Dakwah Berbasis Multikulturalisme
Oleh: Dr. Muh. Shohibul Itmam, MH
Ekplorasi Dakwah Multikulturalisme
Dalam konteks ke-Indonesiaan, dakwah dipahami sebagai upaya membangun komunitas masyarakat dengan kondisi pluralis, beragam agama, keyakinan, suku etnis dan budaya. Kebudayaan majemuk dengan beragam agama dan kepercayaan yang dianutnya, maka konsekuensinya, pemeliharaan kerukunan dan toleransi menjadi mahal dan sangat penting bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Perselisihan antar kelompok penganut agama yang berbeda dapat memicu konflik dan perpecahan yang endingnya adalah merugikan kelompok minoritas. Kondisi inilah yang tentunya membutuhkan strategi dakwah khusus dalam konteks ke-Indonesiaan, multikulturalisme.Dewasa ini, muncul pandangan umum di antara kelompok agama bahwa hanya ada satu agama, tradisi-tradisi yang berbeda dianggap salah dan tidak berharga. Bahkan sebagian kelompok ada yang anti pluralisme. Argument antipluralis ini muncul di tengah perbedaan agama seperti lahirnya Islam ISIS. Problem antipluralisme bisa dirumuskan, bahwa suatu agama yang didasarkan pada kebenaran wahyu utama yang bisa menyelamatkan tidak akan memandang agama lain yang mengingkari kebenaran itu sebagai agama yang berharga. Jadi, setiap agama memandang dirinya sebagai satu-satunya agama sejati dan memandang agama lain tidak ternilai atau tidak benar.
Demikian halnya di Indonesia, di tengah beragamnya agama, keyakinan, suku bangsa dan budaya, muncul kelompok-kelompok ekslusif, yang kehadiran mereka dibarengi dengan tindakan-tindakan anarkis untuk membendung lajunya keberagaman. Dan ironisnya lagi negara seringkali tidak tegas ketika menghadapi konflik horisontal yang melibatkan dua atau lebih kelompok masyarakat (etnis atau agama). Padahal keragaman yang terdapat di Indonesia bukanlah suatu realitas yang baru dibentuk, namun sudah sejak lama dikenal, diakui dan dikukuhkan. Bahkan dikukuhkan di dalam UUD 1945 yang menjadi pedoman kehidupan bangsa Indonesia secara menyeluruh dan yang berlaku hingga saat ini. Dengan kata lain, dapat dipahami bahwa pondasi utama berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah keberagaman. Dasar inilah yang kemudian tidak boleh diabaikan oleh setiap penghuni negeri ini termasuk membangun konsep dakwah yang sesuai dengan kondisi Indonesia.
Fenomena terkini (di era multikultural), dakwah menjadi persoalan yang sensitif. Dalam sejarahnya, di Indonesia, keberadaan dakwah sangat rentan terhadap fenomena perpecahan antar agama maupun di intern agama. Oleh karena dogma klaim kebenaran, dakwah (dalam Islam) cenderung menjadi stimulan timbulnya misionaris (dalam Kristen), begitu pula sebaliknya misionaris dalam Kristen menjadi stimulan timbulnya dakwah.
Dakwah dimaknai sebagai upaya untuk memperbanyak kuantitas orang Islam yang meniscayakan adanya upaya untuk mengajak orang untuk beragama (berpindah agama) Islam. Demikian halnya misionaris dimaknai sebagai upaya untuk memperbanyak kuantitas umat Kristen yang juga meniscayakan upaya mengajak orang untuk beragama (berpindah agama) Kristen. Padahal, dalam konteks Indonesia, persoalan agama hanyalah salah satu dari sekian problem yang ada di negeri ini.
Spirit Dakwah Multikulturalisme
Dinamika keilmuan Islam memahami spirit dakwah sebagai upaya menyampaikan pesan-pesan suci dan luhur yang bersumber dari ajaran agama. Dalam kehidupan masyarakat, dakwah telah menjadi bagian dari gerak hidup dan dinamika yang membutuhkan spirit luhur lahir batin. Spirit sebagai substansi dakwah tersebut setidaknya mencakup dua hal; mengajak kebaikan dan mencegah berbuat kemungkaran atau penyimpangan (amar ma’ruf nahyu munkar).
Secara substansial dakwah merupakan pendidikan masyarakat, yang dalam pelaksanaannya tidak jauh berbeda dengan cita-cita pendidikan nasional. Tujuan seperti diamanahkan pendidikan nasional tersebut menempatkan dimenasi moral keagamaan sebagai bagian penting dalam proses berdakwah.
