Jangan Paksa Diri Berpuasa Bila tak Mampu!
Perintah puasa bulan Ramadan turun pada 10 Sya’ban, satu setengah tahun pasca hijrah Nabi saw. Alquran dan hadis serta ijma’ menjadi dalil atas kewajiban ibadah ini. Allah swt berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ; “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa..” (QS: al-Baqarah 183)
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْ أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ… فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ; “Bulan Ramadhan, yang di dalamnya Alqur’an diturunkan… Maka barang siapa di antara kamu yang menyaksikan (hadir di negeri tempat tinggalnya di) bulan itu, maka ia harus berpuasa pada bulan itu.. (QS: al-Baqarah 185)
Rasulullah saw bersabda: Islam dibangun atas lima perkara; 1-syahadat bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah… 5-puasa bulan Ramadan. (HR Bukhari dan Muslim)
Kewajiban puasa ini disepakati oleh umat Nabi saw, dan tak ditentang oleh seorangpun dari kaum muslimin. Adalah bagian dari perkara-perkara yang jelas di dalam agama, yang berarti mengingkari kewajiban ibadah ini sama halnya mengingkari kewajiban shalat, zakat dan haji.
Persoalan Rukun bagi Puasa
Rukn (baca: rukun) artinya sisi terkuat bagi sesuatu. Secara istilah adalah satu sisi pada sesuatu yang bersandar padanya, merupakan esensinya, ada di dalamnya dan bagiannya yang fundamental. Sesuatu itu takkan berdiri tanpanya. Misalnya, qiyam (berdiri), takbiratul ihram, ruku, sujud di dalam shalat merupakan rukun-rukun shalat.
Di dalam puasa, dari penjelasan dalam al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arbaah wa Madzhab Ahlilbait, yang dapat saya pahami bahwa:
Pertama, rukun yang dimaksud adalah yang membentuk pengertian puasa. Dengan kata lain, konsep puasa terwujud oleh -atau bergantung pada- rukunnya.
Kedua, empat mazhab besar Ahlussunnah sepakat bahwa puasa memiliki rukun. Lalu mereka berbeda pendapat mengenai rinciannya:
-Menurut Hanafiyah dan Hanabilah, puasa memiliki satu rukun, yaitu imsâk atau menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa.
-Menurut Malikiyah, sebagian mereka mengatakan, puasa memiliki dua rukun; imsâk dan niat. Dengan dua perkara inilah konsep puasa terwujud. Namun sebagian lain berpendapat, bahwa niat merupakan syarat, bukan rukun. Jadi, dengan imsâk saja konsep puasa terwujud.
-Menurut Syafiiyah, rukun puasa ada tiga; imsâk, niat dan si pelaku puasa (shâim). Dengan tiga perkara inilah konsep puasa terwujud.
Ketiga, dikatakan dalam kitab tersebut bahwa di dalam fikih Ahlulbait tak ada rukun bagi puasa, melainkan ia memiliki beberapa syarat. Namun, di dalam sumber lain dijelaskan bahwa puasa meliputi empat hal; tindakan, obyek, waktu dan subyek atau pelakunya, yang semuanya merupakan rukun-rukun puasa:
1-Menahan dari hal-hal yang membatalkan dengan niat -qurbatan. Niat ini merupakan rukun di dalam puasa, atau merupakan syarat di dalam sahnya.
2-Apa yang harus dihindari oleh si shaim (pelaku puasa).
3-Dalam waktu yang puasa sah dilakukan, yaitu di sepanjang hari di luar malam.
4-Yang sah berpuasa ialah orang berakal yang muslim.
Jika empat perkara ini dikatakan sebagai rukun-rukun puasa, maka pengertian puasa terwujud oleh atau bergantung pada- empat perkara tersebut, yang membentuk definisi atau pengertian puasa. Bahwa, shaum atau puasa adalah imsâk (menahan) dari hal-hal yang membatalkannya, dengan niat qurbatan, dari waktu terbit fajar (subuh) hingga terbenam matahari (magrib). Sedangkan perkara yang keempat, adalah bagian dari persyaratan umum taklif.
Persyaratan Shaum
Terlepas dari pendapat bahwa puasa memiliki rukun atau tidak, masalah yang tak kalah pentingnya yang harus diperhatikan ialah mengenai syarat-syarat puasa. Di dalam kitab tersebut, kemudian diterangkan bahwa -menurut fikih Ahlulbait- ada dua macam persyaratan puasa; 1-pesyaratan kewajiban (wujûb), dan 2-persyaratan kesahan (shihah).
Adapun yang pertama, adalah persyaratan umum taklif; baligh, akal dan mampu (qudrah). Sedangkan yang kedua ialah berkaitan dengan kondisi mukallaf (pelaku taklif), bahwa ia:
-Tidak tertimpa hal tak sadar diri (misal pingsan) sebelum berniat puasa.
-Jika perempuan, ia harus suci dari (keluar) darah haid dan nifas di sepanjang hari (waktu siang; dari subuh sampai magrib).
-Aman dari bahaya (yang mengancam jiwa, misalnya).
-Baginya puasa tidak menyusahkan dan membawa dirinya dalam beban yang sangat berat.
-Tidak musafir, dalam arti tidak diwajibkan qashar dalam shalatnya dikarenakan safar (melakukan perjalanan jauh).
-Tidak terbebani oleh usia lanjut yang melemahkan dirinya dari puasa.
-Tidak tertimpa penyakit kehausan, yang diistilahkan dengan dzul uthâsy (yang mempunyai penyakit selalu dahaga).
-Jika perempuan, bukan yang hamil tua (mendekati masa kelahiran) dan puasa membahayakan kehamilannya. Juga bukan yang menyusui bila berpuasa membahayakan si bayi dan menyebabkan berkurangnya ASI.
Jika diperhatikan, semua hal tersebut yang menyangkut persyaratan sahnya puasa, ada kalanya berkaitan dengan persyaratan kewajiban puasa. Misalnya, hal tak sadar diri, ialah berkaitan dengan syarat akal; kondisi lemah lantaran usia lanjut, hamil tua atau keadaan menyusui dan sakit seperti selalu haus, ialah berkaitan dengan syarat mampu. Ada kalanya berkaitan dengan persyaratan lainnya, seperti dalam keadaan suci, dalam safar yang mengharuskan qashar shalat, dan lainnya.
Referensi:
-al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arbaah wa Madzhab Ahlilbait/Sayed Muhammad Gharawi dan Syaikh Yasir Mazih