Menteladani Manusia Agung
Oleh : Miqdad Turkan, Lc
“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”
(QS Al-Ahzab 21).
Jika kita mempelajari sejarah kehidupan Rasulullah saw secara mendalam, kita akan temukan bahwa beliau adalah pribadi besar dari semua sisi. Baik apakah dari sisi sebagai pribadi individu, kepala rumah tangga, anggota masyarkat, guru, pemimpin ataukah sebagai panglima perang. Kebesaran ini tentunya sangat erat kaitanya dengan kedekatan beliau kepada Allah SWT. Sebab tidak mungkin seseorang bisa mencapai kebesaran sedemikian sempurna dari semua sisi kehidupan tanpa ada ikatan kuat dengan Sang Yang Maha Besar.
Meskipun sejarah telah menyaksikan banyak tokoh besar dunia, akan tetapi kebesaran mereka sangat terbatas pada sisi tertentu dari kehidupan mereka. Sedang dari sisi yang lain, mereka bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Ada yang besar hanya pada sisi kemampuan intlektualitasnya atau hebat dalam bidang strategi militer atau handal dalam bidang sosial politik, sains dan bidang-bidang tertentu lainnya. Akan tetapi, pada bidang lainnya, dia bukan siapa-siapa. Berapa banyak orang yang genius, akan tetapi penakut, pemberani, tetapi tidak bermoral, berilmu tinggi, tetapi tidak bijak, demikian dan seterusnya.
Lain halnya dengan Rasulullah saw. Beliau adalah manusia besar dari semua sisi. Besar dalam pemikiran dan tindakannya, tinggi dalam ibadah dan sosialnya. Seluruh kehidupannya adalah cermin kebesaran yang tidak bisa dicerna oleh akal manusia biasa. Muhammad saw adalah manusia, tapi bukan seperti manusia. “Muhammadun Basyarun la kalbasyari”. Beliau hidup di tengah masyarakat, bergaul, makan dan minum tak ubahnya manusia lainnya. Akan tetapi, kepribadian dan prilakunya berbeda dengan manusia lainnya. Tidak ada yang bisa memahami hakikat kedalaman pribadi orang seperti Muhammad saw, kecuali penciptanya dan orang yang memiliki kesamaan karakter dengannya. Sungguh maha suci Allah yang telah menceritakan kebesaran nabi-Nya saw dengan firman-Nya: “Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”(1)
Terkait ayat tersebut, Sayid Qutub dalam komentarnya mengatakan: “Ini adalah sebuah kesaksian yang tidak dapat dipahami oleh siapapun selain Allah dan Rasul-Nya, sebab kesaksian tersebut telah keluar dari Allah yang Maha Besar lagi Maha Tinggi, dicatat dalam lemabaran eksistensial dan menetap dalam kepribadiannya. Adalah kesaksian yang terus menggema di tengah umat manusia hingga tanpa batas waktu”(2)
Suatu hari, seorang Yahudi datang kepada Imam Ali bin Abi Talib (as) dan berkata: Ceritakanlah kepadaku tentang akhlak Rasulmu? Beliau menjawab: Bagaimana mungkin aku bisa menceritakan akhlak nabi, sementara Allah telah memberikan kesaksian bahwa beliau adalah agung, Allah berfirman: “Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”(3). Dan ketika salah satu istrinya ditanya tentang akhlak Rasulullah, ia menjawab: “Sungguh akhlak Rasulullah adalah al-Quran itu sendiri”(4)
Kalau saja tidak ada yang mampu menghitung dan menceritakan nikmatnya dunia secara utuh, yang Allah sebutkan sebagai kesenangan yang sedikit (mataun qolil), maka bagaimana mungkin bisa mengungkap pribadi orang yang Allah sebut sebagai pribadi agung (khuluqun adlim)? Ini artinya, bahwa seluruh pena dan imaginasi manusia tumpul untuk mengungkapkan dan membayangkan kebesaran beliau saw. Kesaksian ini mencakup ahklak, karakter dan prilaku Rasulullah saw, termasuk prilakunya terhadap Tuhan dan umatnya.
