Dialog Ahli Surga – Ahli Neraka
Oleh ; Irwan Kurniawan
Al-Quran, di banyak tempat dan dengan beberapa redaksi yang berbeda, menegaskan suatu hakikat, bahwa setiap orang tergadai dengan apa yang diusahakan dan dikerjakannya. Ini merupakan neraca keseimbangan manusia dalam pandangan Allah.Dia telah menjadikan manusia berbanding lurus dengan amal perbuatannya, dan menetapkan bahwa amal perbuatan merupakan penentu atas tempat apa yang layak baginya di akhirat nanti. Ini juga merupakan sebuah konsep asasi yang harus disadari oleh seseorang dalam kehidupannya. Sebab, hakikat tersebut merupakan spirit tanggung jawab dan pendorong yang hakiki untuk memikul tanggung jawab tersebut. Apabila seseorang meyakini hubungan antara kekiniannya dengan perbuatannya serta hubungan antara masa depannya dengan tindak-tanduknya dalam kehidupan ini, ia akan memikul tanggung jawab itu seluruhnya. Hal ini ditegaskan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya, Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya (QS al-Muddatstsir [74]: 38).
Apabila kita membaca, mengamati dan mencermati ayat ini, maka kita dapat mengambil beberapa pemahaman darinya, di antaranya sebagai berikut :
1. Ada pemikiran yang mengatakan bahwa kebahagiaan dan kesengsaraan manusia di dunia ini dan di akhirat nanti telah ditetapkan sejak azali, khususnya ketika ditiupkan ruh kehidupan kepadanya ketika ia masih berupa janin di dalam rahim ibunya. Namun, tidak sepenuhnya seperti itu, tidak seperti yang diklaim dalam paham jabbariyyah. Sebab, Allah Swt. juga telah menetapkan bahwa tempat akhir kehidupan manusia ada di tangan mereka sendiri. Dapat dikatakan bahwa mereka menggadaikan diri mereka, ke neraka dengan perbuatan-perbuatan buruk mereka sebagai para pendosa, dan ke surga dengan perbuatan-perbuatan baik mereka sebagai orang-orang yang bahagia, seperti ashhâb al-yamîn (golongan kanan). Ini merupakan salah satu manifestasi dari keadilan dan kebijaksanaan Ilahi yang utama.
Ja‘far ash-Shâdiq as. berpesan kepada salah seorang sahabatnya, “Hindarkan jiwamu dari apapun yang bisa menimpakan bahaya padanya sebelum ia berpisah darimu. Berusahalah untuk membebaskannya [dari tawanan nafsu] seperti kamu berusaha dalam penghidupanmu, karena jiwamu tergadai dengan amal perbuatanmu.” (Mustadrak al-Wasâ’il, jil. 11, hal. 343).
2. Kaidah ini berlaku bagi setiap orang tanpa terkecuali, tanpa membedakan warna kulit, gender, ras dan etnik. Oleh karena itu, tidak ada nilai yang lebih tinggi daripada amal salih. Demikianlah, Allah menetapkan aturan bagi hamba-hamba-Nya. Itu artinya setiap pemikiran sempit yang rasis benar-benar tidak mendapat tempat dalam Islam.
3. Sebagian besar bencana yang menimpa seseorang adalah karena usaha dan perbuatannya. Allah Swt. berfirman, Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu) (QS al-Syûrâ [42]: 30). Hal itu jarang kita sadari akibat sedikitnya perhatian kita dan lemahnya kesadaran kita terhadap urusan-urusan dan aturan-aturan kehidupan. Padahal, gempa bumi, tsunami, banjir dan bencana-bencana alam yang lain yang menimpa kita pada dasarnya adalah akibat ulah manusia sendiri. Demikian pula balasan di akhirat. Di akhirat nanti, para pendosa yang menjadi penghuni neraka akan ditanya tentang kesengsaraan mereka di neraka, mengapa dulu mereka melakukan perbuatan dosa dan keburukan, padahal sebelum menghabiskan sisa umur, mereka memiliki kesempatan untuk menebus dan membebaskan diri mereka dengan amal-amal salih.
Ada satu kelompok yang Allah kecualikan dari ketergadaian ini. Mereka adalah ashhâb al-yamîn, karena mereka melakukan tindakan dan perbuatan yang terpuji di dunia. Bahkan mereka mendapatkan kenikmatan yang besar dan kekal. Allah Swt. berfirman, kecuali golongan kanan, berada di dalam surga (QS al-Muddatstsir [74]: 39-40). Di sana, mereka berdialog dengan orang-orang berdosa yang menjadi penghuni neraka. Di antaranya mereka bertanya, “Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Neraka Saqar?” (QS al-Muddatstsir [74]: 42).
Apa pentingnya pertanyaan ini bagi orang-orang yang mendapatkan kenikmatan di surga dan orang-orang yang mendapatkan siksaan di neraka? Apa hikmah yang tersembunyi di balik dialog ini? Barangkali, ada beberapa hikmah yang dapat kita petik dari dialog antara penghuni surga dan penghuni neraka yang diketengahkan dalam ayat ini, di antaranya sebagai berikut.
1. Hal ini dapat menambah kenikmatan bagi orang-orang yang beriman, baik kenikmatan material maupun spiritual. Sebagaimana orang yang hidup berkecukupan akan merasakan tambahan anugerah yang diberikan Allah kepadanya ketika menyaksikan kondisi orang-orang miskin, maka penghuni surga pun akan merasakan tambahan nikmat surga dan nikmat hidayah ketika mereka menyaksikan keadaan penghuni neraka.