Masyarakat yang menjadi sasaran dakwah, adalah masyarakat yang membutuhkan hiburan. Mereka menerima pesan-pesan tersebut selagi tuntunan itu mengandung unsur hiburan. Sehingga dakwah menjadi pesan yang menghibur. Dai seakan menjadi pemain panggung, yang harus pandai berimprovisasi, demi kepuasan audien. Ini hanya salah satu contoh di mana kegiatan dakwah berhadapan dengan komunitas yang beraneka ragam budayanya, hobinya, tingkat pendidikannya, tingkat ekonomi dan perbedaan lainnya.
Dalam menyampaikan ajaran agama, dakwah tidak mesti mengambil jarak dengan budaya setempat. Budaya yang beraneka di amsyarakat perlu diperlakukan secara adil, dijadikan pintu masuk untuk mana ajaran agama bias disosialisasikan. Metode berdakwah dengan memadukan tuntunan dan tontonan, telah sejak lama dipakai sejak masuknya agama Islam di Indonesia. Pada masyarakat Jawa, sudah tidak asing lagi, dengan peran Sunan Kalijaga misalnya, yang memanfaatkan media kesenian wayang sebagai media dakwahnya. Jenis kesenian ini menjadi instrument penting, untuk pendekatan secara kultural.
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, kini telah diwarnai oleh mobilitas sosial yang sangat tinggi. Terjadi akulturasi (percampuran budaya) dan transkulturasi (tarik menarik antarbudaya), sejalan dengan kemajuan tekonologi dan perkembangan ilmu pengetahuan. Perkembangan yang spektakuler adalah pada teknologi komunikasi, yang kemudian sangat mempengaruhi pola dakwah masa kini. Secara tematik, ada beberapa jenis kegiatan dakwah di masyarakat. Sebagian adalah pendalaman pengetahuan agama yang dilakukan secara rutin dan terjadwal. Sebagian lagi adalah mengusung tema tertentu yang melekat dengan pelaksanaan peringatan hari besar Islam, menyongsong event nasional dan lainya.
Rumusan Dakwah Berbasis Multikulturalisme
Beragam budaya, agama, etnis dan golongan membutuhkan model pengelolaan yang sesuai supaya dakwah tidak melenceng dari cita-cita luhurnya. Substansi dakwah multikulturalisme dikembangkan sebagai respon atas kondisi yang dilatarbelakangi oleh keragaman budaya atau masyarakat multicultural, utama masyarakat yang sudah maju. Dakwah multikulturalime secara konsepsional mempunyai dua pandangan dengan makna yang saling berkatian (Liliweri, 2005:69). Pertama, multikultural sebagai kondisi kemajemukan kebudayaan atau pluralisme budaya dari suatu masyarakat. Kondisi ini diasumsikan dapat membentuk sikap toleransi. Kedua, multikulturalisme merupakan seperangkat kebijakan pemerintah pusat yang dirancang sedemikian rupa agar seluruh masyarakat dapat memberikan perhatian kepada kebudayaan dari semua kelompok etnik atau suku bangsa. Hal ini beralasan, karena bagaimanapun juga, semua kelompok etnik atau suku bangsa telah memberi kontribusi bagi pembentukan dan pembangunan suatu bangsa.
Dalam kaitan dengan kebijakan kedakwahan, multikulturalisme merupakan konsep sosial yang diitrodusir ke dalam kegiatan dakwah. Jadi dakwah berwawasan multikultural, merupakan kebijakan dakwah yang mampu mengayomi setiap kelompok dan mengapresiasi perbedaan kultur di masyarakat. Setiap kebijakan dakwah diharapkan mampu mendorong lahirnya sikap apresiatif, toleransi, prinsip kesetaraan antar budaya, kesetaraan gender, kesetaraan antar pelbagai kelompok etnik, kesetaraan bahasa, agama, dan sebagainya.
Dakwah juga berfungsi sebagai penyebar informasi keagamaan, karena melalui kegiatan ini, dakwah menanamkan pengetahuan keagamaan untuk bisa diserap oleh audien. Informasi keagamaan tesebut dikemas melalui retorika yang diciptakan oleh para pegiat dakwah. Oleh karenanya, keterbukan dan penguasaan teknologi dan informasi mutlak diperlukan oleh para da’i, jika mereka ingin tetap mempunyai penggemar dan bisa survive ditengah-tengah masyarakat yang dikenal dengan masyarakat modern. Kemajemukan bangsa Indonesia secara kultural, sebagai sasaran dakwah, bukan sebuah cita-cita, tetapi adalah fakta sosial. Di dalamnya juga terdiri komunitas-kmunitas baru, yang berafiliasi pada kesamaan ideologi politik, keamaan paham keagamaan tertentu, kesamaan hobi, kesamaan profesi dan kesemanaan minat lainnya.
