Parameter Pesantren Sukses di Era Milenial
Hari Santri Nasional diperingati setiap tahunnya di Indonesia pada tanggal 22 Oktober. Tak terkecuali pada 22 Oktober 2018 ini, Hari Santri Nasional kembali diperingati dengan mengambil tema ‘Bersama Santri Damailah Negeri’. Penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional ini disahkan oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) pada tahun 2015 lalu melalui Keppres Nomor 22 tahun 2015.
Menurut Jokowi, kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 tidak lepas dari semangat jihad yang ditunjukkan oleh kaum santri.
Penetapan Hari Santri tersebut menambah izzah (kemuliaan) santri dan pengakuan peran dan sumbangsih pesantren dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Data Kementerian Agama, menyebutkan pada 1977 jumlah pesantren hanya sekitar 4.195 buah dengan jumlah santri sekitar 677.394 orang. Jumlah ini mengalami peningkatan berarti pada tahun 1985, di mana pesantren berjumlah sekitar 6.239 buah dengan jumlah santri mencapai sekitar 1.084.801 orang. Dua dasawarsa kemudian, 1997, Kementerian Agama mencatat jumlah pesantren sudah mengalami kenaikan mencapai 224 persen atau 9.388 buah, dan kenaikan jumlah santri mencapai 261 persen atau 1.770.768 orang.
Berdasarkan data statistik Ditjen Kelembagaan Islam, Departemen Agama Republik Indonesia pada tahun 2001 ada 11.312 pesantren dengan 2.737.805 santri. Kemudian pada tahun 2005 jumlah pesantren kembali meningkat menjadi 14.798 pesantren dengan santri berjumlah 3.464.334 orang. Sementara, berdasarkan data Bagian Data, Sistem Informasi, dan Hubungan Masyarakat Sekretariat Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, pada tahun 2016 terdapat 28,194 pesantren yang tersebar baik di wilayah kota maupun pedesaan dengan 4,290,626 santri, dan semuanya berstatus swasta.[1]
Tulisan singkat ini berupaya menyebutkan parameter pesantren sukses sebagai berikut:
1-Modernisasi Pendidikan Pesantren
Tidak sedikit pesantren di tanah air yang berani melakukan modernisasi pendidikan dengan menerapkan kaidah:
المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
Melestarikan budaya/metodologi/sesuatu yang kuno tetapi masih relevan dan mengambil metodologi yang baru tetapi inovatif/terbaik.
Misalnya, Pesantren Gontor merupakan pelopor dan inovator pesantren modern, yang dulunya bernama Ponpes Darussalam Gontor. Pesantren modern ini yang terinspirasi dari Sir Syed Ahmad Khan founder Aligarh Muslim University, India yang melakukan modernisasi pendidikan Islam.
Pondok ini memiliki ciri khas yaitu menerapkan kedisiplinan yang tinggi dan pembiasaan dalam mengucap bahasa Arab dan Inggris untuk digunakan dalam bahasa sehari-hari. Selain itu kerapihan mengenakan pakaian dan selalu memakai dasi saat bersekolah juga merupakan ciri khasnya.
Mungkin dulu tabu pendirian sekolah menegah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) yang terintegrasi dengan pesantren namun hal ini sudah biasa dilakukan oleh sebagian pesantren modern dewasa ini untuk memenuhi tuntutan zaman.
2-Mendahulukan Tazkiyah daripada Taklim
Pesantren pada umumnya melakukan kegiatan belajar mengajar atau biasa disebut dengan ta’lim tetapi sedikit di antaranya yang menjadikan akhlak sebagai parameter kesuksesan siswa dan mengedepankan proses pembersihan hati dari sifat-sifat tercela hingga seseorang mencapai hati yang bersih dari penyakit penyakit hati, seperti dendam, iri, congkak, kikir dan sebagainya.
Urgensi tazkiyah ini tampak ketika Al-Quran mendahulukannya daripada ta’lim dan ini mengisyaratkan bahwa tazkiyah itu penting dilakukan oleh pencari ilmu. Sebab ilmu yang diperoleh tanpa melalui proses tazkiyah maka bisa saja membahayakan pemiliknya dan terkadang malah menjadi hijab dan penutup yang tebal yang justru menghalangi seseorang dari mendaki jalan kesempurnaan dan mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Salah satu cara untuk mendapatkan tazkiyah ini adalah dengan membaca dan mempelajari buku-buku kaum sufi, seperti Ihya Ulumuddin, karya Imam Ghozali. Bila kitab-kitab tasawuf—yang disesuaikan dengan jenjang para pelajar di pesantren—diajarkan dan menjadi kurikulum wajib maka proses tazkiyah akan berlangsung dengan baik dan benar.
Tazkiyah adalah cara ampuh untuk melahirkan kader kader ulama ustad yang bukan hanya pandai berorasi dan berpidato tapi juga memiliki kebeningan hati dan keluhuran budi pekerti atau akhlak. Sebab setinggi apapun ilmu seseorang tanpa disertai dengan kemuliaan akhlak maka ilmu itu terasa tidak berarti dan terkadang malah membahayakan yang bersangkutan dan umat. Betapa tidak, jika seorang ulama rusak maka dunia di sekitarnya pun akan menjadi rusak.
Penguatan aspek tazkiyah akan mendorong lahirnya ulama yang alim dan menjadi teladan dalam tutur kata dan sikapnya karena hasil dari tazkiyah ini adalah kehati-hatian dalam bertindak dan warak.
Mbah Kholil Bangkalan adalah contoh ulama yang ahli tazkiyah nafs. Kisahnya yang kesohor tentang bagaimana menghentikan kebiasaan anak yang hobi makan gula secara tidak wajar. Beliau tidak langsung melarang anak itu mengkonsumsi gula. Larangan memakan gula beliau sampaikan setelah beliau sendiri mengamalkan dengan tidak mengonsumsi gula berhari-hari. Ini memberi pesan kepada kita bahwa nasihat orangtua akan masuk kepada anak kalo orangtua mengamalkan terlebih dahulu apa yang dikatakannya.
3-Menemukan Metode Cepat untuk Menguasai Bahasa dan Membaca Kitab Gundul
Pesantren harus mencoba melakukan terobosan dengan mencari metode yang cepat guna menguasai bahasa Arab sebagai alat ilmu agama dan penafsiran Al-Quran. Demikian juga harus ditemukan cara jitu dan praktis untuk membaca kitab gundul dalam waktu yang singkat.
4-Kemampuan Membaca Zaman
Santri perlu—pada jenjang-jenjang tertentu—diajarkan bagaimana membaca situasi zaman sehingga ia tidak “buta” terhadap perkembangan situasi yang ada. Misalnya, bagaimana cara santri menghadapi berita sehingga ia tidak terjebak penyebaran hoax. Juga bagaimana cara santri menggunakan media sosial dan memiliki kecerdasan dalam berselancar di dunia maya.
5-Memanfaatkan Tehnologi untuk Menunjang Kesuksesan Belajar
Pesantren tidak boleh “alergi” terhadap perkembangan tehnologi dan harus memanfaatkannya untuk menopang percepatan dan kemajuan belajar. Di sini perlu upaya integrasi sains dan Islam. Kajian dan diskusi tentang relasi Al-Quran dan sains, Sunah dan sains dan Islam dan sains harus dilakukan di pondok.
Misalnya, sangat sulit sekarang ini membayangkan kemajuan dan percepatan belajar di pondok tanpa memanfaatkan komputer dan internet.
[1] https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/17/11/30/p088lk396-pertumbuhan-pesantren-di-indonesia-dinilai-menakjubkan. Tanggal akses 20/10/2018.