Hak dan Kewajiban Suami-Istri, antara Fikih dan Akhlak (Bagian Pertama)
Rasulullah saww bersabda,“Barangsiapa yang menyia-nyiakan hak-hak keluarganya maka terlaknatlah ia.” [Wasa’il asy-Syi’ah, jilid 7, hal 151]
Prolog
Ungkapan ‘di sumur, di dapur, dan di kasur’ ialah mitos yang masih beredar di masyarakat saat menggambarkan tugas dan kewajiban seorang istri. Seolah-olah ketiga kawasan domestik tersebut sudah menjadi tugas dan kewajiban yang tidak bisa ditawar lagi, wajib dilakukan oleh seorang istri. Sumur gambaran dari tugas istri dalam bersih-bersih seperti cuci piring, cuci baju dan lainnya. Dapur gambaran dari tugas istri dalam bab masak-memasak yang wajib dilakukan bagi keluarganya. Sedangkan kasur gambaran dari tugas istri untuk melayani suami dalam kebutuhan seksual.
Yang menjadi pertanyaan ialah, bagaimana sebenarnya menurut Islam? Apakah area dapur, sumur dan kasur semuanya merupakan kewajiban istri? Dalam artikel ini kita akan mencoba kembali mengupas hal tersebut untuk mengetahui kebenaran yang sesungguhnya.
Kenapa? Karena Salah satu faktor penyebab terjadinya kezaliman adalah ketidaktahuan pelaku atas perbuatan tersebut. Dan, ini dapat terjadi dalam berbagai hal, termasuk dalam hukum agama. Kesalahan pemahaman dalam hukum agama akan menimbulkan sebuah problema. Bahkan, mungkin saja akan menyebabkan terjadinya sebuah kezaliman, meskipun hal itu mungkin saja dilakukan secara tidak disengaja. Salah satu kesalahan pemahaman adalah kesalahan dalam memahami antara hal-hal yang merupakan sebuah “kewajiban” dan “kebaikan” dalam hak-hak dan kewajiban suami-istri. Akan terjadi percampuradukan antara kewajiban dan kebaikan, yang pada akhirnya salah satu pihak obyek hukum akan terzalimi. Tidak hanya sampai di situ, bahkan hukum mungkin saja terputar balik, dengan menganggap anjuran sebagai kewajiban atau sebaliknya.
Hal ini, penting untuk ditelaah kembali agar kesalahan di masa lalu tidak terulang lagi, sekaligus menjawab berbagai serangan yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan dirinya pembela hak-hak kaum perempuan. Karena, memang obyek yang sering dirugikan dalam hal ini adalah kaum perempuan.
Saat kita membaca beberapa buku tentang pernikahan, dan kehidupan berkeluarga, yang sering ditekankan ialah bagaimana menjadi istri yang baik. Lebih tepatnya, yang menjadi sasaran ialah calon istri, jarang sekali buku yang memberikan tuntunan untuk menjadi suami yang baik.
Begitu juga, ketika masalah keluarga diajarkan di pesantren-pesantren atau di pusat-pusat pengajian, maka yang banyak menjadi sorotan adalah perempuan atau calon istri saja. Jarang sekali yang membahas kedua belah pihak sekaligus, calon suami dan istri. Dalam banyak ceramah dan pengajian yang telah kita dengar, para
ustadz lebih banyak membahas penekanan pada perempuan saja, seperti bagaimana menjadi istri yang baik, istri harus begini dan begitu, kalau tidak nanti akan menjadi istri nusyuz. Seolah-olah menjadi istri malah akan menjadi momok. Nusyuz adalah istilah fikih (hukum Islam) yang diambil dari bahasa Arab untuk seseorang yang tidak lagi mengindahkan kewajiban terhadap pasangannya.
Di sisi lain, dalam banyak kesempatan, jarang sekali disinggung atau dibawakan hadis-hadis yang membahas bagaimana semestinya perlakuan suami terhadap istri, perlakuan Nabi saww, para Imam as, dan orang besar terhadap istrinya.
