Kemerdekaan Sebuah Jembatan Emas
Oleh ; Husein Alkaf, MA
“ Janganlah Anda menjadi budak orang lain karena ibumu telah melahirkanmu dalam keadaan merdeka “ ( Imam Ali bin Abi Thalib as)
Dalam buku-buku sejarah bangsa-bangsa dan golongan-golongan dijelaskan bahwa kehidupan sebuah bangsa, pada umumnya, tidak luput dari perbudakan, penindasan dan saling membunuh; yang kuat memaksakan kehendakannya atas yang lemah; para penguasa merebut kebebabasan rakyat dan memperbudak mereka; dan kaum wanita menjadi tumbal hasrat seksual kaum lelaki. Sejarah hitam itu terjadi karena hasrat kekuasaan dan kerakusan yang mendominasi sebagian dari para pelaku sejarah. Potret sejarah semacam ini terkadang disinggung oleh Qur’an sebagai bahan pelajaran bagi umat Islam agar mereka menjauhi perbuatan-perbuatan nista itu.Salah satu nilai penting yang diajarkan oleh Islam adalah membebaskan manusia dari perbudakan. Dalam sebuah pesan Nabi Muhammad saw. yang dibawa oleh seorang sahabatnya kepada penguasa Persia adalah membebaskan manusia dari penghambaan terhadap manusia. Islam membolehkan penghambaan hanya terhadap Sang Pencipta saja, sementara terhadap manusia penghambaan itu dilarang. Salah satu dampak negatif dari penghambaan adalah terkuburnya potensi-potensi individu yang kreatif. Dengan kata lain, dalam suasana hidup yang merdeka dan bebas akan bermunculan gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran yang inovatif. Dengan kemerdekaan, sebuah bangsa akan berkembang dan maju dalam berbagai bidang yang sesuai dengan potensi dan bakat yang berada pada setiap individu masyarakatnya.
Upaya yang dilakukan oleh manusia-manusia yang merdeka; nabi, imam dan pahlawan, untuk memerdekakan umat manusia dari perbudakan seringkali dihadapkan pada penentangan dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan perbudakan demi kesenangan mereka sendiri. Sehingga pada gilirannya, kehidupan para nabi, imam dan pahlawan selalu dalam ancaman, dan tidak sedikit dari mereka yang disiksa dan dibunuh. Semua itu mereka alami demi memerdekakan umat manusia dari penindasan dan perbudakan.
Kemerdekaan adalah anugerah Tuhan yang sangat besar baik dalam tatanan hidup individual maupun sosial. Dengan jiwa yang merdeka manusia dapat menentukan pilihan yang dia inginkan, termasuk dalam menentukan agamanya. Islam meminta umatnya agar memilihnya bukan karena taqlid, tapi karena pilihannya. Hal itu tertuang dalam buku-buku fiqih sekalipun bahwa syarat sahnya taklif adalah akal dan dewasa. Artinya bahwa perbuatan (taklif) akan berdampak (pahala atau siksaan) jika dilakukan dalam keadaan sadar, tanpa tekanan. Terkadang untuk mendapatkan kemerdekaan, seseorang atau sebuah bangsa harus membelinya dengan harga yang mahal; nyawa dan harta. Harga yang mahal itu tidak berarti jika dibandingkan dengan kemerdekaan yang mencerminkan harga diri dan kehormatan.
Dalam studi-studi sosiologis tentang penjajahan, paling tidak terdapat empat ciri hubungan antara yang dijajah dan yang terjajah, yaitu; pembedaan kelas sosial (segregasi sosial), ketergantungan politik dari rakyat terhadap penguasa/penjajah (political subordination), ketergantungan ekonomi terhadap penjajah atau pelayanan sosial yang minim terhadap rakyat (eksploitasi), dan adanya jurang pemisah (ketidakadilan) antara penjajah dengan yang dijajah.
Untuk konteks Indonesia, sebelum merdeka empat kondisi itu benar-benar dirasakan oleh bangsa Indonesia. Kemerdekaan benar-benar sesuatu yang sangat berharga. Segala daya upaya dikerahkan untuk memerdekakan diri dari hubungan subordinatif dengan bangsa yang merasa superior dan eksploitatif. Kata merdeka kemudian menjadi demikian menggelora karena dilandasi oleh suatu semangat perubahan ke arah yang lebih baik. Cita-cita kemerdekaan itu digantungkan setinggi langit agar bangsa yang berikrar ; satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa, bisa lepas dari cengkraman dominasi bangsa lain dan dapat menentukan nasibnya sendiri. Dengan proklamasi kemerdekaan, mereka telah mengakhiri masa yang panjang, tiga ratus lima puluh tahun, dari penjajahan pihak asing. Selama masa itu, bangsa Indonesia mengalami penderitaan yang menyengsarakan. Berkat perjuangan para pahlawannya yang gigih dan pantang menyerah, bangsa Indonesia pada akhirnya memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Proklamasi kemerdekaan merupakan titik puncak dari perjalanan perjuangan mereka dalam menentang penjajahan. Kemerdekaan yang diproklamirkan oleh bangsa Indonesia merupakan tahap awal dan sebagai sumber hukum bagi pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pembentukan negara yang dicetuskan melalui proklamasi tersebut bukanlah tujuan semata-mata, melainkan hanya sebagai alat untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan pembentukan negara. Proklamasi kemerdekaan Indonesia tidak lain dari sarana untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur serta lepas dari belenggu penjajahan bangsa lain. Dalam salah satu pidatonya Bung Karno mengatakan dengan lantang; “ Kemerdekaan adalah jembatan emas yang akan membawa bangsa Indonesia kepada kemakmuran dan kesejahteraan”. Dia menyadari bahwa diperlukan perjalanan yang panjang untuk mewujudkan kemerdekaan politik dalam kehidupan bangsa. Dia juga menyatakan, ” Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita! Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita!” (Soekarno, 1 Juni 1945).
Cita-cita kemerdekaan itu dirumuskan secara gamblang dalam pembukaan konstitusi (Undang-Undang Dasar). Oleh karena itu, refleksi kemerdekaan mestinya membawa segenap elemen bangsa kepada ingatan mengenai cita-cita awal kemerdekaan dan konsensus dasar bangsa ini. Terlebih pada saat ini, dimana kita sementara dikepung oleh semacam energi negatif yang berupaya menggerogoti seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa.
Waktu kini telah berlalu 69 tahun sejak peristiwa proklamasi yang bersejarah itu. Namun, pertanyaan yang terus mengelayut di langit bangsa ini adalah; Apakah bangsa ini sudah sungguh-sungguh merdeka? Atau justru belenggu penjajahan itu hanya berpindah tangan dan beralih bentuk ? Adakah cita-cita kemerdekaan itu sudah terimplementasi didalam kehidupan berbangsa dan sudah merasuk sedemikian rupa didalam seluruh sendi kehidupan bernegara?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mesti dijawab dan diupayakan realisasinya oleh pemerintah dan segenap komponen bangsa melalui momentum peringatan hari kemerdekaan. Memperingati hari kemerdekaan tidak bisa menjadi sekedar ritual dan seremonial kenegaraan saja. Memperingatinya mesti membangkitkan harapan manakala Merah Putih dikibarkan dan lagu Indonesia Raya dikumandangkan. Selama kita masih mau terus berharap, bangkit dari setiap keterpurukan, dan mengisi kemerdekaan dengan kerja keras, niscaya masih ada harapan bagi Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur.