Identitas Arab itu Ilusi, Benarkah ?
MM-Prof. Dr. Didik J. Rachbini (Rektor Universitas Paramadina) membuka acara webinar bedah buku identitas Arab itu ilusi, Rabo, 15/6/22 dengan tema Tantangan Identitas Manusia Indonesia Kontemporer.
Dihadiri tiga pembicara. Musa Kazhim, penulis buku. Dr. Subhi Ibrahim, ketua prodi Islam Madani, dan dosen Paramadina. Muhammad Ma’ruf, Ph.D, Direktur Real Thinkers Institute dan Peneliti Pancasila dan isu-isu Kontemporer.
Mengutip Mochtar Lubis, Didik mengatakan, identitas masyarakat indonesia memiliki dua ciri, positif dan negatif. Manusia Indonesia yang pertama, memiliki ciri identitas berjiwa estetis. Ini adalah identitas positifis, aku Didik. Seperti dibuktikan dengan keanekaragaman manifestasi budaya, suku, bahasa yang tersebar di nusantara.
Sementara identitas kedua, bermakna negatif. Seperti memiliki sifat munafik, hipokrit, feudal, tahayul dan tidak bertanggung jawab. Kondisi di Indonesia saat ini, menurut Didik masih campur aduk, antara tahayul dan modern. Inilah yang menurut Didik, tantangan yang harus di hadapi di era kontemporer.
Sementara Ma’ruf memberi pengantar diskusi. Menurutnya, buku Identitas Arab ilusi karya Musa Kazhim merupakan proyek percontohan yang bagus, bagaimana mencari identitas manusia Indonesia di era kontemporer. Penulis secara empatik fenoemenologis, mereflesikan dirinya sendiri sebagai bagian dari geneologi arab yang ingin keluar dari reduksi makna arab.
Menurut Musa, sang penulis, telah terjadi manipulasi makna arab yang bersifat historis-politis yang seoalah Islam di sejajarkan dengan fenomena ke arab araban, dan kehabiban. Olehkarena gara-gara kepentingan politik sesaat, ada beberapa habib yang telah mereduksi marwah kaum alawiyin yang toleran, dan damai dalam berdakwah pada dekade sebelumnya.
Dalam pencarian itulah, penulis menemukan secara akademik populer bahwa hakekat makna arab sejatinya adalah penutur bahasa arab yang fasih sebagaimana nabi yang berasal dari suku Qurais-yakni bahasa Alquran itu sendiri.
Menurut bacaan Ma’ruf, Arab dalam makna geneologis, dan historis adalah makna kedua yang telah mengalami historiisasi. Penulis tidak bermaksud anti arab ataupun anti nasab. Upayanya dimaksudkan untuk mengurangi tingkat polarisasi dalam masyarakat ke level akademik.
Harapan Ma’ruf, buku ini dapat memicu dari refleksi akademik popular bisa di tingkatkan menjadi karya ilmiah yang lebih terstruktur. Terdiri dari dimensi teoritis dan praktis. Teoritis artinya mensolidkan bangunan fondasi teorinya. Merekontruksi kembali secara teoritis bisa dengan cara memperkuat definisi identitas, arab dan ilusi serta relasinya secara lebih komprehensif. Sehingga terhindar dari generalisasi secara tidak akurat. Dan praktis, artinya mencari data-data lapangan yang relevan dan mendukung teori tersebut.
Dimensi disiplin ilmu yang bisa dikembangkan adalah kajian bahasa, antropologi, sejarah dan Filsafat Manusia, tafsir Al-Quran dan Filsafat Bahasa.
Sementara Musa Kazhim Alhabsyi selaku penulis buku “Identitas Arab Itu Ilusi” menekankan bahwa inti buku ini adalah bahwa kata arab sebenarnya menunjuk pada penutur bahasa arab. Fokusnya pada tuga huruf ع – ر– ب.
Kata ‘Arab/ العرب adalah orang-orang Arab. Mereka terdiri dari banyak suku dan berasal dari bermacam- macam wilayah geografis. Mereka disebut dalam satu kata ini karena kesamaan unsur bahasanya, bukan lain-lainnya. Kumpulan manusia penutur bahasa induk yang sama ini umumnya tinggal dan menetap di desa-desa atau perkotaan.
Sementara A’rab/ الأعراب adalah orang-orang Arab yang tidak menetap di desa-desa atau perkotaan. Mereka mengembara di gurun-gurun pasir, meski terkadang menetap sementara di salah satu titik di bentangan wilayah geografis yang sangat luas tersebut. Pengembaraan mereka dilakukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ekonomi, sosial, politik dan juga digerakkan oleh faktor-faktor ekologis.