Anehnya, pujian yang sedemikian agung ini tidak membuat Rasulullah saw berubah sikap. Beliau tetap saja tenang, tidak sombong atau berbangga diri. Padahal secara psikologis, orang yang mendapat pujian atau apresiasi dari orang lain karena suatu tindakan, biasanya akan mengubah prilakunya. Minimal perubahan itu terlihat pada ekspresi wajahnya. Bahkan ada yang lebih ekstrem dari sekedar itu, sombong dan berbangga diri. Berapa banyak tokoh yang kehilangan keseimbangan diri setelah mendapat pujian dari para penguasa atau dari penggemarnya. Sikapnya yang tadinya lembut berubah menjadi congkak, prilakunya yang sopan berubah menjadi sombong, yang tadinya pemaaf menjadi penindas dan seterusnya. Padahal pujian itu hanyalah keluar dari lisan mausia biasa yang serba terbatas.
Lain halnya dengan Rasulullah saw. Ketika mendapat pujian agung dari yang Maha Agung, beliau tetap saja tenang, tidak berubah sikap, prilakunya tetap mulia dan rendah hati (tawaduk) di hadapan siapapun. Sungguh beliau adalah benar-benar layak untuk dipilih sebagai pembawa risalah Ilahiyah: “Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan”(5). Beliau adalah contoh dan teladan dalam berkehidupan. Oleh sebab itu, Allah menyuruh umat untuk menteladaninya saw dalam segala aktifitasnya, baik ucapan maunpun tindakan: “Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS Ahzab 21).
Tidak membedakan status
Dalam kehidupan bermasyarakat, Rasulullah saw tidak membedakan antara kulit putih dan hitam, antara kaya dan miskin, antara tua dan muda. Di mata Allah, semua adalah sama. Standar kemuliaan dan kelebihan, menurutnya terdapat pada keilmuan, ketakwaan dan akhlak. Semakin tinggi keilmuan, ketakwaan dan akhlak seseorang, semakin mulia pula di antara yang lainnya.
Kisah Juwaibir seorang sahabat adalah membuktikan hal tersebut. Dalam sejarah disebutkan; Juwaibir adalah seorang pria yang bertubuh pendek dan miskin. Dia masuk Islam dengan sebaik-baiknya. Suatu hari, Rasulullah memandangi Juwaibir dengan penuh kasihan: “Wahai Juwaibir! Maukah kamu menikah dengan seorang wanita yang akan menjaga kemaluanmu, membantu kehidupan dunia dan akhiratmu? Juwaibir menjawab: Ya Rasulullah, demi ayah dan ibuku, siapakah yang suka denganku. Demi Allah, tiada nasab dan keturunan yang aku banggakan, tiada harta dan ketampanan yang aku miliki, lalu wanita manakah yang mau menikah denganku? Rasulullah menjawab: Wahai Juwaibir! Sesungguhnya, Allah telah merendahkan orang yang dinggap terhormat di Jahiliyah dengan Islam, memuliakan orang yang dianggap hina di Jahiliyah dengan Islam, mengangkat orang yang dianggap rendah di Jahiliyah dengan Islam, gairah dan kebanggaan Jahiliyah terhadap keluarga dan nasab dilenyapkan dengan Islam. Seluruh manusia; yang putih dan yang hitam, yang Qurays, yang Arab dan yang Ajam, semuanya berasal dari Adam dan Adam diciptakan dari tanah. Sesungguhnya, manusia yang paling dicintai Allah adalah yang paling taat, paling berilmu dan paling bertakwa kepda-Nya. Wahai Juwaibir, hari ini, tidak ada seorang muslimpun lebih mulia dari kamu kecuali orang yang lebih bertakwa dan lebih taat kepada Allah.
Kemudian Rasulullah saw berkata: Pergilah kamu ke rumah Ziyad bin Labid, dia adalah tokoh Bani Bayadloh. Katakan kepadanya; Aku adalah utusan Rasulullah kepadamu dan beliau saw berpesan: “Kawinkanlah Juwaibir ini dengan putrimu Dzalfa”. Juwaibir melaksanakan pesan tersebut kepada Ziyad apa adanya. Ziyad menjawab: “Kami tidak mengawinkan putri-putri kami kecuali dengan orang-orang yang sepadan dengan kami dari Anshor. Oleh sebab itu, pergilah kamu wahai Juwaibir! aku akan menemui Rasulullah untuk menyampaikan rasa keberatanku ini kepadanya”.
Juwaibir keluar sambil berkata; “Demi Allah, bukan ini yang diturunkan al-Quran, dan bukan ini pula yang tampak pada kenabian Muhammad saw”.
