Kekhususan Hadis Fariqain (1)
Kekhususan Hadis Fariqain (1)
Kekhususan Hadis Ahlu Sunnah (Bagian Pertama)
Pada abad terakhir ini, perhatian besar tertuju kepada hadis Ahlu Sunnah dan kekhususannya. Banyak tulisan terbit berkenaan dengannya.[1] Disamping usaha ulama Ahlu Sunnah dalam memperkenalkan budaya terkait hadis, pendekatan kaum orientalis dalam hal ini juga layak mendapat perhatian. Mereka (kaum orientalis) meyakini budaya Ahlu Sunnah terkait hadis sebagai simbol utama budaya dan pengetahuan Islam sehingga mereka mentelaahnya. Mereka menganggap besar isu-isu dan hal-hal yang dapat dikritik dan menjelaskan efek-efeknya terhadap keyakinan kaum muslimin. Sebagian cendikiawan muslim dan lawan-lawan internal juga bergabung dengan arus ini dan memaparkan kekhususan hadis Ahlu Sunnah. Dengan membesarkan kelemahan budaya Ahlu Sunnah terkait hadis, dua kelompok ini berusaha menggeneralisir kelemahan kepada seluruh budaya kaum muslimin dan menemukan caacatnya.
Di lain pihak, terdapat ulama Ahlu Sunnah yang dalam tulisan-tulisannya berusaha menerangkan kekhususan-kekhususan positif budaya terkait hadis mereka.
Dalam kesempatan ini kita berusaha untuk menyampaikan kelebihan dan kekurangan hadis Ahlu Sunnah, disamping juga menjelaskan kekhususan-kekhususannya dari sudut pandang para peneliti Syiah. Namun kita tetap menghindari generalisasi kekurangannya terhadap seluruh budaya Islam dan kaum muslimin. Komparasi sebagian kekhususan ini dengan kekhususan hadis Syiah menunjukkan perbedaan kedua domain hadis. Hal itu akan membuka jalan untuk melakukan penelitian dan perbandingan terhadap keduanya.
Kita akan membahas kekhususan-kekhususan hadis Ahlu Sunnah sebagaimana kekhususan-kekhususan hadis Syiah dalam tiga bagian, yaitu shudur, reportasi dan penulisan.
a) Shudur
- Rentang waktu yang terbatas
Ahlu Sunnah hanya meyakini kemaksuman Nabi saw. Oleh karena itu, penyampaian ajaran-ajaran wahyu Ilahi juga hanya akan terbatas dalam rentang waktu 23 tahun risalah beliau saw. Menurut pandangan mereka, penyampaian ajaran-ajaran Al-Quran dan sunnah dimulai sejak saat beliau diangkat menjadi nabi dan berakhir dengan wafatnya beliau saw. Jarak waktu terbatas yang disebut dengan periode permulaan budaya Islam, merupakan sebuah kesempatan untuk memanfaatkan sunnah Nabi saw dan memaparkannya kepada yang lain.
Mengamati periode shudur riwayat-riwayat Nabawi menunjukkan bahwa ajaran-ajaran terkait hadis Nabi saw pada masa beliau saw hidup di Makkah, sangat pendek sekali. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terbentuknya sunnah Nabawi dalam budaya Ahlu Sunnah, diambil dari 10 tahun keberadaan beliau saw di Madinah.
Komparasi masa shudur hadis Ahlu Sunnah yang pendek, yaitu 23 tahun dengan periode hadis Syiah yang panjang, yaitu lebih dari 340 tahun, menjadi sebab munculnya perbedaan-perbedaan metodologi dan pendekatan dalam hadis-hadis Syiah dan Ahlu Sunnah.
- Bersandar kepada ucapan sahabat
Jelas bahwa jarak waktu yang terbatas hanya 23 tahun tidak mungkin untuk menjelaskan seluruh rincian hukum, pengetahuan dan akhlak. Dari sisi lain, kebutuhan umat Islam terhadap ajaran yang lebih detail menuntut supaya tugas ini jatuh ke pundak sahabat-sahabat Nabi saw.
Kebutuhan umat Islam untuk memahami rincian hukum fikih atau akidah yang setiap harinya bertambah dan melakukan pencarian untuk memperoleh sumber pembelajaran, sangat dirasakan kaum muslimin saat itu. Sejalan dengan itu, wajar bila orang-orang yang baru memeluk Islam dan generasi baru, merujuk kepada keyakinan dan budaya orang-orang sebelumnya. Pada akhirnya, ucapan sahabat Nabi saw dianggap sebagai hujjah dan perbuatan mereka juga sebagai panutan.
