Sifat Allah itu Ketentuan dari-Nya atau Manusia Bisa Mensifati-Nya
Ada dua pendapat terkait pensifatan untuk Allah Swt.
Kelompok Pertama Ada kelompok yang meyakini bahwa sifat dan nama Allah itu sudah pasti, sudah tidak bisa diganggu gugat, sehingga manusia dan jin atau makhluk lainnya tidak bisa dan tidak akan mampu mensifati-Nya sampai kapan pun. Manusia hanya berhak menyebut Allah dalam nama dan sifat hanya sesuai yang sudah diajarkan oleh-Nya, sama sekali tidak memiliki hak dan kedudukan untuk mencipta sebuah nama dan sifat dalam rangka mensifati atau menamai-Nya. Penamaan dan pensifatan ilahi hanya berdasarkan pada ketentuan syariat saja, menamai dan mensifati dengan nama dan sifat yang diijinkan saja tidak kurang dan tidak lebih.
Seperti pada surat Al-Ikhlas:
Katakanlah: “Dia-lah Allah Yang Maha Esa.
Surat Alfatihah:
Menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Allah Tuhan semesta alam.
Jadi mensifati hanya seperti sifat-sifat ini: Ahad, Shamad, Penyayang, Pengasih, Pemberi petunjuk, Penguasa Semesta Alam, Maha Penolong, Maha Pembantu, Maha Kuasa, Abadi, Maha Suci, Maha Kuat, Maha Mampu, Maha Pemberi Petunjuk dll, merupakan nama dan contoh sifat-sifat Allah Swt.
Kelompok kedua meyakini bahwa sifat dan nama Allah tidaklah sebuah ketentuan terbatas, sehingga manusia dan jin atau makhluk yang lain bisa dan boleh menamai dan mensifati Allah dengan nama atau sifat yang secara jelas tidak disebutkan dalam kitab suci Al-Quran atau pun dalam hadis baik hadis Nabi Saw maupun hadis dari imam Maksum As asalkan sifat dan nama itu tidak mengandung nilai negatif dan kekurangan, mengandung nilai kesempurnaan paripurna, tidak mengandungi keterbatasan.[1]
Dengan memperhatikan bahwa sifat dan nama ini harus kosong dari kekurangan dan semua hal negatif serta tidak memiliki unsur keterbatasan maka jelas bahwa akal memiliki peluang untuk membuat nama atau sifat dengan persyaratan yang sudah disebutkan sebelumnya. Jadi disini bisa dinyatakan bahwa tidak ada dalil logis yang bisa mendukung bahwa nama dan sifat Allah adalah hanya sebuah ketentuan ilahiah saja. Selain menggunakan dalil akli ini, para pendukung pendapat ini juga memaparkan dalil naqli dari Al-Quran, seperti ayat berikut ini:
وَ لِلَّهِ الْأَسْماءُ الْحُسْنى فَادْعُوهُ بِها وَ ذَرُوا الَّذينَ يُلْحِدُونَ في أَسْمائِهِ سَيُجْزَوْنَ ما كانُوا يَعْمَلُونَ
Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.[2]
Dengan bersandar pada ayat diatas kata (ilhad) pada (يُلْحِدُونَ في أَسْمائِهِ) bahwa manusia diperintahkan agar menyebut Allah Swt hanya dengan nama dan sifat yang baik saja(الْأَسْماءُ الْحُسْنى). Bahwa semua asma baik hanyalah milik Allah Swt. Sebagaimana bahwa segala pujian juga merupakan hanya miliki Allah Swt semata (اَلْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ). Dengan beberapa dalil ini maka kelompok pendukung pandangan kedua merasa mantab dengan keyakinan kedua, bahwa Allah bisa dan boleh disifati dan dinamai walau dengan nama atau sifat yang tidak secara tegas tertera dalam Quran dan hadis Nabi atau hadis dari Maksumin As.
Salah satu pendukung padangan ini adalah mufasir besar, penulis tafsir Al-Mizan, Alamah Thabathabai.[3]
Dalam riwayat juga ada penjelasan dari Imam Musa Al Kadzim, terkait diperbolehkannya menamai dan mensifati Allah Swt diluar dari nama dan sifat yang sudah ditentukan dalam Quran,
ان الله اعلي و اجل و اعظم من ان يبلغ كنه صفته فصفوه بما وصف به نفسه و كفوا عما سوى ذالك
Sesungguhnya Allah lebih tinggi, lebih atas kedudukannya, dan lebih besar dari apa apa yang disifatkan kepada-Nya, jadi sifatilah Dia dengan sifat-sifat yang sudah ditetapkan-Nya dan menghindari pensifatan dengan sifat-sifat selain itu.
Dengan adanya beberapa riwayat senada dengan riwayat diatas, para peneliti ahli ilmu kalam memilih untuk lebih berhati-hati, walau dalil aqli yang kuat bahwa pensifatan kepada-Nya tidak ditemukan demi mengimbangi dalil aqli kelompok pendukung padangan yang memperbolehkan pensifatan kepada-Nya. Tapi setidaknya demi kehati-hatian maka sebaiknya hanya menggunakan nama dan sifat-sifat yang sudah jelas terdapat dalam Quran dan riwayat baik hadis Nabi maupun hadis dari Imam Maksum As.
[1] Kalam Islami, Muhammad Saidi Mehr, Jild 1,
[2] Al-Baqarah: 180.
[3] Al-Mizan, Juz 8, hal 375.