Perkataan itu didengar oleh Dzalfa putri Ziyad yang sedang berada di dalam kamar, lalu meminta ayahnya untuk menemuinya. Kepada ayahnya ia berkata: Omongan apa yang aku dengar, ketika kamu berdialog dengan Juwaibir? Ayahnya menjawab: Dia mengaku diutus Rasulullah dan berkata; Rasulullah berkata; “Kawinkanlah Juwaibir dengan putrimu Dzalfa”. Sang putri berkata: Demi Allah, Juwaibir tidak akan berbohong terhadap Rasulullah. Kemudian Dzalfa meminta kepada ayahnya agar segera menemui Rasulullah saw. Permintaan itu dikabulkan oleh ayanya. Kepada Rasulullah saw Ziyad berkata: Demi ayah dan ibuku, Juwaibir datang kepadaku dengan membawa surat darimu….dan kami tidak menikah keculai dengan orang-orang yang sepadan dengan kami dari Anshor. Rasulullah saw menjawab: “Wahai Ziyad! Juwaibir adalah seorang mukmin, dan seorang mukmin laki-laki dengan mukmin wanita adalah sepadan, seorang muslim laki-laki dengan muslim wanita adalah sepadan. Oleh karena itu, aku minta kawinkanlah dia (dengan putrimu) dan jangan kamu tolak”.
Ketika Ziyad pulang ke rumah dan menceritakan kejadian tersebut kepada putrinya, dengan tegas putrinya menjawab: “Jika kamu melanggar perintah Rasulullah, maka kamu telah kafir”. Maka keluarlah Ziyad untuk menggandeng tangan Juwaibir dan dipertunjukkan di hadapan kaumnya, lalu dikawinkanlah dengan putrinya sesuai sunnah Allah dan Rasul-Nya, bahkan maharnya pun ditanggung oleh Ziyad”(6).
Pelayan masyarakat:
Rasulullah dikenal sebagai orang yang ramah, suka membari salam kepada siapapun yang ditemuinya termasuk kepada anak kecil sekalipun. Anas bin Malik berkata: “Suatu hari Rasulullah saw meliwati anak-anak (sedang bermain), lalu beliau memberi salam kepada mereka”(7). Asma binti Zaid berkata: “Sungguh nabi pernah melewati para wanita, lalu beliau memberi salam kepada mereka”(8)
Dalam memaparkan pemikiran atau memberi jawaban suatu persoalan, beliau sering menggunakan metode yang berbeda-beda, tergantung siapa yang menjadi lawan bicaranya. Meskipun kandungan dari jawaban yang diberikan sama, namun metode yang dipakai berbeda, sehingga masing-masing tingkatan orang bisa memahaminya dengan baik sesuai kemampuan mereka. Dalam riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw tidak pernah berbicara kepada orang lain berdasarkan kemampuan akalnya, akan tetapi berdasarkan kemampuan akal lawan bicaranya. Barangkali ini adalah salah satu rahasia kenapa Rasulullah saw bersabda: “Kami para nabi diperintahkan untuk berbicara kepada manusia berdasarkan kemampuan akal mereka”(9)
Dalam melayani orang, beliau dikenal sebagai orang yang lembut penuh kasih sayang. Anas mengatakatan: “Rasulullah adalah orang yang lembut, tidak pernah menolak untuk membantu seorang budak laki-laki atau perempuan atau anak kecil yang meminta bantuan untuk membawakan air wudu di waktu subuh yang dingin sekalipun, sehingga bisa membasuh wajah dan kedua lengannya. Tidak seorang pun bertanya kecuali beliau mendengarkannya dan tidak berpaling hingga orang yang bertanya itu pergi meninggalkannya. Tidak seorang pun yang mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan kecuali diterimnya dan tidak akan melepaskan tangannya hingga orang tersebut melepaskanya”(10)
Meskipun beliau seorang pemimpin dan berkedudukan tinggi yang tidak ada tandingannya, namun beliau melayani semua orang dengan penuh kasih sayang tak ubahnya seorang ayah. Seperti inilah sikap Rasulullah terhadap umatnya yang membuktikan bahwa dirinya memiliki ikatan kuat dengan Allah. Sebab berdasarkan rialitas sosial dan akal manusia, sikap tersebut sulit diterima tanpa adanya petunjuk langit. Dari sisi lain, sikap tersebut ternyata sangat strategis sebagai sarana yang membantu keberhasilan Rasulullah saw dalam menyampaikan misi dakwahnya. Orang berakal manakah yang tidak berubah hatinya setelah mendapatkan perlakuan seperti ini? Manusia manakah yang hatinya tidak puas dengan ajaran Muhammad setelah mendapatkan perlakuan penuh kasih sayang yang sedemikian tulus? Sunguh tidak ada yang menolaknya, kecuali orang yang hatinya sakit akibat perbuataan mereka sendiri.