Dalam memberikan rasionalitas terhadap hujjiah (kehujjahan) ucapan dan perbuatan sahabat, ulama Ahlu Sunnah berkata: Mereka tidak mengatakan sesuatu dari diri mereka sendiri, akan tetapi dalam rangka menjelaskan ajaran-ajaran Nabi saw dan mentransfernya kepada orang lain.
Poin pentingnya adalah, disamping ucapan dan perbuatan sahabat Nabi saw, ijtihad mereka juga termasuk hujjah. Berdasarkan hal di atas, maka ucapan, perbuatan dan hal-hal yang ditinggalkan sahabat Nabi saw dari sisi validitas berada setelah sunnah Nabi saw dan menjadi sandaran pengambilan fatwa ulama Ahlu Sunnah.
Metode ini memperluas area pengetahuan naqli Ahlu Sunnah dan memberikan solusi pada kebutuhan mereka dalam kasus-kasus ijma’ atau konsensus relatif dan masyhur. Dikarenakan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan sahabat Nabi saw dan ulama periode pertama, hasil dari prinsip ini adalah munculnya sebagian problema dalam sebagian pembahasan.
Pada dasarnya, jauhnya umat Islam dari Ahlul Bait menyebabkan mereka terpaksa memenuhi kebutuhan pengetahuan mereka dengan menjadikan ucapan dan ijtihad sahabat dan tabi’in sebagai hujjah. Mereka lupa bahwa sahabat dan tabi’in adalah manusia biasa yang tidak memiliki inteligensia spesial untuk dihikayatkan kepada orang lain. Dari sini, mereka berkata berdasarkan ijtihad dan pendapat pribadi sehingga menimbulkan berbagai paradoksal dalam teks-teks kuno Islam. Ulama berikutnya juga dengan terpaksa menganggap ijma’ ulama atau konsensus penduduk Madinah sebagai hujjah dan memperbolehkan bersandar kepadanya.[2]
- Meyakini keadilan sahabat
Di antara kekhususan hadis Ahlu Sunnah dan titik perbedaannya yang jelas dengan hadis Syiah adalah keyakinan terhadap keadilan sahabat Nabi saw.
Yang dimaksud dengan sahabat adalah orang yang semasa keislamannya melihat Nabi saw meskipun hanya sekali. Di mata Ahlu Sunnah, kelompok ini memiliki derajat yang tinggi. Seluruh ucapan dan perbuatan mereka dianggap sahih. Reportasi mereka dari ucapan dan perbuatan Nabi saw menjadi sahih dan diterima. Ijtihad mereka juga sah dan layak diikuti. Bahkan saat sahabat salah dalam ijtihadnya, akan mendapatkan ganjaran.
Menurut pandangan ahli hadis Ahlu Sunnah, sahabat Nabi saw tidak memerlukan studi rijal. Ketsiqahan dan keadilan mereka semua dapat diterima tanpa ada keraguan. Untuk membuktikan keadilan sahabat, mereka bersandar kepada dalil-dalil Al-Quran, riwayat, ijma’ dan sirah. Seluruh dalil tersebut dikritisi oleh ulama Syiah. Ketidakberlakuan hal tersebut dijelaskan dengan dalil-dalil yang valid. Disamping itu, dari sudut pandang teologis pun, keadilan sahabat menimbulkan keheterogenan internal yang serius.
Topik keadilan sahabat ini sangat penting dan berpengaruh signifikan dalam pembahasan hadis dan teologi. Banyak perbedaan pendapat yang terjadi pasca Nabi saw.
- Efek dari pelarangan penulisan hadis
Penulisan dan pembukuan hadis dimulai sejak masa hidup Nabi saw, namun sempat terhenti setelah beliau wafat dan kaum muhajirin mencapai kekuasaan. Meskipun bisik-bisik seputar ketidaklayakan penulisan sunnah Nabi saw juga terdengar di masa beliau hidup.[3] Bisik-bisik tersebut sampai pada klimaknya pada masa Khalifah pertama dan disampaikan secara resmi di akhir era Khalifah kedua. Perintah pelarangan penulisan hadis Nabi saw berjalan sekitar 85 tahun dan pada akhirnya secara resmi dihapus oleh Umar bin Abdul Aziz (wafat 101 H).
