Kenabian: Eksistensi dan Instrumen Pengetahuannya
Fardiana Fikria Qurany
Kenabian merupakan ajaran yang dikenal di dalam agama-agama yang popular disebut agama samawi, suatu rumpun ajaran yang terlingkup dalam ajaran semitik, seperti Yahudi, Kristen dan Islam. Lantaran manusia tak dapat secara langsung berhubungan dengan Tuhan dan mengerti petunjukNya, maka diutuslah seorang manusia dengan membawa ajaran Tuhan yang disampaikan melalui malaikatNya, dan manusia tersebut disebut “Nabi”.
Kata “Nabi” dalam Bahasa Arab memiliki akar dari kata ‘na ba wa’ atau ‘na ba ya’ yang memiliki arti penyampai. Secara bahasa, Nabi bisa berarti pembawa berita, karena seorang nabi adalah pembawa berita dari langit, juga bisa berarti “naik” dan “tinggi” karena seorang nabi memiliki kedudukan yang tinggi di hadapan Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa seorang nabi bukanlah manusia pada umumnya. Secara terminologi, istilah nabi disematkan kepada seseorang yang membawa dan menyampaikan pesan Tuhan kepada masyarakat. Menurut Fazlur Rahman, urgensitas nabi itu dikarenakan dua hal. Pertama, kasih sayang Tuhan dan kedua, kurangnya pemahaman manusia akan persepsi etisnya.
Soal kenabian menarik untuk ditarik pada sisi filosofis, di samping posisi diskursusnya dalam ranah teologis. Yakni pada sisi hubungan pengetahuan seorang manusia-nabi dengan ajaran Tuhan yang menyimpan makna-makna agung, dan tentu memiliki nilai abstraksi sehingga dapat diduga kuat tak akan mungkin terjangkau oleh nalar biasa, oleh sebab itu hanya manusia khusus yang dapat menerimanya.
Untuk itu, secara filosofis ada dua hal yang dapat dipertanyakan yaitu, (1) mengapa manusia membutuhkan sosok nabi di alam ini? Bukankah manusia sudah diberikan akal sehingga cukup dan tidak membutuhkan apapun lagi? (2) pertanyaan yang dikhususkan kepada sosok nabi itu sendiri yaitu, untuk memperoleh pengetahuan akal yang bagaimana yang dimiliki oleh para Nabi sehingga mampu mengerti pesan-pesan yang disampaikan oleh Tuhan melalui melaikatNya?
Urgensi Eksistensi Nabi
Mengapa kita membutuhkan nabi? Sepanjang sejarah kehidupan manusia setiap pemikiran terus bertumbuh dan bahkan ia tumbuh justru karena terjadi dialektika, falsifikasi dan kritik. Artinya peradaban manusia selalu dalam keadaan proses yang nilai kebenarannya tak pernah final. Pertanyaannya? Adakah kebenaran final tersebut? Jika tidak ada, maka sesungguhnya tidak ada kebenaran itu sendiri. Dan itu berarti apa yang diperjuangkan oleh setiap manusia bukan untuk mencari kebenaran tapi untuk melegitimasi, menguasai dan menghegemoni.
Maka kebenaran mutlak tersebut pasti adanya, justru karena kepastiannya ia tidak mungkin lahir dari pikiran manusia yang selalu dalam proses mencari kebenaran itu sendiri. Tanpa kebenaran yang pasti jiwa manusia akan selalu dalam kegoncangan, lantaran karakter fitrah jiwa manusia adalah kepastian, yakni kehendak untuk meyakini yang pasti sebagai kebenaran. Manusia selalu mencari kebenaran justru karena ingin mengakhiri kegoncangan jiwanya, dan ingin menyempurnakan dirinya, itulah kenyataan ontologis diri manusia. Maka urgensitas kenabian sebagai pembawa risalah ilahi menemukan ruang tepat di lubuk sanubari manusi dan tingkat rasionalitas yang dimilikinya.
Maka, nabi adalah washilah bagi tersampaikannya risalah ilahi (wahyu) kepada seluruh umat manusia mengenai hakikat kenyataan riil alam semesta. Secara logis, jika wahyu berasal dari Tuhan sebagai penguasa, pencipta, sumber wujud bagi alam semesta itu sendiri maka mustahil salah, karena benar dan salah adalah suatu kategori penilaian mengenai kesesuaian antara konsep dan realita, dan penilaian itu hanya mungkin karena adanya jarak (ruang-dimensi) antara konsep (realitas batin/jiwa) dan realitas eksternal yang independen (alam). Sementara ‘pikiran’ dan ‘kehendak’ Tuhan tak berjarak dengan makhlukNya. KebesaranNya meliputi segalanya.
Secara doktrinal, sebagai pembawa risalah, para Nabi dijamin kema’shumannya oleh Tuhan. Hal ini adalah logis belaka guna keberlangsungan nilai-nilai risalah itu sendiri. Karena sekali nabi berbuat salah, maka tak ada lagi jaminan bahwa risalah atau nabi sendiri sebagai kebenaran mutlak di alam sejarah ini. Maka mesti kita dapati perilaku kenabian selalu mencerminkan nilai-nilai kebaikan dan tak satupun ada sisi keburukannya, meskipun sebagai manusia nabi juga memiliki kelemahan-kelemahan, keadaan-keadaan yang lazim menimpa manusia pada umumnya.
Maka, nabi yang membawa risalah sebagai rahmat bagi semesta alam, membawa manusia kepada kebenaran hakiki, mengeluarkannya dari kegoncangan dan kegelapan jiwa pada cahaya, ia sendiri sebagai figur, tokoh dan sosok juga merupakan rahmat itu sendiri.
Intuisi sebagai Epistemologi Kenabian
Sejak masa filosof muslim awal seperti al-Farabi berusaha untuk membangun argumentasi dan membuktikan urgensitas kenabian. Menurut al-Farabi, kita tidak bisa menyamakan posisi nabi dengan filosof karena berbeda pada proses memperoleh pengetahuannya. Seorang filosof bisa memperoleh pengetahuan melalui dua cara yaitu, akal-penalaran, imajinasi dan intuisi. Dengan dua cara ini, mereka akan berhubungan dengan ‘aql al-fa’al atau istilah lain yang dikenal sebagai Jibril. Cara kedua yaitu, dengan intuisi, hanyalah para nabi yang bisa menempuh jalan tersebut. Dengan demikian, filosof seperti al-Farabi tidak menolak akan urgensitas kenabian meski setiap manusia sudah dikaruniai akal.
Nilai kesucian wahyu yang memiliki tingkat kebenaran maksimal, tentu saja harus terus dalam keadaan yang tetap dan ajeg hingga merasuk mendarah daging pada sisi nabi. Maka jiwa yang menerimanya yaitu para Nabi pun mesti memiliki kesiapan dan keselarasan dengan ‘beban’ yang akan diterimanya. Dengan begitu, jiwa para Nabi adalah jiwa yang suci karena disucikan langsung oleh Tuhan. Dengan tingkat kesucian yang cukup tinggi, maka akal kenabian pun memiliki nilai maksimal untuk menerima pengetahuan ketuhanan (wahyu), dalam konteks ini para filosof menyebutnya al’aqlul mustafad.
Dengan demikian, meskipun manusia biasa memiliki potensialitas untuk memperoleh pengetahuan melalui intuisi, akan tetapi tidak akan pernah mencapai derajat kenabian karena tingkat kesucian manusia biasa tidak sampai pada tingkat kesucian para nabi, sehingga pancaran yang dihasilkan dari intuisinya pun tentu akan berbeda. Wallahu ‘alam bishawab.