Ciri Pewaris Nabi
Para muballig Ahlul Bayt bukan seorang muslim biasa dan bukan pula sekedar pengikut Ahlul Bayt, namun sebagai pelanjut penyampai risalah Ilahi, risalah yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw dan para Imam suci Ahlul Bayt as. Karena itu para muballiq haruslah memiliki tiga ciri utama dengan mengaktualkan tiga potensi dirinya serta menghantarkannya pada puncak kesempurnaan. Tiga potensi itu adalah; ilmu pengetahuan, akhlak dan kesucian jiwa.
Kesempurnan Pertama adalah di bidang Ilmu pengetahuan, baik umum atau spesialis. Ilmu adalah sesuatu yang keberadaannya adalah cahaya dan ketiaadaannya adalah kegelapan. Ilmu yang merupakan salah satu dari sifat dan nama Allah SWT, ia adalah pegangan laksana tongkat baginya, dengannya ia membekali dirinya untuk menghadapi berbagai pertanyaan, perkembangan paradigma dan kesalahan berfikir.
Seorang muballiq haruslah menjadikan ilmu pengetahuan sebagai makanan kesehariannya, ia tidak boleh meninggalkan kebersinambungan menuntut dan menambah ilmu sepanjang masa, dimanapun mereka berada. Bahkan ia harus memiliki sifat antusiasme dan rakus pada ilmu. Rakus itu adalah sifat yang jelek bagi setiap orang dalam semua masalah, kecuali dalam hal ilmu bukan hanya ia tidak jelek, bahkan merupakan sebuah kebaikan, khususnya untuk para muballiq. Sebab dengan ilmu itulah seseorang akan memiliki kelebihan dari yang lainnya, sebagaimana firman Allah SWT; Qul hal yastawil ladziyna ya’lamuuna walladziyna laa ya’alamuun.
Mulla Sadra, seorang filosof muslim terkemuka berpendapat, bahwa semakin bertambah ilmu pengetahuan seseorang maka keberadaan dan eksistensinya akan lebih mulia. Oleh karena itulah setiap hari kalian harus menambah ilmu kalian sehingga setiap hari maqam kalian semakin tinggi di sisi Allah SWT dan sekaligus masing-masing kalian akan menjadi mercusuar bagi masyarakat masing-masing dimana ia tinggal.
Kesempurnaan Kedua adalah Kesempurnaan Akhlaq. Kita semua tahu, bahwa filosofi diutusnya Rasulullah saw kepada umat ini adalah untuk menyempurnakan akhlak mulia. Karenanya Setiap muballiq yang merupakan pewaris para Nabi haruslah menjadikan dirinya sebagai teladan-teladan akhlaq yang mulia di tengah masyarakatnya.
Salah satu dari bentuk akhlaq yang mulia itu adalah interaksi yang baik, santun, saling menghormati dengan setiap kalangan, baik sesama madzhab, sesama agama ataupun tidak. Dalam Nahjul Balaghah disebutkan, bahwa Imam dan teladan kita Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as bersabda: Akhun laka fiddiyn aw syabiyhun laka fil khalqi; saudaramu itu ada dua macam; saudara sesama agama dan sesama manusia. Bahkan beliau tidak hanya dalam teori namun beliau buktikan dalam kehidupan nyata beliau. Di dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa beliau dalam sebuah perjalanan bersama banyak orang termasuk yang berbeda agama sangat baik dan menghormati mereka sehingga mereka yang tidak mengenal beliau tidak tahu apakah beliau seorang muslim atau bukan?
Mengapa semua itu mereka lakukan dan harus kita contoh? Jawabannya adalah karena kita memiliki tugas besar menyampaikan pesan dan risalah Tuhan kepada mereka. Tugas ini akan bisa terlaksana kalau kita mendapatkan tempat di hati mereka. Tanpa hal itu mustahil kita bisa menjalankan tugas kita. jadi kita harus berusaha sekuat tenaga untuk menebar cinta kasih di tengah masyarakat kita, sehingga mereka pun mencintai dan menerima kita.
