Kegagalan Menafsir Mimpi
قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيا إِنَّا كَذلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنينَ[1]
Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu.” Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
وَ كَذلِكَ يَجْتَبيكَ رَبُّكَ وَ يُعَلِّمُكَ مِنْ تَأْويلِ الْأَحاديثِ وَ يُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَ عَلى آلِ يَعْقُوبَ كَما أَتَمَّها عَلى أَبَوَيْكَ مِنْ قَبْلُ إِبْراهيمَ وَ إِسْحاقَ إِنَّ رَبَّكَ عَليمٌ حَكيمٌ[2]
Dan demikianlah Tuhanmu memilihmu (untuk menjadi nabi) dan Dia mengajarkan kepadamu sebagian dari takbir mimpi, serta Dia menyempurnakan nikmat-Nya kepadamu dan kepada keluarga Ya‘qub, sebagaimana Dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada dua orang nenek moyangmu sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Mimpi adalah hal yang akrab bagi semua manusia, semua orang yang dewasa ketika tidur pasti pernah bermimpi. Melihat, mendengar, merasakan berbagai kejadian di alam mimpi.
Keakraban ini membuat banyak manusia penasaran, ingin menguak rahasia dari mimpi-mimpi yang dialami manusia, dalam berbagai bahasa pun banyak bermunculan buku-buku untuk mendedah tafsir dari mimpi. Termasuk dalam bahasa-bahasa tradisional nusantara, dalam bahasa jawa, sunda, bugis, madura, dan banyak bahasa daerah yang lain.
Penafsiran mimpi selain dalam bentuk buku juga disampaikan secara turun-temurun dari nenek moyang, disampaikan dari generasi ke generasi selama ratusan tahun. Disampaikan oleh generasi tua kepada anak-anak muda dan anak-anak mereka. Hal ini diteruskan kepada anak keturunan selanjutnya. Hal ini dilakukan ketika manusia belum memiliki budaya menulis bahkan sampai jaman sekarang.
Orang jawa adalah tipe kelompok masyarakat yang hidup mengalir dengan alam. Mereka memiliki rumusan khusus dalam menjalani hidup, apa-apa yang terjadi selama setahun bahkan bertahun-tahun sebelumnya mereka ingat-ingat, mereka mengambil kejadian yang berulang terjadi dan mengambil pelajaran darinya, hal ini juga mereka lakukan dalam menta’birkan mimpi manusia. Ketika mimpi dikejar ular bagi orang yang belum memiliki pasangan, artinya sedang dikejar-kejar jodoh. Selain contoh ini masih banyak contoh lain, dan ketika kita ambil benang merah, ternyata ta’bir ini hampir keseluruhan hanya memuat penjelasan materiil. Mimpi hanya berhubungan dengan penjelasan yang dibatasi oleh alasan-alasan material duniawi, masalah pasangan, rizki, kemenangan dalam peperangan, kemiskinan dan semacamnya.
Menurut Ayatullah Makarim Syirazi,[3] mimpi semestinya tidak dibatasi pada hal materi duniawi saja jangkauannya, lebih dari itu mimpi adalah sebuah media khusus bagi manusia. Hal yang istimewa, sebuah kondisi yang menghubungkan antara kehidupan duniawi dengan dunia lain, dunia alam ruhani. Beliau menilai tidak bijak jika menta’birkan mimpi hanya dengan penjelasan materi duniawi semata.
Beliau menjelaskan ketika orang mimpi maka pada saat itu jiwa seseorang sedang keluar dari alam fana ini, keluar yang tidak secara total dimana unsur-unsur yang mendukung untuk berlangsungnya hidup seperti jantung yang tetap berdetak, paru-paru yang menghirup 02 masih tetap melakukan tugasnya. Karena alasan ini maka semestinya dalam menta’birkan mimpi harus digunakan alat yang bisa menjangkau makna-makna yang lebih tinggi dari masalah materi semata, alat yang bisa menjangkau alam lain seperti alam ruh dan bahkan alam barzah.
Dalam hal ini agama menjadi tempat yang bisa memberi ruang jawab dan solusi, sehingga bisa menta’birkan mimpi dengan tidak hanya dibatasi dengan alat-alat dan makna materiil semata. Tapi makna-makna yang kadang butuh perenungan panjang dan merumuskan dari ayat-ayat Al Qur’an serta dari Hadits-hadits manusia-manusia suci.
Penta’biran dengan mengandalkan indera semata maka akan menemui banyak kebuntuan. Penta’biran ini akan menjadi dangkal, tidak menjangkau makna detail serta tidak memiliki akses ke hubungan-hubungan internal yang terjadi dalam sesuatu yang sedang dikaji. Penta’biran ini juga bersifat parsial tidak bisa menyeluruh menjangkau makna yang lebih luas dan umum. Pentabiran ini juga hanya bersifat regional, penta’bir hanya memaknai sesuai konteks lingkungan hidup yang dia miliki, tidak bisa menjangkau lingkungan hidup lain yang lebih luas dan juga lebih kompleks, serta tidak mengukur dengan berbagai keterbatasan dan keragaman yang dimiliki di luar konteks lingkungan yang ia ketahui. Pentabiran duniawi ini juga memiliki batasan waktu yang hanya untuk sekarang, tidak bisa menjangan masa lalu atau apalagi masa akan datang.[4]
Ta’bir duniawi juga akhirnya hanya menjelaskan dalam konteks tidak lebih luas dari makan, minum, tidur, bermain, bekerja, syahwat, reproduksi, dan tempat tinggal. Jadi tidak menyinggung nilai moral, spiritual dan sebagainya. Ta’bir ini juga lebih bersifat pribadi dan individualis, andai lebih luas maka hanya menjangkau masalah pasangan dan anak-anak keturunan.
Kesimpulannya, kegagalan penta’biran mimpi dikarenakan menilai mimpi hanya dari kepentingan duniawi semata. Sementara mimpi sendiri sebenarnya adalah kondisi dimana manusia sendang berada dalam dua dunia yang berbeda, dunia materi dan dunia non materi yakni alam ruh. Karena itu dalam menta’birkan mimpi maka semestinya juga menggunakan parameter dan alat yang bisa mengukur dan menjangkau alam non materi yakni dengan konsep yang sudah ditawarkan agama, dengan menggali dari ayat-ayat Al Qur’an dan juga penjelasan dari manusia-manusia suci orang yang memiliki wewenang utuh dalam menjelaskan makna lahiriah dan bathiniah dari Al Qur’an.
[1] Qs Shafat: 105.
[2] Qs Yusuf: 06.
[3] ترجمه قرآن حضرت ایة الله نکارم شیرازی به همراه شرح آیات منتخب ماده “رءیا”
[4] Manusia dan Alam Semesta, Ayatullah Murtadha Muthahari dalam menjelaskan pola hidup materiil.