Periode panjang ini memakan waktu hampir 3 generasi kaum Muslimin. Setelah penghapusan larangan tersebut pada permulaan abad kedua Hijriah, para sahabat dan mayoritas tabi’in telah meninggal dan berganti generasi berikutnya.
Disamping itu, meluasnya budaya penukilan hadis secara verbal dan penghafalan sebagai ganti dari penulisan, menjadi sebab bertambahnya kepercayaan terhadap ucapan-ucapan para pendahulu. Metode seperti ini tentu saja disertai dengan kesalahan ingatan dan kelupaan pada usia-usia tua. Oleh karena itu, terdapat berbagai kecacatan teks dalam reportasi-reportasi hadis yang semakin bertambah dengan banyaknya perantara. Dari sisi lain, pendekatan ini semakin memuluskan jalan untuk masuknya reportasi-reportasi palsu ke teks-teks hadis pasca bertahun-tahun wafat Nabi saw. Dan hal ini mengurangi kepercayaan orang terhadap hadis.
Pelarangan penulisan dan pembukuan hadis membawa bencana serius dan tidak terobati terhadap budaya hadis Ahlu Sunnah. Riwayat Nabi saw yang selalu disertai dengan penukilan makna secara verbal[4] mengakibatkan teks-teks hadis dianggap dhaif dan nilai atau keabsahannya berkurang.
Apakah bisa benar-benar bersandar secara mutlak dan tanpa sedikitpun keraguan kepada penukilan verbal dari dua atau tiga generasi, yaitu individu-individu yang tidak luput dari kesalahan, kelupaan, cinta dan benci, dan penilaian-penilaian individual lainnya?
Diantara kerugian yang muncul adalah tertanamnya ketidakpercayaan terhadap budaya hadis Ahlu Sunnah pada masa kontemporer. Dengan menganalisa jarak waktu 100 tahun antara shudur dan penulisan hadis, sebagian kaum orientalis meyakini teks riwayat diambil dari budaya yang marak di masyarakat saat itu. Dengan demikian mereka menanamkan ketidakpercayaan terhadap teks-teks tersebut dalam benak umat.
Untuk merespon problema di atas dan membuktikan adanya penulisan hadis, ulama Ahlu Sunnah melontarkan sebagian kasus penulisan hadis pada permulaan Islam.[5]
Dari sisi penilaian, harus dikatakan bahwa kasus-kasus yang sangat minim dan tidak ada apa-apanya ini tidak dapat membuktikan budaya tertulis seputar hadis Ahlu Sunnah, karena dalam periode yang panjang hampir 1 abad, hanya terdapat 50 kitab yang direportasikan tentang penulisan hadis Nabi saw. Hal ini membuktikan kelangkaan penulisan hadis pada periode tersebut.
- Tidak adanya hadis yang bersifat taqiyah
Oleh karena masa Nabi saw tidak ada larangan atau tekanan untuk menampakkan fakta dan hakekat, maka tidak memerlukan shudurnya hadis yang bersifat taqiyah. Berdasarkan pandangan Ahlu Sunnah, masa shudurnya hadis dari sosok maksum pada periode setelah beliau saw telah berhenti. Dari sini, pembahasan seputar riwayat yang bersifat taqiyah tidak memiliki tempat dalam budaya hadis Ahlu Sunnah.
- Munculnya hadis-hadis maudhu’
Keyakinan terhadap keadilan seluruh sahabat disertai semangat ketaatan mutlak kepada para penguasa menyebabkan penyalahgunaan para pemegang kekuasaan. Tingginya nilai atau signifikansi teks-teks suci dan pengaruh ucapan-ucapan yang dinisbatkan kepada Nabi saw kepada masyarakat menyebabkan sebagian sahabat memilih kepentingan pribadi dan kelompok daripada kebahagiaan akherat. Selanjutnya mereka mulai memalsukan teks-teks suci. Untuk mengokohkan kaki kekuasaan, penguasa juga membutuhkan distorsi budaya dan keyakinan umum masyarakat dari arah petunjuk Nabi saw kepada tegaknya kekuasaan.
Kebijakan pelarangan penulisan hadis ditambah keyakinan terhadap keadilan sahabat dan permintaan para penguasa untuk progres tujuan penyalahgunaan menjadi faktor munculnya keyakinan-keyakinan yang tidak heterogen dengan ajaran-ajaran Nabi saw, ayat Al-Quran, akal dan fitrah manusia. Hal tersebut telah menjadi sumber berbagai keyakinan yang tidak dapat diterima, seperti keyakinan penuh terhadap jabr (determinisme), qadha’ dan qadar, mujassimah.