Cinta kasih itu merupakan salah satu dari sifat Allah SWT. Dia mencintai makhluk-Nya, karenanya kita harus juga mencintai masyarakat kita, sebagaimana dalam sebuah hadis, takhallakuu bi akhlaaqillah, berakhlaklah dengan akhlak Allah!
Dalam hal perbedaan pandangan seorang yang berilmu dan berakhlak mulia tidak akan menyelesaikannya dengan pertengkaran, namun dengan diskusi dan pembahasan ilmiah serta saling menghormati pendapat masing-masing.
Kesempurnaan ketiga adalah kesucian jiwa. Kesempurnaan yang ketiga ini adalah akibat dari kesempurnaan pertama dan kedua. Artinya dengan ilmu dan akhlak mulia itu hati dan jiwa kita bisa bersih dan suci laksana cermin. Sehingga dengan demikian seorang muballiq bisa memiliki pandangan yang berbeda dengan masyarakat umum, pandangan yang lebih luas. Kalau diumpamakan seorang muballiq haruslah seperti burung yang berada di atas kepala masyarakat umum, sehingga ia bisa memantau dari atas dan menjadi saksi atas perbuatan dan kondisi masyarakatnya, sebagaimana para Nabi yang diwarisinya itu adalah saksi di setiap masayarakatnya. Dan dengan itu pula ia bisa membimbing dan mengarahkan mereka.
Salah satu dari yang harus dihindari oleh seorang muballiq adalah membalas kejelekan dengan yang serupa. Sebab jika ia lakukan hal itu, maka ia tidak berbeda dengan lainnya dan ia telah menurunkan derajatnya sama dengan yang lain. Sama seperti yang disebutkan dalam sebuah humor; ada seorang yang lari mengejar seekor anjing, di saat ditanya mengapa ia lakukan hal itu? Ia menjawab, anjing itu menjilat kaki saya, maka sekarang saya kejar dia untuk saya jilat juga kakinya. Tentu setiap orang yang berakal sehat tidak akan melakukan seperti itu.
Dalam sejarah kita baca, bahwa Nabi Muhammad saw setiap hari dilempari kotoran oleh seseorang. Suatu hari orang itu absen, maka Nabi bertanya kemana orang yang bisa melempar itu? maka diberitahu, bahwa ia sedang sakit. Nabi datang menjenguknya dan orang itu pun masuk Islam.
Oleh sebab itulah setiap muballiq harus memiliki jiwa yang bersih, kuat dan berlapang dada serta memiliki kesabaran tingkat tinggi.
Selain itu seorang muballiq haruslah menjadi pusat bagi setiap orang menyelesaikan berbagai problemanya. Seorang muballiq harus memiliki konsen dan tidak bisa tidur jika mendapatkan ada pihak-pihak yang berselisih sebelum ia selesaikan, baik sesama madzhab, sesama muslim dan bahkan penganut agama lain sekalipun.
Semoga Allah SWT selalu memberikan cahaya-Nya kepada seluruh saudara-saudari sekalian sehingga berhasil dalam mengemban tugas mulia ini.
[1] Ditranskrip dan diterjemahkan oleh Abdullah Beik, MA dari ceramah Ayatullah DR Mohammad Khamenei di hadapan para ustadz, muballiq dan aktifis Ahlul Bayt as di Aula Al Huda, ICC Jakarta, 30 Maret 2010.[1]Ketua Presiden Institusi Penelitian Pemikiran Mulla Sadra (Sadra Islamic Philosophy Reasech Institute) di Iran yang berkunjung ke Indonesia, selain melakukan pertemuan dengan para dosen dan akademisi beliau juga memberikan stadium general di Islamic Colleg Jakarta dan UIN Jogjakarta.