Ibnu Sina : Filosof Par Excellence
Seorang filsuf yang sangat energik dengan kehidupan berwarna-warni; seorang politisi, wazir, dokter, ahli fisika. Pernah mengalami hidup dengan reputasi yang melambung dan sukses karirnya dalam bidang kedokteran yang mengantarkan menjadi tokoh selebriti di berbagai istana, namun kemudian terusir dan mengalami kehidupan yang berat. Menulis lebih dari 250 karya yang beruntung masih bisa diselamatkan. Memiliki kemampuan menulis dalam segala situasi.
Selain kekuatan memori dan otaknya, ia juga dikarunia kekuatan fisik. Setelah menghabiskan waktunya, ia masih bisa menuliskan karya-karya briliannya. Sezaman dengan para sufi besar seperti Abu Sa’id al-Khudri yang mengokohkan bahwa sufi dan filsafat bisa menyatu. Kata-kata yang terkenal lahir dari pertemuan ini bahwa apa yang dilihat seorang sufi dapat dipahami oleh seorang filsuf dan apa yang dipahami oleh seorang filsuf dapat dilihat oleh seorang sufi.
Abu Ali Sina, atau yang bisa disebut Ibnu Sina dan dalam bahasa Latin Avicenna, lahir tahun 370/980 di dekat Bukhara di Asia Tengah. Pada usia 30 tahunan ia mulai mempelajari kedokteran. Keahlian dalam bidang kedokteran menarik perhatian Sultan Bukhara yaitu Nuh bin Manshur.
Ia seorang filsuf Par Excelence dan figur yang merepresentasikan filsafat peripatetik yang sesungguhnya. Figur awal peripatetik Islam adalah al-Kindi, Farabi dan Ibnu Rusyd, namun kemudian di tangan Ibnu Sina lewat kitab-kitab Magnum Opus-nya. Ilahiyah Syifa adalah kitab ensiklopedia Islam yang memuat hampir seluruh tema-tema, teori, konsep, dan definisi tentang filsafat Islam. Mulla Sadra pernah mengkritik Ibnu Sina yang masih memiliki kesibukan dalam urusan-urusan duniawi, padahal mungkin dalam pikiran Mulla Sadra, andaikata Ibnu Sina mencurahkan seluruh waktunya untuk urusan–urusan keilmuan saja, maka produktifitas dan konten filsafat Ibnu Sina akan lebih berkualitas dan lebih komprehensif.
Sejak masih muda ia selalu haus dengan ilmu. Ia selalu berusaha mencari dan belajar dari guru-guru yang terbaik di zamannya, dari agama dan bangsa manapun dan biasanya setelah itu ia melampaui sang guru. Ia sangat beruntung hidup dalam dua bahasa Persia dan Arab. Bahasa persia adalah bahasa ibunya dan bahasa arab adalah bahasa pendidikannaya. Ia sangat menguasai bahasa Arab hanya dalam 3 tahun dan menulis puisi dan sastra dalam bahasa Arab.
Sebagian besar karya-karyanya bisa diselamatkan, tapi ada beberapa kitab brilian seperti al-inshaf dalam dua puluh jilid kitab komparasi antara Timur dan Barat tentang filsafat Aristoteles yang hilang semasa hidupnya. Konon Kitab al-Inshaf memuat puluhan ribu teori baru.
Ibn Sina adalah seorang polymat dan pemikir yang haus akan berbagai ilmu. Ia menguasai berbagai ilmu dari fisika, metafisika, biologi, matematika, kedokteran, etika dan sebagaianya. Sejak usia 7 tahun, Ibnu Sina sudah hafal akan al-Quran. Selain karena kecerdasan Ibnu Sina juga memiliki energi yang sangat besar untuk menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Di tengah-tengah kesibukan dan aktifitasnya beliau masih sempat menuliskan kitab-kitab brilian seperti : Ilahiyah Syifa, an-Najat, al-Mabda wa Ma’ad, al-Mubahatsat dan kitab terakhirnya al-isyarat wa at-Tanbihat. Ibnu Sina juga menguasai geometri euclid, astronomi ptolemi dan logika Aristoteles. Lantaran ayahnya telah menginvestasikan pendidikan untuk Ibnu Sina. Ayahnya pula yang mendorong sang anak untuk mempelajari ilmu-ilmu dari Yunani, angka dari India dan tentunya juga ilmu-ilmu tradisional Islam seperti sastra Arab.
Hosein Nasr menyebut Ibnu Sina demikian :
Seyyed Hosien Nasr introduced Avicenna as sage the sage and the most influential figure in Islamic and all science and gain such title as al-Shaikh al-Rais (the leader of among wise Men) and al-hujat al-haq, (the proof of God) .[1] And his legacy ranging from logic, metaphysics, physich and medicine, zoology, parmachology and so on,
Lewat karya terakhirnya al-Isyarat wa at-Tanbihat tergambar perubahan orientasi dan kehidupan filsuf besar ini dari kehidupan rasionalitas, hiruk pikuk politik kepada kehidupan zuhud, tasawuf dan penyucian diri. Meskipun pendekatan barunya hanya dijustifikasi dengan persuasif (khitabah) an sich. Karena tidak heran, jika ia tidak dapat memecahkan persoalan dalam keilmuan ia akan melakukan ritual ibadah.
Ayah dan saudaranya mengikuti mazhab Ismailiyah, tapi Ibnu Sina sendiri tidak mengikuti mazhab tersebut. Menurut Sebagian ahli sejarah mazhab Ibn Sina adalah Syiah Istna Asyariah atau dikenal juga dengan Ja’fari. Dalam mukadimah al-Isyarat wa tanbihat, ia memulai mukadimahnya dengan frase seperti ini : “Dan aku sampaikan shalawat kepada orang-orang terpilih dari hamba-hamba-Nya untuk risalahnya dan secara khusus untuk Muhammad dan keluarganya. “ Satu frase khas dari para pengikut ahlul bait hal yang menarik Imam al-Ghazali juga memulai kitab Ihya Ulum–ad-Din dengan memuji keluarga ahlulbayt at-Thayibbina at-Thahirin. Atau juga tentang kesyiahan Ibnu Sina juga bisa dilihat dari tema imamah yang ditulisnya secara khusus dalam kitab Magnum Opus-nya Ilahiyah Syifa. (SN)
[1] Seyyed Hosein Nasr, Three Muslim Sages, New York, Caravan Book, 1996