Anjing Dibenci Anjing Dihargai
Lini masa media sosial sedang gemparkan oleh seorang perempuan yang membawa anjingnya masuk ke masjid. Berbagai opini bermunculan, puluhan tulisan juga ikut menanggapi kejadian yang sedang viral di lini masa orang-orang Indonesia khususnya.
Pada zaman ini, di negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, rasanya sudah menjadi pengetahuan publik bahwa air liur anjing itu hukumnya najis bagi umat Islam. Konsekuensi sosialnya, membawa anjing masuk ke dalam masjid memang tindakan yang tidak pantas. Terlepas dari kondisi si pembawa anjing. Respon masyarakat sangat beragam, ada yang mencemooh, ada yang merasa agamanya dihina, ada yang menilai itu penistaan agama dll, tanpa terlebih dahulu melakukan tabayun atas apa yang sebenarnya terjadi, apa penyebab hal itu terjadi, baru setelah itu memberikan respon dengan bijak dan cerdas.
Nabi Nuh pun diajari untuk tidak membenci anjing buruk rupa
Abdul Ghoffar[1] berpapasan dengan seekor anjing lusuh dan begitu mengerikan. Melihat hal aneh dan jarang beliau temui ini, beliau bergumam;
“Wah, anjing ini begitu jelek.”
Sepertinya si anjing mendengar gumaman beliau, dia terus memandangi manusia di hadapannya itu dengan tatapan sinis. Sejurus kemudian, saat beliau hendak berlalu, tanpa diduga, si anjing menyeru;
“Hai Abdul Ghoffar! Siapa yang kau cela tadi? Ukirannya ataukah Pengukirnya??!”
Sang Nabi terkejut mendengar hardikan itu. Tanpa menunggu jawaban, si anjing melanjutkan;
“Jika yang kau cela adalah ukirannya, yakni aku, maka ketahuilah bahwa aku tak pernah meminta untuk diciptakan menjadi anjing seperti ini! Dan jika yang kau cela adalah Sang Pengukir, maka ketahuilah bahwa Dia melakukan apa yang Ia kehendaki dan tidak satu cela pun Ia punyai, ingat itu!”
Tidak berbeda dengan kisah diatas, di negara kita sepertinya masih banyak masyarakat yang “benci” dengan anjing, menganggap anjing sebagai sesuatu yang buruk, harus ditinggalkan, harus dihindari, harus dijauhi, Anjing itu air liurnya najis, anjing itu haram. Berbagai informasi yang menyebar tak terkontrol ini sangat berpengaruh sosiologi masyarakat kita. Terciptalah sebuah masyarakat yang antipati dengan anjing dan babi. Alasanya karena dua hewan ini najis dan haram dimakan. Bahkan kata anjing menjadi salah satu kekayaan perbendaharaan kata-kata kotor bahasa Indonesia, bahasa yang konon sebenarnya tidak memiliki kosa kata untuk berkata-kata kotor dan tidak sopan[2].
Najis itu tidak senilai dengan buruk
Mungkin beberapa orang salah paham sehingga menilai bahwa najis itu buruk, karena najis itu buruk maka selayaknya dibenci.
Kotoran anjing dan babi itu najis, tapi jika kotoran ini diolah menjadi pupuk kompos maka tanaman yang diberi pupuk kompos yang berasal dari kotoran dua hewan ini hukumnya halal sama seperti jika diberi pupuk kompos dari kotoran sapi, kerbau, sapi, kambing dan semacamnya. Bahkan jika bangkai anjing atau babi yang membusuk lalu berubah jadi tanah dan dijadikan sebagai media untuk menanam sayuran atau tanaman yang lain, tanaman ini hukumnya suci seperti tanaman lainnya.
Jadi najis tidak ada hubungannya dengan baik buruknya sesuatu.
Tidak ada larangan memelihara anjing
Islam tidak pernah melarang atau apalagi mengharamkan memelihara anjing. Anjing memiliki beberapa keistimewaan, karena keistimewaannya ini anjing bisa bermanfaat dalam banyak hal. Salah satunya sebagai hewan penjaga rumah, anjing akan memberitahu jika ada orang yang ingin mencuri atau ada orang yang mencurigakan.
Anjing juga bisa dijadikan partner ketika berburu, bahkan hewan hasil buruan yang dibawakan anjing itu tidak menjadi haram, cukup dibersihkan bagian yang terkena air liurnya saja sesuai tata cara fikih yang ada dan bagian daging lainnya bisa dimakan.
Dilarang sombong dihadapan anjing
Kita sebagai manusia tidak diperbolehkan bersikap sombong, kepada siapa pun termasuk dihadapan anjing atau hewan lainnya. Posisi kita sama dengan mereka semua yakni sama-sama sebagai hamban-Nya, sama-sama menjadi makhluknya, hanya saja kita memiliki peran yang berbeda-beda.
gelar ‘Ahsanu Taqwim’ yang kita miliki sebagai manusia lebih cenderung mengesankan tanggung jawab yang semestinya kita emban selaku pemangku bentuk ciptaan yang terbaik, baik dari segi fisik maupun psikis? Bukan menjadi penyebab kita bertindak sombong, takabur dihadapan ciptaan Allah yang lain.
Kesimpulannya
Kita tidak boleh merasa lebih unggul dihadapan berbagai hal yang secara hukum fikih benda-benda itu dihukumi najis. Hewan tertentu hukumnya haram dan najis itu bukan kesalahan mereka, mereka hanyalah makhluk yang menjalankan peran sebagaimana peran yang diberikan kepada mereka. Cukup kita ambil pelajaran bahwa kita pun harus berperan sebagaimana seharusnya kita berperan. Yakni menjadi hamba Allah yang benar-benar menghamba kepada-Nya.
[1] Abdul Ghaffar adalah nama dari Nabi Nuh as, gelar Nuh adalah panggilan setelah beliau menyesali perbuatan beliau.
[2] Budayawan Ajip Rosidi