Untungnya, alhamdulillah, sekarang ini telah muncul banyak buku tentang keluarga yang membahas kedua belah pihak, suami-istri, dalam upaya membangun sebuah keluarga yang harmonis. Semoga keberadaan buku-buku seperti ini mampu merubah secara bertahap cara berpikir kaum muslim terhadap tata cara membangun keluarga yang sakinah mawaddah warrahmah. Di antara para ulama kontemporer yang membahas masalah tersebut adalah Ayatullah Ibrahim Amini, Ayatullah Madzahiri dan lain-lain. Semoga sumber-sumber tersebut banyak dibaca oleh para calon suami, juga para suami. Berharap tidak berhenti sampai di situ, namun dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga ilmunya bukan teori semata, namun juga diaplikasikan.
Urgensi Mengetahui Hak-hak dan Kewajiban Suami–Istri
Dalam kehidupan sosial terdapat pembahasan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban. Dua hal itu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Karena hubungan antara keduanya merupakan konsekwensi logis dan realistis, maka jika terdapat kewajiban di sampingnya pasti terdapat hak, atau sebaliknya. Kecuali hak-hak dan kewajiban Tuhan, yang mana keduanya dapat dipisahkan. Ha ini disebabkan kekuasaan-Nya dan keadilan-Nya yang berlaku bagi hamba-hamba-Nya, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam Ali as dalam khutbah ke-216-nya.
Pemisahan antara hak dan kewajiban akan mengakibatkan rusaknya tatanan hidup bermasyarakat, karena hal itu merupakan satu bentuk kezaliman yang tidak bisa diterima oleh akal sehat manusia manapun. Keluarga merupakan sebuah tatanan masyarakat terkecil yang dibangun oleh seorang wanita dan laki-laki melalui sebuah upacara sakral yang bernama pernikahan. Setelah berlangsungnya akad nikah, kedua mempelai tersebut menjadi “halal” antara satu dengan yang lainnya, dan dinamailah hubungan mereka dengan suami-istri.
Setelah mereka menjadi pasangan suami-istri, maka terdapat hak-hak dan kewajiban masing-masing yang harus dihormati dan dilaksanakan. Sebagaimana seorang istri mempunyai hak dan kewajiban, begitu pula seorang suami. Jika pihak suami ataupun istri melalaikan kewajiban tersebut, maka dalam bahasa fikih dan al-Quran dianggap istri atau suami nusyuzd. Walaupun penerapan kata ini sering digunakan untuk pihak perempuan, akan tetapi juga dapat dipraktekkan untuk pihak lelaki. Dalam al-Qur’an dengan jelas menyebutkan bahwa istilah ini juga digunakan untuk kedua belah pihak, baik suami maupun istri. Hanya perbedaan terdapat dalam menangani pihak yang berbuat nusyuzd, antara laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan. [QS an-Nisa ayat 24 dan ayat 128]
Efek dari Pembahasan Hak dan Kewajiban Suami–Istri
Sebagian merasa khawatir jika pembahasan hak dan kewajiban suami-istri dimunculkan, hal tersebut akan merusak tatanan sebuah keluarga. Dengan mengetahui hak dan kewajibannya, seorang istri akan banyak menuntut dan bermalasan-malasan dengan alasan bukan kewajibannya. Akan muncul para istri yang egois dan sok pintar, para istri yang tidak mematuhi suami dan lain sebagainya. Apakah dampaknya bisa seperti itu?
Di sisi lain, jika tidak dijelaskan, maka yang akan terjadi adalah percampuradukan antara kebaikan dan kewajiban. Karena ketidaktahuan, kewajiban yang seharusnya dilaksanakan malah ditinggalkan. Padahal kewajiban harus lebih diutamakan di atas segalanya. Atau, terjadi penyelewengan terhadap hukum Islam dengan melegimitasi perbuatannya dengan hukum Islam. Walau demikian, kita tidak mengatakan bahwa karena suatu hal bukanlah sebuah kewajiban, lantas kita tidak perlu melakukannya. Contoh kongkritnya ialah masalah izin suami.
Secara hukum fikih, istri wajib meminta izin suami ketika hendak keluar rumah. Walaupun dalam masalah izin suami, terdapat beberapa pengecualian. Namun yang perlu diketahui adalah, sampai di mana masalah izin dapat diketahui, dipahami dan dilaksanakan oleh masyarakat kita, terutama para istrinya? Karena itu tidak perlu resah atas dampak yang akan muncul dari pembahasan masalah ini. Karena pembahasan ini dapat dijadikan sebagai sebuah wacana yang akan menambah wawasan dan membuka cakrawala alam pemikiran kita.
(Euis Dayati MA, sumber, Jurnal Bayan Vol. V1]