Manusia sebagai Makhluk Sosial dalam Perspektif al-Qur’an
Oleh:
Fardiana Fikria Qur’any, MA
Pada kesempatan lalu, kita telah membahas satu sisi dari diri manusia yaitu, sisi individualnya sebagai individu yang memiliki dua dimensi yaitu, jasmani dan rohani dan esensi manusia itu sendiri terdapat pada dimensi non-materialnya yang jika sisi rohani itu tidak ada, maka tidaklah seseorang dapat disebut sebagai manusia. Inilah manusia dari segi individualnya. Selain sebagai makhluk individual, manusia juga tidak bisa menolak bahwa dirinya selalu dalam kebergantungan satu sama lain dengan manusia lainnya. Untuk membangun rumah, kita membutuhkan jasa tukang, untuk menjahit baju kita membutuhkan jasa tukang jahit dan lain sebagainya. inilah yang kita sebut manusia sebagai makhluk sosial.
Pertanyaan yang kemudian muncul ialah, apakah kebutuhan manusia satu sama lainnya ini merupakan sesuatu yang ada sejak awal diciptakannya manusia ataukah hanya karena ada faktor di luar dirinyalah manusia terpaksa membutuhkan manusia lainnya atau terpaksa untuk hidup bermasyarakat? Dengan kata lain, apakah bermasyarakat itu merupakan sesuatu yang bersifat fitrawi di dalam diri manusia ataukah tidak?
Mari kita merefleksikan diri kita sebagai manusia sejak awal kelahiran di mana bayi tak berdaya dan tak punya kekuatan apa-apa untuk melakukan sesuatu. Agar bayi keluar dengan selamat dari rahim ibunya, ia membutuhkan tenaga medis yang membantunya. Untuk makan dan minum, ia membutuhkan ASI ibunya, ketika buang air kecil ataupun besar dia membutuhkan orang lain untuk membersihkan kotorannya. Sejak di dalam perut ibupun hingga dilahirkan anak manusia selalu dalam kondisi membutuhkan orang lain untuk membantunya. Pertanyannya adalah jika memang kondisi ini sejak awal kita diciptakan seperti apakah itu berarti bermasyarakatnya manusia merupakan sesuatu yang bersifat fitrawi? Dengan kata lain, apakah kehidupan bermasyarakat apakah sesuatu yang ingin dicapai oleh fitrah manusia? Bagaimana al-Qur’an melihat itu?
Teori-Teori Manusia dan Masyarakat
Para ilwuman melihat faktor utama yang berbeda-beda mendorong manusia untuk bermasyarakat. Setidaknya ada tiga faktor yang mendorong manusia bergantung atau membutuhkan manusia yang lainnya.
Pertama, faktor utama yang menyebabkan manusia perlu bermasyarakat ialah, kekuatan di luar dirinya sendiri. Dalam teori ini, hidup bermasyarakat merupakan sesuatu yang bersifat kebetulan dan tidak esensial. Kehidupan sosial disamakan dengan aliansi dan kerjasama antara dua negara yang merasa tak mampu bila sendirian menghadapi musuh yang sama, karena itu kedua negara ini terpaksa membuat perjanjian aliansi dan kerjasama demi kepentingan bersama.
Kedua, penyebab utama mengapa manusia memerlukan manusia lainnya dalam suatu masyarakat ialah, karena kemampuannya untuk berpikir dan membuat perhitungan. Bagi teori kedua ini, kehidupan bermasyarakat merupakan tujuan intelektual bukanlah sesuatu yang bersifat fitri dan alamiah. Kehidupan sosial dapat disamakan dengan kemitraan dua orang pemodal yang atas kemauan sendiri sepakat mendirikan usaha komersial, pertanian atau industry untuk memperoleh keuntungan lebih besar.
Ketiga, faktor utama yang membuat manusia hidup bermasyarakat adalah fitrahnya. Artinya, kehidupan bermasyarakat adalah sesuatu yang ingin dituju atau dicapai oleh fitrah manusia. Teori terakhir ini menyamakan kehidupan bermasyarakat seperti kehidupan berumahtangga. Menjadi suami-isteri merupakan hal yang fitrawi, berpasangan adalah hal yang dituju dalam penciptaan manusia itu sendiri, sehingga masing-masing secara alamiah cenderung menyatu.
Dengan demikian, kita bisa berkesimpulan dari tiga teori di atas bahwa setidaknya manusia dengan berbagai faktor pendorongnya tetap membutuhkan orang lain baik itu memang secara terpaksa, karena pilihan sendiri ataupun karena fitrahnya.
Manusia dan Kehidupan Bermasyarakat menurut al-Qur’an
Dalam membahas manusia dan kehidupan bermasyarakat, setidaknya al-Qur’an mengisyaratkannya dalam tiga ayat dalam surat-surat yang berbeda.
Pertama, surat al-Hujurat ayat 13:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS. Al-Hujurat: 13).
Point pertamanya ialah, kita tidak bisa memungkiri bahwa realitanya manusia dilahirkan dengan berbagai warna kulit, suku dan bangsa. Tidak satu orangpun bisa memilih ia terlahir berwarna kulit apa, terlahir dari suku dan bangsa mana bahkan dari rahim siapapun manusia tidak dapat memilih.
Point kedua, Murtadha Muthahhari mengatakan bahwa ayat ini menyebutkan filosofi penciptaan manusia yaitu, keragaman manusia yang tercipta menjadi bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, membuat upaya saling mengenal ini menjadi relevan dan ini merupakan kunci dalam menghadapi problematika sosial. Point ketiga, keunggulan manusia bukan terletak pada suku-suku dan bangsa-bangsanya melainkan pada kemuliaan dan ketakawaannya.
Dari ayat ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa perbedaan adalah sesuatu yang tercipta secara alamiah dan bawaan dari penciptaannya. Oleh karena itu, bermasyarakat merupakan sesuatu yang bersifat alamiah pula dan menjadi tujuan dari fitrah manusia.
Kedua, surah az-Zukhruf ayat 32:
أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ ۚ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۚ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَٰتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗ وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
Artinya: Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan (QS. Az-Zukhruf: 32).
Point pertama, secara ringkas dapat dikatakan bahwa ayat ini menunjukkan manusia tidak diciptakan dengan kemampuan dan bakat yang sama. Karena jika manusia semua memiliki bakat dan kemampuan yang sama, ia tidak lagi membutuhkan orang lain untuk membantunya, sehingga tidak akan terjadi pertukaran jasa.
Point kedua, dikarenakan perbedaan manusia dari segi bakatnya, kemampuan fisiknya, kemampuan spiritualnya serta emosionalnya, sehingga manusia yang satu lebih unggul di satu bidang dan lainnya unggul di bidang lainnya yang menyebabkan semua manusia saling bergantung satu sama lain dan mencipta hasrat untuk saling bekerja sama.
Dengan demikian ayat terakhir inipun mengutarakan bahwa kehidupan sosial itu bagi manusia merupakan sesuatu yang alamiah. Manusia tidak dipaksa untuk hidup bermasyarakat, juga kalau manusia hidup bermasyarakat, maka itu bukan karena pilihan manusia itu sendiri.