Rendah Hati
Sikap rendah hati atau tawadlu dalam bermuamalah adalah salah satu ajaran Ilahi. Di samping sebagai bentuk prilaku yang baik, tawadlu juga sebagai sarana untuk menyatukan barisan dan menyebarkan cinta kasih di antara umat. Dengan sikap tawadlu, akan muncul rasa saling menghormati dan menghargai, dengan sikap tawadlu rasa sombong akan terkikis.
Di samping Rasulullah menyarankan agar kita berpegang pada prinsip tawadlu dalam bermuamalah, pada saat yang sama beliau saw telah menjalankannya sepanjang hidupnya. Hal itu dapat kita lihat dari lembaran catatan sejarah kehidupan beliau saw.
Ibnu Abbas (ra) berkata: Raslullah saw duduk di atas tanah, makan di atas tanah, mengikat domba, memenuhi undangan seorang budak untuk sekedar makan roti yang terbuat dari gandum kasar”(11). Abu Abdillah as berkata: “Apabila Rasulullah masuk suatu rumah, beliau duduk di tempat yang paling rendah (belakang)..”(12). Aisyah ketika datanya: Apa yang dilakukan nabi ketika waktu kosong? Aisyah menjawab: “Menjahit pakaiannya, mensol sandalnya dan berbuat seperti pria lain yang berbuat terhadap keluarganya”(13). Beliau saw pernah berkata: “Lima hal, tidak akan aku tinggalkan hingga mati: makan di atas tanah bersama para budak, menaiki keledai dalam keadaan menghadap, memerah susu kambing dengan tanganku sendiri, memakai pakaian dari bulu domba, memberi salam kepada anak-anak kecil, agar hal ini menjadi pelajaran setelahku”(14)
Meskipun beliau sebagai pemimpin umat, akan tetapi penampilannya tak ubahnya manusia biasa, tanpa atribut, tanpa pakaian kebesaran dan hiasan. Melayani orang-orang dekatnya maupun orang jauh tanpa ada beda, bahkan terhadap para delegasi pemerintah sekalipun. Semua yang keluar darinya terlihat alami dan apa adanya tanpa rekayasa.
Imam Shodiq as berkata: “Rasulullah saw pernah bersabda: Tuhanku telah menyuruhku untuk menjalankan tujuh hal; mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, memperbanyak mengucap “la haula wala Quwata Illa billah” (tiada daya dan upaya kecuali dengan Allah), menyambung tali persaudaraan meskipun telah memutus hubungan denganku, melihat orang yang kedudukannya lebih rendah dariku dan tidak boleh melihat orang yang lebih tinggi dariku, jangan sampai berbuat cela di hadapan Allah, berkata benar meskipun pahit, dan tidak meminta sesuatu kepada seorangpun”(15)
Rasulullah adalah orang yang tidak suka dipanggil dengan menyebut gelar (laqob) sama sekali. Pernah datang kepadanya beberapa utusan dari Bani Amir, ketika mereka duduk di hadapan beliau, mereka berkata: Kamu adalah tuan kami (sayiduna). Beliau menjawab: Sebutan tuan itu adalah untuk Allah (Assayid Allah). Mereka berkata: Kamu adalah orang yang paling mulia dan paling agung di antara kami. Beliau saw menjawab: berkatalah sesuka kalian dan jangan sampai syetan menyeretmu (dalam dosa)”(16)
Pemaaf dan tidak mudah marah:
Rasulullah saw dikenal sebagai orang yang pemaaf dan tidak mudah marah, kecuali apabila melihat kebenaran telah diabaikan. Saat itu, kemarahannya tidak akan pernah reda hingga kebatilan tersebut binasa. Selain dalam hal-hal tersebut, beliau sangat toleran dan pemaaf, baik kepada orang yang berbuat jahat kepadanya ataupun terhadap orang-orang munafik. Meskipun beliau bisa saja melakukan pembalasan, namun hal itu tidak dilakukan olehnya. Beliau adalah seorang pemimpin yang ditaati, apabila menyuruh orang untuk membunuh orang yang menyakitinya, maka ratusan orang akan segera bergegas menjalankan perintah tersebut. Akan tetapi, nabi adalah seorang pemaaf dan bukan pendendam.
