Dimensi Keteladanan Sayidah Fathimah as; Itsar, Dakwah & Pendidikan Umat, dan Memanusiakan Pelayan
Euis Daryati___Itsar & Peka Sosial
Salah satu dampak negatif kehidupan zaman modern ialah semakin meratanya hidup individualistis dan kurang peduli terhadap lingkungan sekitar. Di sekeliling kita masih banyak orang yang sangat memerlukan, jika ingin menjadi pengikut sejati Fathimah az-Zahra as, kita tidak boleh tinggal diam berpangku tangan. Disebutkan, dalam doa-doanya beliau senantiasa mendoakan orang lain ketimbang dirinya sendiri. Pada suatu malam, Imam Hasan as bertanya kepada beliau, “Kenapa ibunda dari tadi hanya mendoakan orang lain?”, beliau menjawab, “Tetangga, lalu penghuni rumah.”[1]
Beliau bukan saja peka sosial, namun juga lebih mementingkan kepentingan orang lain meskipun beliau sendiri perlu, “Dan mereka mengutamakan orang lain atas diri mereka meskipun mereka juga memerlukani.”[2], itulah puncak pengorbanan dan itsar.
Suatu hari, seorang miskin mendatangi Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah menawarkan kepada jamaahnya untuk menjamunya. Imam Ali as yang menyanggupinya dan membawanya ke rumah.
“Apakah ada makanan di rumah?” tanya Imam Ali as pada Fathimah az-Zahra as. “Ada, tapi hanya sedikit, hanya cukup untuk makan anak kecil.” Kemudian beliau memberikan makanan itu pada orang miskin, sementara beliau memilih menahan lapar.[3]
Suatu hari, seorang laki-laki tua, miskin berkata, “Wahai Rasulullah, aku ini miskin, lapar, tidak punya baju, tolonglah aku!”
Kala itu Rasulullah tidak memiliki sesuatu apapun di rumahnya. Namun, beliau tidak ingin mengecewakannya, lalu beliau menyuruh Bilal mengajak laki-laki tua itu ke rumah Sayidah Fathimah as. Beliau memberinya bantal dari kulit milik Imam Hasan as dan Imam Husein as, karena hanya itu yang beliau miliki. Namun, orang tua itu berkata, “Ini tidak cukup untuk mengobati lukaku.”
Kemudian Sayidah Fathimah as memberikan kalung hadiah dari sepupunya, “Juallah kalung ini, insyaAllah bisa mencukupi semua kebutuhanmu.”[4]
Juga, sebab turunnya beberapa ayat dari surat Al-Insan, “Dan mereka memberikan makanan yang dibutuhkannya kepada orang miskin, anak yatim dan tawanan…”[5] ialah karena pengorbanan Fathimah az-Zahra as beserta suami dan kedua anaknya. Mereka memberikan hidangan buka mereka selama tiga hari; hari pertama kepada seorang pengemis, hari kedua kepada anak yatim dan hari ketiga kepada seorang tawanan. Karena itu selama tiga hari berturut-turut mereka hanya berbuka dengan air saja.
Dan kisah lainnya seperti beliau memberikan baju pengantinnya kepada peminta-minta. Inti pesan dari prilaku Fathimah az-Zahra as adalah ‘kepekaan dan kepedulian’ pada lingkungan sekitar dan orang-orang yang membutuhkan. Sayangnya, rasa ini di zaman modern yang cenderung matrealistis, sudah mulai terkikis.Tuntutan hidup matrealistis membawa seseorang hidup hedonis dan mementingkan kesenangan sendiri.
Dakwah dan Pendidikan Umat
Apakah Fathimah az-Zahra hanya duduk manis di rumah fokus mengurus masalah rumah tangga? Tentu jawabannya tidak. Perempuan sebagaimana laki-laki memiliki tanggung jawab yang sama terhadap Islam dan masyarakat. Karena tanggungjawabnya di samping sebagai pribadi di hadapan Allah, sebagai ibu dan istri dalam keluarga, perempuan pun memiliki tanggungjawab di masyarakat. Fathimah az-Zahra as tidak mengajarkan sikap apriori atas fenomena di masyarakat dan dunia Islam. Karena kehidupan masyarakat pun akan berpengaruh pada kepribadian manusia, termasuk anak dan generasi Islam. karena itu, kita pun beranggungjawab untuk membangun karakter sebuah masyarakat, berkarakter baik dan Islami.