Dari sisi lain, politik para penguasa menetapkan untuk membatasi setiap pandangan Ahlul Bait pada periode ini. Oleh karena itu, sampai masa imamah Imam Baqir, jarang terjadi masyarakat merujuk kepada para imam.
Pada periode ini, hadis-hadis tentang keutamaan dan manaqib bertambah banyak. Berbagai reportasi yang secara umum mendongkrak kedudukan para penguasa dan atau secara khusus menyebutkan berbagai keutamaan untuk masing-masing penguasa, banyak tersebar di tengah umat Islam.[6] Perintah Umar bin Abdul Aziz untuk menulis hadis pada permulaan abad ke-2 H menjadi faktor tertulisnya teks-teks ini dalam khazanah keyakinan dan budaya umat Islam sehingga hal tersebut bertahan dan tersisa.
- Tersebarnya Israiliyat
Setelah umat Islam memegang kendali kekuasaan, ulama dan para pendeta Yahudi bergabung dengan kaum Muslimin. Pada periode khalifah kedua dan ketiga, mereka memperoleh banyak kebebasan bergerak. Mereka menemukan kedudukan khusus pasca periode 4 khalifah dan menjadi terhormat di sisi penguasa.
Mereka sebelumnya adalah ahli kitab dan memiliki informasi lebih tentang peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan para nabi terdahulu. Dengan memaparkan berbagai informasi dan rincian mengenai para nabi dan kaum mereka dalam bentuk kisah kepada umat Islam dan dengan dukungan para penguasa maka budaya mitologi Bani Israel masuk dalam budaya kaum Muslimin. Pengaruh tersebarnya israiliyat di tengah umat Islam tiada lain karena munculnya paradoksal teks sebagian reportasi dengan ajaran Al-Quran dan rasional. Banyak hal dengan warna keagamaan tertanam dalam benak kaum Muslimin yang bertentangan dengan kedudukan para nabi yang maksum. (Bersambung)
Ringkasan Vizhegiha-ye Hadis-e Ahl-e Sunnat (S.M.K. Taba’tabai)
[1] Topik sebagian tulisan tersebut dapat disebutkan, antara lain: Al-Hadits wa Al-Muhadditsun, Muhammad Muhammad Abu Zahwu; Dirasaat fi Al-Hadits An-Nabawi, Muhammad Mustafa Al-A’dhami; As-Sunnah Qabl At-Tadwin, Muhammad Ajaj Al-Khatib; Qishshah Al-Hujum ‘Ala As-Sunnah, Ali Ahmad Salus; Al-Madkhal Ila Dirasah Al-Hadits wa As-Sunnah, Sirru Al-Isya’; Tarikh As-Sunnah Al-Musyarrafah, Akram Dhiya’ Al-Umari dan Adhwa’ Ala As-Sunnah Al-Muhammadiyah, Mahmud Abu Rayyah.
[2] Silahkan rujuk: Metode Malik bin Anas dalam memilah riwayat dan teks yang direportasikan dari sahabat dan tabi’in dalam kitab Muwaththa’ Malik.
[3] Sebagai contoh, silahkan lihat: Taqyid Al-‘Ilm, halaman 81 – 88 berkenaan dengan penulisan sabda-sabda Nabi saw oleh Abdullah bin Amr ‘Ash dan protes dari Quraisy, dan juga silahkan rujuk: Shahih Bukhari, jilid 1, halaman 54 tentang larangan penulisan wasiat Nabi saw oleh Khalifah kedua.
[4] Meskipun penukilan dengan makna diperbolehkan dalam penulisan hadis, akan tetapi dalam reportasi lisan, semakin memperbanyak bahaya distorsi.
[5] Lihat: As-Sunnah Qabl At-Tadwin, Muhammad Ajaj Al-Khatib; Tadwin As-Sunnah Asy-Syarifah, Muhammad Ridha Huseini Jalali; Tadwin As-Sunnah, Ibrahim Fauzi.
[6] Sebagai contoh silahkan lihat: Fadhail Ash-Shahabah, Ibnu Hanbal; juga kitab-kitab yang ditulis berkenaan dengan hadis-hadis maudhu’ dan berbagai keutamaan tiga khalifah dan sahabat Nabi saw yang lain.