Jangan Ada Korban Perasaan di Hari Raya Kurban!
Seperti sunnatullah saja, harga hewan kurban setiap tahun selalu naik. Tingkat kenaikannya menurut media (liputan6.com), lebih besar daripada kenaikan harga emas. Tingkat penjualannya pun tak diragukan, khususnya menjelang hari raya Idul Adha, kian meningkat. Terlihat banyak lapak hewan kurban di jalan-jalan. Di luar itu, negeri tercinta kita ini mayoritas masyarakatnya adalah kaum muslimin. Semua sepakat bahwa mereka jauh lebih sering beli daging sembelihan ketimbang beli emas. Soal ini para investor tak perlu diajari. Mereka paling bijak dalam hal mana yang akan mereka mainkan.
Secara kasatmata, semua pihak diuntungkan oleh hari raya Idul Adha ini. Kecuali yang menolak budaya Islam dan mengingkari hukum terkait kurban, bahwa yang berkurban atau si penderma menerima pahala dari Allah swt, si pedagang mendapat keuntungan, dan si penerima derma -yang akan dijelaskan nanti siapa saja yang berhak- mendapatkan daging untuk disate atau diolah lainnya. Inilah yang barangkali bisa dikatakan sebagai hari besar sosial Islam, hari pesta “Berbagi Sesama”. Bebas-bebas saja untuk dikatakan lainnya yang terkait namun kreatif, tanpa perlu diperdebatkan.
Mungkin bukan masalah bagi selain pedagang, terlebih bagi pedagang itu sendiri yang kebanyakan mereka bersikap subyektif. Artinya, yang penting dagangan laku dengan keuntungan yang “manis”nya pas di hati. Di antara cara yang menarik minat pembeli, selain kualitas komoditi ialah keramahan pelayanan dan lingkungan lapak. Yang melayani para pembeli adalah SPG “cantik”. Mungkin ide ini sudah lama muncul, dan baru diterapkan pada abad milenium ini.
Istilah Kurban
Dalam bahasa kita, beda pengucapan maupun penggunaan pada makna, antara dua kata ini; “korban” dan “kurban”. Korban dalam bahasa arab, ialah dhahiyah (kata tunggal) dan dhahâya (jamaknya). Di masyarakat kita, penggunaan kata ini lebih luas dari maknanya, berlaku pada orang yang dilanda musibah perang atau oleh tindakan kriminal, seperti korban bom bunuh diri, korban tabrak lari dan sebagainya. Juga berlaku pada orang yang dilanda musibah alam, seperti korban banjir atau gempa dan lainnya. Bahkan oleh selain hal tersebut, seperti korban perasaan.
Contoh lainnya, korban fitnah! Seperti yang dialami kaum Syiah, pada hari Arafah mereka berziarah ke pusara Imam Husein sa, cucu Nabi saw yang dalam sejarah terbunuh pada empatbelas abad yang lalu. Oleh portalpiyungan.com, mereka yang berziarah itu dikatakan “melaksanakan haji di Irak”, di Masjid Al-Husein, Karbala. Aneh sekali, seakan muslimin tidak bisa membedakan antara ibadah haji yang termasuk min dharuriyatiddin (perkara-perkara yang sangat jelas dalam agama) ini, dan ziarah kubur sebagai amalan yang sunnah.
Sedangkan kata yang kedua, “kurban”, bahasa arabnya adalah qurbân. Mirip dengan maknanya, yaitu kata “udhhiyah” yang penggunaannya lebih khusus, dan artinya adalah hewan kurban. Makna istilah fikihnya, adalah (hewan) yang disembelih pada hari Idul Adha dan sampai tiga hari sesudahnya, sebagai derma (tabarru’an). Bukan sebagai hadyan (هدي) yang wajib dilakukan pada hari itu di Mina, karena bagian dari haji. (1)
Hikmah Pensyariatannya
Setiap amal memiliki hukum dan terkandung hikmah di dalamnya. Termasuk dalam pensyariatan kurban ini, di antara hikmahnya diterangkan dalam kitab “al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Muyassarah (3)”:
1-Mendekatkan diri kepada Allah. Jika Habil mengorbankan hartanya di jalan Allah dan diterima oleh-Nya, maka Nabi Ibrahim as menjadikan putranya, Ismail, sebagai kurban dalam mentaati perintah Allah swt.
2-Memberi makan kepada kaum fakir miskin, keluarga, tetangga dan mu`minin. Hal ini membuat hati mereka senang dan sebagainya.
Imam Shadiq sa ditanya oleh Abu Bashir: “Mengapa berkurban?”
Beliau menjawab, “(Pertama) Sesungguhnya si pemilik kurban diampuni Allah pada awal tetesan dari darah kurban yang mengucur ke bumi. (Kedua) Allah mengetahui siapa yang bertakwa kepadanya dengan kegaiban. Allah swt berfirman:
Daging dan darah unta itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapai-Nya.(2)
Lihatlah, bagaimana Allah menerima kurban Habil, dan menolak korban Qabil.”(3)
Pembagian Daging Kurban
Imam Shadiq sa ditanya oleh Abu Jamilah tentang (pembagian) daging kurban. Beliau menjawab: “Ali bin Husein (Imam Sajjad as) dan putranya, Muhammad (Imam Baqir as), mendermakan (kurban) sepertiganya kepada tetangga, sepertiga kepada kaum miskin, dan sepertiga untuk keluarganya.”
M.Ilyas
Referensi:
1-Al-Mausu’atu al-Fiqhiyah al-Muyassarah 3/421 -Syekh Muhammad Ali Manshur.
2-(QS: al-Hajj 37) لَنْ يَنالَ اللهَ لُحُومُها وَلا دِماؤُها وَ لكِنْ يَنالُهُ التَّقْوى مِنْكُمْ.
3-‘Ilal asy-Syarayi’, bab ‘Illatul Udhhiyah, hadis 2.