Fathimah az-Zahra as dengan perannya sebagai ibu dan istri, beliau pun aktif terjun di masyarakat dalam bidang dakwah dan pendidikan umat. Beliau menjawab berbagai pertanyaan tentang hukum Islam para wanita Kota Madinah yang datang merujuk kepada beliau. Suatu hari, seorang perempuan datang menghadap Sayidah Fathimah as untuk menanyakan berbagai hukum.
“Wahai putri Rasul, aku memiliki seorang ibu yang sudah tua, ia mempunyai banyak pertanyaan tentang shalat, karena itu ia mengirimku untuk menanyakannya kepadamu,” ucap perempuan tersebut.
“Bertanyalah,” jawab Sayidah Fathimah as. Kemudian perempuan itu menanyakan berbagai hukum dan permasalahan sampai ia sendiri malu sendiri untuk bertanya lagi karena banyaknya pertanyaan yang dilontarkan.
“Wahai putri Rasul, mohon maaf karena banyak bertanya yang telah membuat engkau repot.” Ucapnya.
Sayidah Fathimah as berkata, “Silahkan bertanya lagi jika engkau masih memiliki pertanyaan-pertanyaan lagi. Apakah akan terasa berat oleh seseorang yang disuruh mengangkat beban untuk di bawa ke atap rumah dengan imbalan seribu Dinar emas?”
“Tidak,” jawabnya.
“Aku mendapatkan pahala dari menjawab tiap pertanyaan yang engkau lontarkan itu melebihi jarak antara bumi dan arsy dari perhiasan dan mutiara-mutiara, karena itu pantaskah aku harus merasa terbebani untuk menjawab semua pertanyaan ini?”[6]
Beliau juga mendidik dan mengkader perawi hadis, Asma menjadi seorang ulama dan Fidhah Hindi menjadi penghafal dan menguasai Al-Quran, pelayan beliau yang sejak wafat Fathimah az-Zahra as tidak pernah berbicara kecuali dengan Al-Quran. Karena ia senantiasa melihat majikannya melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran meskipun sedang bekerja.
Memuliakan dan Memanusiakan Pelayan
Banyak diberitakan diberbagai media perlakuan non manusiawi yang menimpa para asisten rumah tangga. Padahal bila kita meneladani Fathimah az-Zahra as, beliau telah mengajarkan bagaimana menjadi seorang majikan yang baik.
Beliau memiliki seorang pelayan yang bernama Fidhah berasal dari India. Perlakuan terpuji beliau terhadap pelayan menghasilkan seorang pelayan yang sangat istmewa. Seorang pelayan yang setelah wafat majikannya, tidak pernah berbicara kecuali dengan menggunakan ayat-ayat Al-Quran. Jika ditanya orang, maka ia akan menjawab dengan Al-Quran. Subhanallah…! Pembantunya saja seperti itu, bagaimana dengan majikannya?!
Fathimah az-Zahra as membagi waktu dengan pembantunya dalam mengerjakan pekerjaan rumah. Sehari untuk pembantunya, dan sehari untuk beliau. Pembantunya dapat beristirahat dalam jangka waktu selang sehari. Beliau memberikan waktu kepada pembantunya untuk beristirahat dan beribadah sebagaimana majikannya. Pada hari pekerjaan rumah dilakukan pembantunya maka waktu itu digunakan untuk banyak beribadah.
