Manusia Perspektif Syahid Mutahari
Manusia dengan pengetahuannya dalam mengejar dan memenuhi kecenderungan atau apa yang dia inginkan, di satu sisi sama dan di sisi lain beda dengan binatang.
Pengetahuan dan kecenderungannya dari sisi yang pertama bersifat sempit dan dangkal, sebagaimana yang ada pada binatang. Bahwa pengetahuan yang dia peroleh melalui sarana inderawi bercirikhas:
1-Tak lebih mengenai “kulit” dan permukaan sesuatu, dan tak sampai pada “isi”nya.
2-Personal dan partikular, tak bersifat umum dan universal.
3-Lokal, terbatas pada lingkungan sekitar.
4-Kondisional, yakni secara aktual dan terlepas dari masa lalu dan masa datang.
Kecenderungannya pun demikian bersifat material; tak lepas dari sandang, pangan dan papan, kawin dan lainnya. Juga personal, terkait dengan dirinya, anak, pasangan dan kehidupan pribadinya. Lokal dan aktual. Sekiranya lebih dari itu pada sebagian binatang yang bergerak dalam kepentingan spesisnya, seperti lebah, tetaplah tak keluar dari batasan daya natural yang mengatur kehidupannya.
Adapun pengetahuan dan kecenderungannya dari sisi yang kedua bersifat luas dan dalam, sampai mengenai “isi” dan menembus segala hal yang terkait dengan sesuatu. Pengetahuannya ini tak terbatas oleh ruang dan waktu, sampai tentang masa lalu dan masa datang yang jauh baginya. Tentang sejarah manusia dan alam semesta, sampai pada pengetahuan dan berfikir tentang keabadian.
Kecenderungannya pun demikian, bahwa manusia adalah sosok pencari nilai dan kesempurnaan immaterial serta impersonal. Baginya nilai keyakinan dan tujuan lebih dari semua nilai lainnya. Pengabdian kepada orang lain menjadi lebih penting dan utama daripada kepentingan pribadinya. Kehinaan yang menimpa manusia dalam diinjak-injak oleh orang lain menyakiti hatinya. Ia menjadi satu rasa, ikut senang dengan kesenangan dan turut sedih dengan kesedihan orang lain. Bahkan dia sampai mengorbankan hidupnya, jiwa dan raganya, dengan sukarela demi keyakinan dan apa yang disucikannya.
Demikianlah pengetahuan dan kecenderungan insani yang juga melahirkan -dan menjadi spirit- peradaban manusia.
Dimana Keistimewaan Manusia?
Dua hal yang khusus bagi manusia:
1-“Pandangan dunia”nya (tentang alam semesta) yang terbentuk -dan berkembang- dari para pendahulu dalam masa yang panjang, dan disebut dengan “ilmu” berdasarkan prinsip-prinsip logika yang khas. Yakni, kumpulan pemikiran manusia yang filosofis tentang alam semesta.
2-Kecenderungan spiritual yang lahir oleh keyakinan dan keterkaitan dengan hakikat-hakikat impersonal dan immaterial. Keyakinan ini pun lahir dari “pandangan dunia” yang dilontarkan oleh para nabi atau yang lainnya dari para filosof yang menuangkan pemikiran mereka. Kecenderungan yang didasari keyakinan dan pemikiran inilah disebut dengan iman.
Terletak pada dua hal itulah perbedaan manusia dengan binatang, dan yang menjadi tolok ukur insaniyahnya.
Di sana terdapat sejumlah pandangan lain di antaranya ialah pandangan yang mengingkari cirikhas dan perbedaan subtansial tersebut, bahwa manusia sama sekali tak beda dengan binatang. Ada juga pandangan yang mengatakan bahwa hanya manusia sebagai sosok yang hidup, sedangkan binatang tak ubahnya mesin. Masing-masing kelompok pandangan melihat pada cirikhas tertentu manusia, hingga lahir berbagai macam definisi. Seperti bahwa manusia itu yang berakal, pengejar keuntungan, pencari nilai, sosok metafisik, makhluk sosial dan banyak definisi lainnya. Namun demikian hal yang dapat ditarik mencakup semua perbedaan fundamental bagi manusia dengan binatang, ialah ilmu dan iman.
Ya, manusia itu se-genus binatang, dan karena itu banyak sisi kesamaan di antara keduanya. Namun ada serangkaian khusus yang mendasar bagi manusia, membedakannya dari semua binatang. Dengan adanya sisi kesamaan dan sisi kebedaan itulah manusia memiliki dua dimensi kehidupan; insani dan haiwani, yang juga disebut dengan kehidupan material dan kehidupan kultural. Dari sini muncul persoalan mengenai hubungan antara dua dimensi itu dalam sosiologi, sampai pada soal: apakah ekonomi terkait produktifitas menjadi pondasi yang mendasari semua asas sosiologis?
Persoalan tersebut selain menjadi pengkajian sosiologi yang berujung pada kesimpulan psikologis, juga merupakan kajian filosofis tentang manusia, realitas dan kesejatiannya yang disebut dengan humanisme. Di dalamnya disimpulkan bahwa haiwaniyah (kebinatangan) adalah sejatinya manusia, bukan insaniyah. Inilah dari pandangan yang mengingkari perbedaan fundamental antara manusia dan binatang. Tak hanya menafikan hakikat kecenderungan insani seperti cenderung pada kebenaran, kebaikan, keindahan dan kepada Tuhan, pandangan ini juga menafikan realisme manusia tentang alam semesta dan realitas. Alasannya bahwa tak ada pandangan yang tak ambigu, dan bahwa setiap pandangan menunjukkan kecenderungan material yang khas.
Pada hakikatnya, evolusi manusia berangkat dari haiwaniyah menuju insaniyah. Prinsip ini berlaku dalam kaitannya dengan individu maupun masyarakat, bahwa manusia bergerak dari sebagai jasad material kemudian menjadi subtansi spiritual. Di bailk jasadnya terkandung ruhnya yang menuju kebebasan, dan haiwaniyah-nya sebagai wadah perkembangan bagi insaniyahnya.
Referensi:
Insan wa Iman/Syahid Mutahari
Referensi:
Insan wa Iman/Syahid Mutahari