Waspadai Mulutmu!
Mulutmu, harimaumu. Karena mulut, bisa binasa. Dua peribahasa ini lazim dikenal dalam banyak bahasa. Lahir dari pengalaman yang lantas dirangkum sebagai ajaran yang mudah dipahami dan ditanamkan. Mulut atau lidah, seperti juga alat dan sarana, bisa berguna sekaligus berbahaya. Sebagai nikmat besar ilahi, lidah adalah salah satu karunia besar Allah SWT untuk manusia agar dapat menggunakannya dalam rangka mencapai kemajuan dan kesempurnaan. Manusia yang bijak dan mulia pasti akan memeriksa situasi dan kondisi yang tepat dalam menggunakan karunia ini secara baik dan benar.
Dapat dikatakan bahwa lidah merupakan nikmat tertinggi untuk manusia setelah Allah SWT menganugerahkan wujud kepadanya dan menurunkan nikmat Al-Quran ke hadapannya, “Yang Maha Pengasih, telah mengajarkan Al-Quran, telah menciptakan manusia, telah mengajarinya bayan—kepandaian menerangkan”[1].
Karena itu, nilai karunia ini seyogianya disadari dan karena itu pula, Tuhan patut disyukuri. Imam Ali bin Abi Thalib ra. Berkata, “Sadarilah bahwa lidah adalah penggalan daging manusia; kala ia enggan bicara, lidah tak akan sanggup bicara, dan kala ia ingin ber-kata, lidah tak akan sanggup menolak.”[2].
Tidak seperti bentuknya yang mungil, lidah mempunyai posisi yang tinggi sekali dalam berbuat taat dan berlaku maksiat. Betapa banyak hubungan yang rusak akibat ulahnya, betapa banyak perceraian yang kembali terjalin karena perilakunya, dan betapa banyak darah yang ditumpahkan dan nyawa tak berdosa disia-siakan akibat tingkahnya.
Adakalanya tutur kata juga menjadi sebaik-baik ibadah; membuat seseorang menjadi insan samawi dan membawanya melambung ke mikraj ruhani. Adakalanya pula tutur kata jadi dan perbuatan tercela manusia dan dosa terberat yang mengundang siksa. Namun, tatkala tutur kata membuka jalan keridhaan Tuhan dan pintu rahmat-Nya yang luas, maka dengan usaha kecil dan modal sedikit saja ia menjadi ibadah yang paling berharga; mengucapkan nama suci Allah SWT, bersaksi atas keesaan-Nya, menyalurkan petunjuk dan bimbingan kepada makhluk-Nya, memohonkan syafaat bagi orang lain, dan aktivitas lainnya yang nurani, indah dan sangat membantu penutur dalam menempuh perjalanan menuju keutamaan insani, baik dalam konteks hukum wajib ataupun sunah.
Martabat lidah dan mulut juga tampak menonjol dalam ungkapan Imam Ali bin Abi Thalib ra. mengenai karakter keluarga sucinya di hadapan para pendekar sastra, “Kami sungguh penguasa tutur kata, akarnya mengurat dalam diri kami dan tangkai-tangkainya bertumpu pada kami”[3].
Tentunya, kandungan tutur kata juga harus baik dan berguna, karena segala sesuatu yang tidak berguna adalah sia-sia dan tidak berharga. Maka dari itu, tidak ada yang lebih berharga dari tutur kata yang sarat manfaat dan berfungsi menuntaskan masalah; tutur kata seperti ini tidak akan mengalir kecuali dari kalbu yang bersih. Oleh karena itu, manusia lebih membutuhkan hati yang bijak daripada lidah yang tangkas bicara, sebab dengan hati yang bijak ia mampu melindungi lidahnya dari penyakit, menyadari tutur katanya sebagai bagian dari amal perbuatan. jelas seterang-terangnya, tutur kata yang benar dan jujur adalah obat, sedangkan tutur kata yang dusta dan batil tak ubah-nya penyakit.
Tutur kata adalah cermin identitas. Imam Ali ra. berkata, “Manusia tersembunyi di balik lidahnya, maka kendalikanlah tutur katamu dan ajukanlah ke hadapan akal serta kebenaran; apabila di-ucapkan demi Allah dan di jalan-Nya, maka sampaikanlah, jika tidak demikian, maka diamlah.”[4].
Manusia tersembunyi di bawah lidah
lidah ini tabir di ambang nyawa.
Karena angin menghembus sibakkan tabir
rahasia ruang rumah tampak bagi kita.
Isi rumah sungguh permata atau biji gandum
karun emas atau sarang ular dan kalajengking.
Boleh jadi emas yang dibelit ular
sebab tak mungkin ada emas tanpa penjaga.
Tanpa berpikir demikian dia bertutur
setelah lima ratus tahun orang lain kan berpikir[5].
Amat disayangkan, silat lidah yang begitu mudah diperagakan mem-buatnya lebih sering melanggar norma dan menerjang batas hukum dibandingkan organ tubuh yang lain, ruang geraknya juga lebih luas, peluang baik dan buruknya juga lebih lebar.
Lidah dan mulut amat rentan terserang wabah dan penyakit seperti: menggunjing, berbohong, bertengkar, memfitnah, mencaci-maki, merumpi, bergurau, berbicara sia-sia, dan penyakit lainnya. Belum lagi pencegahan atau pengobatannya bukanlah pekerjaan yang mudah. Akhir dari ketaatan atau pembangkangan adalah iman atau kekafiran yang terjadi bahkan cukup dengan kesaksian secara lisan. Imam Ali Zainal Abidin ra. berkata, “Setiap pagi lidah manusia mengunjungi seluruh organ tubuhnya seraya bertanya, ‘Bagaimana kalian melewatkan tadi malam? ’Mereka menjawab, ‘Seandainya kamu biarkan kami, pasti akan menjadi malam yang sempurna.’ Lalu mereka menyumpahinya seraya berkata, ‘Takutlah kamu dari Allah demi diri kami, sebab kami hanya akan disiksa atau diberi pahala karena ulahmu’”[6].
Rasulullah SAW Bersabda, “Adakah sesuatu selain dampak lidah yang menyebabkan manusia terjerumus ke dalam neraka?!”[7]. Imam Ali bin Abi Thalib ra. juga menyebut lidah atau mulut sebagai kunci segala kebaikan dan keburukan[8]. Ia mengingatkan bahwa manusia yang beriman akan ketat menjaga dirinya jangan sampai dicemari oleh dosa-dosa organ tubuh ini. Oleh karena itu, ia mau tidak mau harus mengenali apa saja penyakit lidah. [anh]
Sumber:
[1] (QS. Al-Rahman [55]: 1-4)
[2] (Nahj Al-Balâghah, pidato no. 233)
[3] (ibid.)
[4] (M. Nuri, Mustadrak Al-Wasâ’il, jld. 9, hlm. 29, hadis ke-10120)
[5] (Maulawi, Matsnawi Ma‘nawi, daftar kedua, hlm. 241)
[6] (Kulaini, Al-Kâfî, jld. 2, hlm. 115, hadis ke-13)
[7] (ibid., hadis ke-14)
[8] (ibid., hlm. 114, hadis ke-10)