2. Dialog yang akan terjadi pada hari kemudian ini berguna bagi kaum Mukmin di dunia ini karena mengungkapkan hal-hal apa saja yang bisa mendatangkan bahaya dan memberitahukan hal-hal apa saja yang bisa menjerumuskan seseorang ke dalam neraka. Dengan demikian, mereka dapat menghindari tindakan-tindakan yang keliru dan perbuatan-perbuatan dosa tersebut. Sebab, mengetahui hal-hal seperti itu tidak kurang pentingnya daripada mengetahui kebaikan dan kebenaran. Selain itu, orang yang ingin membangun kepribadian imani dalam dirinya hendaklah mengetahui sifat-sifat penghuni neraka untuk dihindari.
Dalam dialog itu, penghuni surga bertanya kepada penghuni neraka, di antaranya, tentang apa sebabnya mereka masuk neraka. Penghuni neraka menjawab bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan mereka masuk neraka, di antaranya, dan yang paling utama, adalah karena mereka dulu tidak termasuk orang-orang yang mendirikan shalat: Mereka menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat…” (QS al-Muddatstsir [74]: 43).
“Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.” Kalimat ini bisa mengacu pada dua pengertian berikut :
1. Ayat ini merujuk pada orang-orang yang meninggalkan shalat karena alasan ideologi, seperti orang-orang kafir.
2. Ayat ini bisa juga merujuk pada orang-orang yang biasa melakukan ritual-ritual ibadah tetapi tidak berpegang pada aturan-aturan, tuntunan-tuntunan dan nilai-niali ibadah yang semestinya. Mereka inilah yang dimaksudkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya, Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar (QS al-‘Ankabût [29]: 45). Itu karena shalat merupakan tiang agama, ruh keimanan dan wahana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu, shalat harus dikerjakan dengan sebenar-benarnya sesuai dengan aturan-aturan dan tuntunan-tuntunannya. Bagaimana shalat yang benar? Diriwayatkan dari dari Abû Hurairah, bahwa seseorang masuk masjid lalu shalat. Melihat cara shalat orang itu, Rasulullah Saw. menegurnya, “Ulangi shalatmu karena kamu sebenarnya belum shalat!” Maka orang itu berkata, “Kalau begitu ajarilah saya shalat yang benar, wahai Rasulullah!” Lalu beliau mengajarinya dan bersabda, “Apabila kamu hendak mendirikan shalat, maka berwudhulah dengan sebaik-baiknya, lalu menghadaplah ke kiblat. Lalu kamu bertakbir, membaca [surah] Alquran yang mudah bagimu, lalu rukuklah hingga thuma’nînah dalam rukuk itu, lalu bangkit dan berdiri tegak, lalu bersujudlah hingga thuma’nînah dalam sujud itu, lalu duduk hingga thuma’nînah dalam duduk itu. Kemudian lakukan hal seperti itu dalam seluruh shalatmu.” (HR al-Bukhari).
Dalam hadis lain dari ‘Alî bin Abdul ‘Azîz dari Rifâ‘ah bin Râfi‘, bahwa orang itu berkata kepada Nabi Saw., “Saya tidak mengerti, mengapa engkau mencela [shalat] saya?” Maka Nabi Saw. menjawab, “Shalat seseorang dari kalian tidak dinilai sempurna sebelum ia menyempurnakan wudhu seperti yang diperintahkan oleh Allah SWT, yaitu membasuh wajah dan kedua tangannya hingga siku, dan mengusap kepala dan kedua kakinya hingga mata kaki. Kemudian ia bertakbir, bertahmid dan memuliakan-Nya, dan membaca sebagian Alquran yang diperkenan Allah dan mudah baginya. Kemudian, ia bertakbir dan rukuk, lalu meletakkan kedua tangannya ke kedua lututnya hingga sendi-sendinya thuma’nînah dan rileks. Kemudian ia membaca: Sami‘allâhu liman hamidah dan berdiri tegak hingga setiap tulang berdiam di tempatnya dan meluruskan tulang punggungnya. Kemudian ia bertakbir lalu bersujud dengan meletakkan wajahnya ke tanah hingga persendiannya menjadi rileks. Kemudian ia bertakbir lalu mengangkat kepalanya dan duduk tegak di atas bokongnya dan meluruskan tulang punggungnya.” Beliau menjelaskan shalat yang benar seperti ini hingga selesai. Setelah itu, beliau bersabda, “Tidak sempurna shalat seseorang dari kalian sebelum ia melakukan seperti itu.” (HR an-Nasâ’î).
Dalam nasihatnya kepada Muhammad bin Abu Bakar, Imam ‘Alî as. berkata, “Perlu engkau ketahui, wahai Muhammad, sesungguhnya setiap sesuatu mengikuti shalatmu. Perlu juga kamu ketahui bahwa siapa yang sudah berani menyia-nyiakan shalat, ia akan lebih berani menyiakan-nyiakan [kewajiban] yang lain.” (Mustadrak al-Wasâ’il, jil. 3, hal. 49).
Rasulullah Saw. bersabda, “Setan senantiasa takut kepada anak Adam selama ia menjaga lima shalat fardu. Tetapi jika ia telah menyia-nyiakannya, maka setan akan berani kepadanya dan menjerumuskannya ke dalam bencana-bencana yang amat besar.” (Bihâr al-Anwâr, jil. 79, hal. 404).