عربي /Arabi‘adalah satu orang Arab yang berbahasa dengan fashih/lugas. pada umumnya tapi lebih khusus dan spesifik menyifati cara berbahasanya yang fashih, lugas, terang benderang. Maka tambahan huruf ya’ nisbah di sini untuk memperkuat kata sifat Arabnya. Tafsir soal ya’ nisbah seperti ini mendukung bahwa ع- ر- ب bahasa adalah esensi etimologis dan asal usul munculnya kata. Penggunaan ya’ nisbah demi menguatkan kata sifat diakui oleh Al-Zamakhsyari saat menafsirkan kata ًِسخريّا dalam Surah Al-Mukminin ayat 110.
العجم /A’jam‘ adalah orang-orang non Arab (kumpulan orang yang tidak bertutur bahasa Arab). Untuk menunjukkan arti tunggal juga ditambahkan huruf ya’ pada akhir kata itu.
الأعجمي / a’jami adalah orang yang dalam berbahasanya tidak jelas, kurang lugas dan tidak fashih, baik ia orang Arab maupun non Arab. Dan ini konsisten dengan makna asal huruf
ع-ج-م
Musa menyimpulkan, kata arab adalah penutur bahasa arab yang fasih, lugas dan tegas sebagaimana nabi. Sebagai lawanya a’jam, penutur bahasa arab yang tidak fasih, tidak jelas dan ambigu. Olehkarena itu identitas arab adalah kualitas pemahaman kita terhadap bahasa arab nabi berikut pemahamanya yang sebangun dengan Alquran. Ilusi terjadi pada saat terjadi distorsi penyelewengan makna yang tidak sesuai dengan maksud Alquran.
Sementara Dr. Subhi Ibrahim (Dosen Universitas Paramadina) sebagai pengulas buku menjelaskan. Musa sebagai penulis, sedang berusaha “merawat keresahan” karena kesenjangan das solen (yang seharusnya) dengan das sein (apa yang seadanya) yang melahirkan alienasi, keterasingan, seperti, mengikuti ilustrasi Ali Shariati, berada di tengah gurun (kavir).
Latar belakang buku ini muncul menurut Subhi terdapat beberapa tema besar; Nation-state, state-nation. Keindonesiaan yang tumbuh dari ragam unsur. Kontribusi diaspora hadrami, kaum alawi: islamisasi tapi minimum arabisasi, dan penyerapan bahasa arab kedalam bahasa Indonesia sebanyak 40-60 persen.
Mengerasnya politik identitas : Islam, kearab-araban, habibisme dalam kontestasi politik praktis-kekuasaan. Gejala bayang-bayang polarisasi, segregasi sosial, polarisasi, konflik. Kemudian potensi tercerai berainya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Subhi, tesis inti dari penulis adalah bahwa Arab adalah bahasa. Menurut Subhi, argumen penulis dapat di formulasikan lagi;
Identitas sebenarnya dibangun dari 2 aksis-relasional:
(1) Relasi vertikal dengan asal-usul (genus) menekankan persamaan (sameness), bersifat diakronik. Contohnya: pelacakan asal mula bahasa Arab, diaspora hadrami di Nusantara.
(2) Relasi horizontal dengan identitas-identitas lain (species) yang menekankan perbedaan (difference), bersifat sinkronik. Contoh, pencarian definisi Arab dan habib.
Sebuah identitas eksis bila, di satu pihak, ada kesamaan, konsistensi, kontinuitas dirinya dengan genus. Sementara Di pihak lain, ada perbedaan, keunikan, dan ciri khas darinya dibanding dengan identitas-identitas lainnya. (Piliang, 2011:75)
Pertentangan: di satu sisi, ada kecenderungan memutus rantai dari genus ) masa lalu, warisan budaya, asal-usul) dalam rangka menyipta perbedaan murni (pure difference) pada tingkat spesies (entitas, individu, objek). Di sisi lain, terdapat upaya kembali pada genus, Kembali pada identitas lokal, partikularisme, keunikan tempat, bahasa, kebiasaan, adat, budaya dalam menghargai pluralitas pada tingkat identitas itu sendiri. (Piliang, 2011:76)
Subhi menyimpulkan, pada intinya penulis berusaha mencari akar sosio-ekonomi kultural dari penggunaan simbol Arab. Berusaha Merawat akal sehat, menjaga rumah besar Indonesia dan tanggung jawab bersama.
Penulis telah meng-objektivasi pengalaman personal-eksistensialnya sehingga, dengan bahasa yang “renyah”, mengundang pembaca mengalami kegelisahan yang sama.
Acara webinar ini diselenggarakan oleh Fakultas Falsafah dan Peradaban, Universitas Paramadina bekerjasama, penerbit Mizan dan Real Thinkers Institute (RTI).