Anas bin Malik berkata: Aku telah berkhidmat (membantu) kepada nabi selama dua puluh tahun, beliau tidak pernah menegurku terhadap sesuatu yang aku jalankan, kenapa kamu lakukan? Atau terhadap sesuatu yang tidak aku lakukan, lalu berkata; yang ini lakukanlah?(17)
Anas juga berkata: bertahun-tahun aku membantu Rasulullah saw, beliau sama sekali tidak pernah marah kepadaku, atau memukulku, atau membentakku, atau memalingkan wajahnya dariku, atau mencercaku tatkala aku tidak segera mengerjakan sebuah pekerjaan, dan seandainya keluarganya mencercaku meskipun sedikit, beliau segera berkata: biarkanlah..”(18)
Salah satu sikap pemaafnya yang paling mencolok adalah ketika Fathu Makkah. Meskipun beliau telah mendaptkan siksaan dan perlawanan dari kaum Qurays yang sangat keras selama berdakwah, akan tetapi, setalah Fathu Makkah beliau berdiri di pintu Kabah dan berseru:
“Wahai segenap kaum Qurays, apa yang akan kalian katakan? Apa yang sedang kalian pikirkan tentang apa yang akan aku lakukan terhadap kalian? Mereka menjawab: “Kebaikan…kamu adalah saudara yang baik dan putra dari saudara yang baik. Lalu Rasulullah saw berkata: “Aku akan berkata seperti saudaraku Yusuf yang berkata; “Pada hari Ini tak ada cercaan terhadap kamu, Mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan dia adalah Maha Penyayang diantara para penyayang”(19). Oleh karena itu, pergilah kalian, kalian adalah (thulaqo) orang-orang bebas”(20).
Jabir bin Abdillah (ra) bercerita: Di suatu tempat, aku sedang bersama Rasulullah saw, kami temukan sebuah pohon yang rindang dan Rasulullah kami tinggalkan di sana untuk beristirahat. Tiba-tiba seorang musyrik datang mendekatinya, sedang pedang Rasulullah digantungkan di atas pohon. Orang musyrik itu segara mengambilnya dan berkata: Sekarang kamu takut kepadaku? Rasulullah saw menjawab: Tidak! Orang itu berkata: Lalu siapa yang akan menghalangi aku untuk membunuhmu? Rasulullah menjawab: Allah. Maka terjatuhlah pedang itu dari tangannya. Rasulullah segera mengambil pedang tersebut dan balik berkata: Siapa yang akan menghalangi aku untuk membunuhmu? Orang itu menjawab: Jadilah kamu orang baik yang menyelamatkan. Rasulullah menjawab: Apakah kamu akan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah? Orang itu menjawab: Tidak, akan tetapi aku berjanji tidak akan memerangimu dan tidak akan bergabung bersama orang yang memerangimu. Lalu Rasulullah saw melepaskannya. Orang musyrik itu kemudian pergi menemui sahabat-sahabatnya sambil berkata: Aku baru saja datang dari orang yang paling baik”(21)
Ini adalah sikap pemaaf yang tidak ada tandingannya dalam sejarah. Memaafkan musuh-musuhnya yang telah memeranginya dan membiarkan mereka pergi, padahal beliau mampu melakukan pembalasan. Sungguh ini adalah benar-benar akhlak seorang nabi yang mulia.
Tegar menghadapi tantangan
Dalam berdakwh, beliau senantiasa mendapatkan berbagai tantangan dan tekanan. Orang-orang Qurays tidak pernah membiarkan beliau bebas melakukan reformasi pemikiran dan akidah. Tiga belas tahun lebih Rasul bersama masyarakat, berbagai hinaan, tuduhan dan siksaan serta pembaikotan telah beliau hadapi dengan tegar. Tekanan tersebut bukan hanya diarahkan pada pribadi nabi saja, akan tetapi juga terhadap sahabat-sahabatnya. Beliau selalu menekankan kepada mereka agar tetap tabah dan sabar hingga mereka bisa melewati semua tantangan dan tekanan tersebut. Bagaimana Rasulullah membangkitkan semangat keluarga Yasir agar tetap bersabar terhadap siksaan, sambil beliau bekata: “Bersabarlah wahai keluarga Yasir, sunguh tempatmu adalah surga”.
