shadiq as, beliau mendukung apa yang dilakukan sahabatnya tersebut.
عن الإمام الصادق (عليه السلام): (قال: بلغني أنك تقعد في الجامع فتفتي الناس؟ قلت: نعم، وأردت أن أسألك عن ذلك قبل أن أخرج. إني أقعد في المسجد فيجيء الرجل فيسألني عن الشيء، فإذا عرفته بالخلاف لكم أخبرته بما يقولون، ويجيء الرجل أعرفه بحبكم أو بمودتكم فأخبره بما جاء عنكم، ويجيء الرجل لا أعرفه ولا أدري من هو، فأقول: جاء عن فلان كذا وجاء عن فلان كذا، فأدخل قولكم فيما بين ذلك. قال: فقال لي: اصنع كذا، فإني أصنع كذا
Imam Jafar Shodiq as berkata,” Telah sampai kabar kepadaku bahwa kau duduk dan memberikan fatwa kepada masyarakat?, Muadz menjawab,”Benar, dan aku ingin bertanya mengenai hai itu sebelum aku pulang.
Aku duduk di masjid lalu datanglah seseorang seraya bertanya kepadaku tentang sesuatu, jika aku tahu bahwa ia bukan pengikutmu maka aku memberikan fatwa sesuai dengan pendapat mereka, lalu datang orang kedua untuk bertanya dan aku tahu bahwa ia termasuk pencintamu maka aku akan mengabarkannya sesuai dengan apa yang kau ajarkan kepadaku, lalu datang orang ketiga dan aku tak mengenal jati dirinya maka aku memberinya dua pilihan, si fulan mengatakan ini dan si fulan satu lagi mengatakan ini, aku menyisipkan pendapatmu dalam jawabanku, lalu Muadz bin Muslim berkata, Imam Jafar Shodiq as berkata,”Lakukanlah seperti itu, karena aku melakukannya”.[3]
قال الحسن بت يقطين: لا اکاد اصل الیک اسألک عن کل ما احتاج الیه من معالم دینی. افیونس بن عبد الرحمان ثقة آخذ منه ما احتاج الیه من معالم دینی فقال نعم
Hasan bin Ali Yaqtin berkata, “Aku berkata kepada Imam Ridha as, “Saya tidak dapat bertanya kepada Anda (secara langsung) ketika berhadapan dengan setiap persoalan agama yang saya hadapi. Apakah Yunus bin Abdurrahman itu orang tsiqah (dapat dipercaya) dan jujur dan saya dapat menerima jawaban terhadap masalah-masalah agama yang saya hadapi? Imam Ridha as bersabda, “Iya.”[4]
Penutup
Ilmu ushul fiqh dalam Ahlussunnah dilihat dari kelahirannya, maka dapat dibagi secara umum menjadi dua, yakni ushul fiqh sebelum masa Imam Syafii dan pasca era Imam Syafii. Sebelum masa Imam Syafii ushul fiqih tidak menjadi disiplin ilmu tersendiri namun ia berkembang secara dinamis bersama problematika yang dihadapi kaum muslimin pada saat itu dalam kerangka ijtihad para sahabat nabi dan tabi’in.
Hal yang hampir sama juga dialami oleh syiah, sebelum ghaib kubra kebutuhan terhadap disiplin ilmu ushul fiqih tidak krusial dan mendesak karena keberadaan Nabi saww dan para imam as sebagai sumber hukum, namun ushul fiqih dalam artian metode pengambilan hukum secara umum dan seni berijtihad telah lahir dan berkembang secara dinamis pada era nash.
Wallahu A’lam
Ali Shofi
[1] Tafsir al-Manar 7/156
[2] Sunan abu daud, kitab taharoh, bab tayammum, hadist no.338
[3] Wasâil al-Syiah, jil. 27, hal. 148.
[4] Wasâil al-Syiah, jil. 27, hal. 142.