Sebelum menjadi pelayan Sayyidah Fathimah, sempat terbesit dalam hati Fidhah mengharapkan kematian, karena seringnya mendengar berbagai cerita kekejaman para majikan kepada para budak. Fidhah Hindi tengah bergegas pergi menuju rumah majikan barunya, Fathimah az-Zahra as. Dalam perjalanan, Fidhah menangis karena teringat akan kasih sayang, kelembutan, belaian dan pelukan hangat ibunya. Namun akhirnya, ia pun pasrah atas nasib yang telah menimpanya. Fidhah terus larut dalam lamunannya, ia tak sadar jika telah sampai di rumah calon majikannya.
Tiba-tiba ia mendengar seseorang memberikan salam kepadanya. “Tidakkah aku salah mendengar? Apakah ada orang yang memberikan salam kepada seorang budak?” gumannya. Ternyata ia tidak salah mendengar, kembali ia mendengar sambutan hangat yang telah memberikan salam kepadanya, seraya berkata, “Assalamualaikum, saya adalah Fathimah. Selamat datang di rumah barumu!”
Kemudian Fatimah az-Zahra as membawanya masuk ke dalam rumah dan mempersilahkannya duduk. Beliau menjamu calon pelayannya dengan segala hidangan yang tersedia di dalam rumah. Fidhah sangat terkesima saat menyaksikan perlakuan baik majikan baru padanya. Semua pikiran buruk yang telah terbesit dalam pikiran Fidhah pun hilang dari ingatannya. Perlakuan Fathimah az-Zahra as padanya telah membuatnya nyaman. Ia telah datang di rumah wanita termulia dan penghulu para wanita, yang telah memperlakukan pelayan dengan sebaik-baiknya.
Fidhah Hindi sangat terpukau saat memandang wajah suci Sayidah Fathimah az-Zahra as. Ia kembali larut dalam lamunannya, “Betapa bercahaya perempuan ini. Betapa berkharisma perempuan ini. Walaupun ia calon majikanku, namun ia pun sangat baik dan hangat dalam menyambutku … seperti aku telah mengenalnya.”
Tiba-tiba Fidhah merasakan tangan majikannya telah memegang tanggannya dengan lembut, seraya berkata, “Janganlah sungkan di rumah barumu! Anggaplah aku sebagai saudarimu! Engkau pasti lelah, istirahatlah dulu untuk beberapa hari. Setelah itu, baru kita bergantian dalam mengerjakan pekerjaan rumah. Ketika giliran saya yang mengerjakan pekerjaan rumah, engkau harus beristirahat. Dan sebaliknya, ketika giliranmu tiba, engkau yang bekerja dan saya akan beribadah.”
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Fidhah melihat seorang majikan yang membagi pekerjaan dengan seorang pelayan secara adil. Memberi makan pelayannya sama dengan makanannya sendiri. Setiap malam, ia mendengar munajat doa dan tangisan Fathimah az-Zahra as, yang sedang bermunajat dengan Tuhannya. Menyaksikan pemandangan seperti itu, lalu ia pun bangun mengambil air wudu dan beribadah. Di rumah majikannya ia telah mendapatkan berbagai ilmu. Ia telah belajar tentang keutamaan, pengorbanan, kedermawanan dan kemanusiaan dari majikannya, Fathimah az-Zahra as.
Fidhah telah mendengar dan menyaksikan majikannya saat bekerja dan menumbuk gandum selalu terlantun dari bibir sucinya ayat-ayat suci Al-Quran. Karena itu, ia telah belajar untuk selalu bersama Al-Qur’an dari Fathimah az-Zahra as. Bahkan ia tidak pernah berbicara melainkan dengan ayat-ayat Al-Quran sampai akhir hayatnya. Ketika ia ingin mengatakan atau menanyakan sesuatu maka akan menggunakan ayat-ayat suci Al-Quran.[7]
[1] Biharul Anwar, jil 43, hal 81
[2] QS al-Hasyr :9
[3] Biharul Anwar, jil 36, hal 59
[4] Biharul Anwar, jil 43, hal 56
[5] QS. Al-Insan:8
[6] Biharul Anwar, jil 2, hal 3
[7]Biharul Anwar, jil 43, hal 46