Kegiatan dakwah di masyarakat, dan di media massa selama ini, relatif telah responsif, terhadap kondisi masyarakat yang modern. Setidaknya telah berupaya agar pesan-pesan keagamaan yang disampaikan bisa diterima secara baik. Mereka biasa menggunakan berbagai metode dalam berdakwah. Namun masih menjadi pertanyaan besar: apakah substansi dakwah telah menyesuaikan dengan kemajemukan dan atau keperbedaan kultur di masyarakat; Apakah kebijakan dakwah multikultur telah terformulasi dengan baik. Demikian juga para da’i sebagai nara sumber atau aktor, supaya mempunyai kemampuan meramu kemajemukan tersebut dengan memperhatikan; isi atau pesan-pesan yang disampaikan, metode penyampaian, narasumber atau da’i yang berperan serta media yang digunakan.
Langkah, Strategi Dakwah Berbasis Multikulturalisme
Sebagaimana obyek multikulturalisem yang komplek, maka konsekuensinya juga membutuhkan langkah dan strategi yang juga komplek. Dakwah di manapun dan lewat madeia apapun, tujuannya adalah menjadi penyeimbang bagi perkembangan sosial budaya sekuler yang semata-mata hanya bersifat komersial. Meski masih harus lebih diperdalam lagi, seberapa besar penyeimbang tersebut, karena dampak kegiatan dakwah tidak bisa diketahui secara langsung. Tapi setidaknya kalau disanding dengan sesama kegiatan lain, seperti di bidang bisnis, dan inovasi-inovasi dalam dunia pendidikan, mampu berpacu, dalam waktu yang bersamaan.
Berdasarkan argumrntasi demikian, maka dakwah multikulturalisme membutuhkan sinergitas antar lembaga dakwah, ormas Islam serta lembaga dakwah di bawah pemerintah dengan memperhatikan hal berikut;
Pertama, masyarakat multikultural sebagai sasaran dakwah, perlu dimaknai sebagai upaya berlapang hati untuk mau menerima perbedaan dengan kelompok lain. Penguatan diri diartikan bahwa dakwah harus bersinergi dengan kepentingan Bangsa. Dakwah juga harus menghargai hak asasi manusia. Sehingga penguatan masyarakat multikultural, ditempuh dengan memperkuat ikatan-ikatan sosial berbasis kebebasan beribadah sesuai dengan agama dan keyakinan setiap orang/kelompok. Di bawah payung kesatuan bangsa dan Negara.
Kedua, kelompok penganut agama yang berbeda-beda di lingkungan masyarakat, masing-masing bisa memelihara diri untuk tidak melakukan kegiatan yang bersifat propaganda agama. Sebaliknya mereka diharapkan mencari persaman-persamaan, sehingga tidak ada peluang untuk terbukanya konflik antar agama. Kearifan- kearifan yang ditemui pada masyarakat latar belakang etnis dan kultur, sebaiknya dijadikan acuan untuk yang membangun kearifan pada tataran yang lebih luas, yakni kepentingan nasional. Selain itu, hubungan-hubungan sangat personal antar warga harus dibina secara terus-menerus untuk memperkuat sendi-sendi kebersamaan dan dalam menangung beban hidup mereka. Masyarakat tidak perlu dibawa kearah persaingan khususnya dalam bidang usaha dan kepemilikan barang. Sebaliknya justru dibawa kearah persaingan kebajikan dan kualitas hidup.
Ketiga, lembaga-lembaga dakwah memiliki arti penting dalam penguatan masyarakat multikutur. Sebagai institusi sosial, lembaga dakwah perlu meningkatkan kemampuannya melakukan gerakan untuk pengembangan potensi secara signifikan dalam rangka memperbaiki taraf hidup masyarakat, dan membangun kreativitas dan perekayasaan sosial. Hal lain adalah solidaritas (ukhuwah Islamiyah) perlu dibangun melalui tradisi keagamaan, dari waktu ke waktu, guna memperkuat kesatuan komunitas sosial, dan tidak lagi memberi peluang terjadinya konflik bernuansa agama atau etnis. Sebaliknya menuju ke arah adanya kerjasama dalam aktivitas sosial keagamaan.
Dan keempat, ketataan pada hukum, dimaknai juga ketataan pada nilai-nilai yang dibangun bersama, yang didasarkan pada ajaran agamanya, pada tradisi dan hasil dari proses adaptasi dan integrasi antarbudaya. Keharmonisan hubungan antar individu dan antar kelompok berbeda agama, serta berbeda latar belakang budaya, etnisitas, harus dipelihara dengan baik, tanpa merasa terpaksa atau dipaksa oleh pihak lain. Di sanalah ketaatan hukum dalam arti yang sebenarnya, dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks demikian, perlu dirumuskan materi dakwah yang mengurai setiap aspek kedakwahan dengan sasaran masyarakat multicultural. Diharapkan dengan rumusan materi itu, bisa dijadikan acuan bagi para pegiat dakwah, secara kelembagaan maupun secara personal.