Beliau juga mencontohkan keadaan orang-orang yang bersabar di jalan kebenaran kepada sahabat-sahabatnya, dengan mengatakan: “Sungguh telah ada orang-orang sebelum kalian yang dikelupas daging dan ototnya, namun hal itu tidak membuatnya berpaling dari agamanya, gergaji ditaruh dikepalanya hingga terbelah menjadi dua, namun tidak membuatnya berpaling dari agamanya hingga Allah memberikan kemenangan. Sehingga rombongan yang berjalan dari Shona hingga Hadramaut dalam keadaan aman, tidak takut kecuali kepada Allah, dan kambing (yang digembalakan) aman dari terkaman srigala, namun kalian adalah orang-orang yang tergesa”(22)
Ketika Abu Talib pamannya yang merupakan sandaran utama dalam dakwah ditekan oleh Qurays, dan ketika berita itu disampaikan kepadanya, dengan tegas beliau saw menjawab: “Wahai paman, andai saja mereka menaruh matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan ini, maka aku tidak akan meninggalkannya hingga Allah memenangkannya atau aku binasa di dalamnya”
Bahkan ketika pamannya Abu Talib dan istrinya Khodijah meningal dunia yang kemudian membuat beliau bersedih, beliau tetap saja tidak kendor dalam berdakwah. Semua dihadapinya dengan sabar dan berdoa kepada Allah dengan khusuk: “Ya Allah, aku keluhkan kepada-Mu akan lemahnya kekutanku dan sedikitnya pendukungku serta rasa maluku di hadapan semua orang…Wahai yang Maha Kasih di antara yang mengasihi, Engkau adalah Tuhan pembela orang-orang yang tertindas dan Engkau adalah Tuhanku, kepada siapakah aku akan Engkau titipkan? Kepada orang jauh yang memusuhi aku ataukah kepada musuh yang akan mengusai urusanku? Tapi selama Engaku tidak murka kepadaku, aku tidak akan peduli, namun kasih-Mu telah meliputi diriku….”(23)
Ini hanyalah contoh sebagian kecil dari keagungan prilaku Rasulullah saw yang beliau tampilkan. Dan keagungan ini tentu tidaklah muncul begitu saja, akan tetapi lebih dikarenakan kedekatan beliau kepada yang Maha Agung: “Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. Maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hambaNya (Muhammad) apa yang Telah Allah wahyukan”(24). Dan semua prilaku agung yang beliau tampikan ini karena semata-mata ketaatan kepada sang pemilik keagungan yang hakiki: “Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”(25)
Oleh sebab itu, Rasulullah adalah cahaya Ilahi yang menerangi kehidupan, rahmat Allah yang meliputi alam semesta dan kekasih Allah yang melayani umat. Oleh sebab itu, siapapun yang ingin hidup dalam cahaya, tenang dan tentram, dicintai rakyat dan Allah, hendaknya menteladani Rasulullah saw: “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”(26).
Wallahu alam bisshowab
Catatan kaki:
1- QS Al-Qolam 3
2- Fidzilal al-Quran. Syaid Qutub tafsir surah al-Qolam
3- Al-Fahrurrazi tafsir surah al-Qolam
4- al-Mahajjat al-Baidlok juz 4 hlm 120. Faidz al-Kasyani
5- QS al-Anam 124
6- Furu al-Kafi juz 5 kitab an-Nikah hlm 340
7- Makarim al-Akhlak 16
8- Makarim al-Akhlak hlm 16
9- Arrasul juz 1 hlm 71 dinukil dari Ibnu Nuaim dalam kitab ad-Dalail
10- Bihar al-Anwar juz 16 hlm 222
11- Bihar al-Anwar juz 16 hlm 240
12- Bihar al-Anwar juz 16 hlm 240
13- Makarim al-Akhlak hlm 16
14- Bihar al-Anwar juz 16 hlm 215 riwayat dari Imam Baqir dan Imam Shodiq as
15- Sunan Annabi hlm 89
16- Akhlak nabi wa adabihi
17- Akhlak an-nabi wa adabuhu hlm 26
18- Ibid hlm 25
19- Qs Yusuf 92
20- Bihar al-Anwar juz 21 hlm 422
21- Riyadlu as-Sholihin hlm 23
22- al-Bihar juz 18 hlm 156
23- al-Wafa juz 2 hlm 212
24- QS Annajm 8-10
25- QS al-Anam 162
26- Ali Imran 72