Fatimah Binti Al-Husain Ibu Perlawanan Terhadap Kezaliman
Sebuah kasus yang ditangani seorang penyelidik untuk dikuak misteri di baliknya atau untuk dicari kebenarannya, apapun yang terkait dengan kasus itu bernilai di matanya. Sekalipun potongan kertas yang terbuang sebagai sampah. Karena bagaimanapun, ia sebuah jejak yang mungkin menjadi petunjuk.
Terlebih ia seorang yang merupakan karya madrasah agung dalam sejarah Islam, yang hadir dalam peristiwa besar yang selalu dikenang di sepanjang masa. Ia adalah Fatimah putri Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi saw, penghulu para pemuda penghuni surga, yang sejarah Islam menyebutnya “Sayidusy syuhada”, pemuka orang-orang yang syahid di jalan Allah.
Apa yang Menarik Hidayah Allah
Fatimah, putri yang sangat beruntung memiliki seorang ayah seperti Imam Husein, seorang seperti Amirul mu`minin Ali bin Abi Thalib yang menjadi kakeknya dan seorang seperti Fatimah Zahra yang menjadi neneknya, serta menjadi darah daging Rasulullah saw.
Sang ayah seorang manusia agung telah mendidiknya dengan baik. Sebagaimana dalam Islam yang memberikan perhatian besar pada pendidikan anak. Di dalam urusan penting ini, Islam memberi tugas kepada orangtua untuk mendidik anak-anak mereka. Menurutnya, efektifitas pendidikan yang baik lebih kuat dari pengaruh lingkungan dan faktor-faktor lainnya di luar.
Imam Sajjad as: “Hak anakmu ialah hendaknya kamu sadari bahwa dia lahir darimu dan bersandar kepadamu dalam laju dunia, dalam baik dan buruknya. Kamu bertanggung jawab atas kewalianmu baginya berupa etika yang baik, menuntunnya kepada Allah dan membantunya untuk taat kepada-Nya. Jadi dalam urusan anak, berlakulah seorang yang sadar bahwa akan terpuji -dengan pahala- atas perlakuan yang baik dan akan tercela -dengan siksaan- atas perlakuan buruk terhadapnya.” (Bihar al-Anwar juz 67 hal 7)
Sedemikian penting pendidikan yang baik di mata Islam, namun tetaplah ia merupakan sarana untuk tujuan yang besar. Ikhtiar manusia menentukan nasib dirinya, apakah ia akan menerima dan menjalankan apa yang diajarkan kepadanya. Di sana terdapat faktor-faktor pendukung di antaranya doa orangtua, amal saleh si anak dan lainnya, yang menarik hidayah Allah kepadanya untuk selalu berada dan tetap di jalan keridhaan-Nya.
Seorang Wanita Perawi yang Berilmu
Walau tak semasa dengan neneknya, Fatimah Zahra, atau dengan kakeknya, Amirul mu`minin Ali bin Abi Thalib, keberadaan putri Imam Husein ini di dalam rumah ayahnya, menjadikan ia mengetahui apa-apa yang terjadi sepeninggal Rasulullah saw. Di antara yang dapat ia sampaikan ialah tentang bagaimana Fatimah Zahra yang di masa beliau mengalami sakit keras pasca wafat Rasulullah saw.
Ahmad bin Hasan al-Qathan menyampaikan bahwa Abdurrahman bin Muhammad al-Huseini mengabarkan dari Abu ath-Thayib Muhammad bin Husein bin Hamid al-Lakhmi dari Abu Abdillah bin Muhammad bin Zakariya bin Muhammad bin Abdurrahman al-Mahlabi dari Abdullah bin Muhammad bin Sulaiman dari ayahnya dari Abdullah bin Hasan dari ibunya, Fatimah binti Husein: “Ketika Fatimah binti Rasulullah sakit keras, para wanita kaum Muhajirin dan Anshar berkumpul di tempatnya. Mereka bertanya kepadanya, “Wahai putri Rasulullah! Bagaimana keadaanmu yang dalam sakit keras?”
Beliau menjawab, “Keadaanku sekarang.. (kemudian beliau mengungkapkan kepada mereka, isi hatinya yang merupakan beban-beban berat di dalam hidupnya, dan mengenai masalah-masalah yang dihadapi suami beliau, Abul Hasan Imam Ali as). Kemudian melantunkan ayat:
Apakah orang-orang yang menunjuki kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan?..”(QS: 20:35)
Fatimah juga meriwayatkan dari ayahnya, Imam Husein as. Sebagaimana dalam kitab al-Bihar, dinukil dari Abdullah bin Hasan bin Hasan, dari ibunya, Fatimah binti Husein, dari ayahnya, Imam Husein: “Rasulullah saw dalam salat zuhur pada rakaat kedua membaca doa, (dan di antara kalimat-kalimatnya ialah yang artinya demikian):
Ya Allah, karena dosa-dosa itu aku bersandar dan bertaubat kepadamu. Sampaikanlah salawat atas Muhammad dan keluarganya, ampunilah semua dosaku baik yang lama maupun yang baru, yang tersembunyi maupun yang nyata, yang sengaja maupun tidak, yang besar maupun kecil, dan semua dosa yang aku perbuat, dengan ampunan yang pasti tanpa Engkau menyisakan satu dosapun dan tanpa aku berbuat dosa lagi setelah itu untuk selamanya.. Berilah aku kemudahan dalam mentaatimu dan maaf atas banyaknya pelanggaranku terhadap-Mu wahai Zat Yang Maha agung. Sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa besar kecuali Yang Maha besar…”
Ibu Perlawanan Terhadap Kezaliman
Fatimah binti Imam Husein, sebagaimana diterangkan dalam riwayat-riwayat adalah seorang wanita yang ‘âlimah (ahli ilmu), ‘âbidah (ahli ibadah) dan tsiqah (terpecaya). Sang ayah menjelang kesyahidannya, menitipkan sebuah kitab yang terbungkus dan surat wasiat kepadanya.
Ia yang menjadi tawanan penguasa, bersama Sayidah Zainab dan Imam Sajjad as, bak singa betina huseini (pemberani berjiwa huseini), yang berdiri di hadapan penduduk Kufah, berorasi melontarkan kata-kata yang tajam dan menggetarkan diri mereka.
Di dalam keluarganya, bersama suaminya, Hasan Mutsanna putra Imam Hasan Mujtaba, Fatimah adalah pengasuh anak-anak mereka yang revolusioner dan yang kemudian meninggalkan jejak bagi generasi-generasi hasani. Anak keturunan mereka, tak asing dengan panji perlawanan terhadap kezaliman, penjara-penjara yang gelap dan tempat-tempat pengasingan yang terpencil.