Syariat, Thariqat, dan Hakikat (1)
Salah satu pembahasan kunci dalam ‘irfan Islam adalah adalah pembahasan tentang syariat, thariqat, dan hakikat. Pembahasan ini dari pelbagai sisi perlu diperhatikan dan diteliti. Sebab, pandangan ‘urafa dari agama akan menjadi jelas dan juga hubungan ‘irfan ‘amali dan nadhari satu sama lain, dan relasi keduanya dengan agama serta kedudukannya dalam Islam pun menjadi jelas, dan dari sisi asal muasal ‘irfan Islam juga berhubungan, begitu pula pembahasan setelahnya tentang barometer ‘irfan Islam itu memiliki hubungan yang sangat kuat. Dan secara umum ia merupakan pembahasan yang penting yang dapat menetapkan identitas islami ‘irfan Islam.
Dalam pandangan ‘Urafa Muslim, agama dalam maknanya yang umum mencakup tiga bagian:
Pertama, sekumpulan hukum dan adab-adab Islam yang terdapat dalam perintah-perintah fiqih dan akhlak yang itu disebut dengan ‘syariat’.
Kedua, masalah-masalah suluk Islam di mana di dalamnya terdapat perjalanan dari satu maqam ke maqam yang lain dan taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah), dan pada akhirnya sampai kepada maqam ‘indallah, hal ini disebut dengan thariqat.
Ketiga, pembahasan tentang keberadaan; di mana di dalamnya hakikat keberadaan dan sistem struktur maujudat (makhluk) dijelaskan, dan ini disebut dengan ‘hakikat’.
Dalam pandangan ‘urafa, tiga bagian agama ini bukanlah tiga bagian yang terpisah, tetapi masing-masing berhubungan secara vertikal dan membentuk jenjang-jenjang dan tahapan-tahapan agama. Oleh karena itu, hubungan tiga bidang agama ini dalam ‘irfan Islam adalah hubungan yang bersifat dhahir dan batin. Yakni, syariat adalah dhahir dan thariqat adalah batinnya. Begitu juga thariqat adalah dhahir hakikat dan hakikat adalah batin thariqat.
Oleh karena itu, bila kita melalui jenjang-jenjang agama, maka kita temukan bahwa permulaan agama adalah syariat dan batinnya adalah thariqat, dan batin dari batinnya adalah hakikat. Sehubungan dengan hal ini, tiga tahapan ini disebut dengan qasyr (kulit), lubb (inti), dan lubb al lubb (intinya inti). Terkadang juga dalam penjelasan bentuk hubungan syariat, thariqat, dan hakikat digunakan ungkapan muqaddimah, dan dzu al muqaddimah. Yakni, komitmen terhadap syariat merupakan mukadimah untuk sampai kepada maqam thariqat, dan thariqat merupakan mukadimah untuk sampai ke hakikat.
Pandangan ‘irfan ini berkaitan dengan agama dengan pelbagai kejeliannya, di antara sebagian kelompok-kelompok rendahan ‘irfan yang sebagian para peneliti menyebutnya sebagai ‘urafa dengan label “orang-orang sufi yang bodoh” menjadi penyebab munculnya syubhah-syubhah yang batil dan penyimpangan-penyimpangan yang nyata dan sangat berbahaya.
Mereka berpikir bahwa bila memang hubungan antara syariat, thariqat, dan hakikat itu tak ubahnya hubungan seperti muqaddimah dan dzil muqaddimah, tiga tahapan ini adalah tahapan dan jenjang vertikal agama, maka saat sampai pada dzil muqaddimah dan sampai kepada jenjang yang lebih tinggi, maka tidak perlu lagi kepada jenjang di bawahnya. Untuk menjelaskan pemahaman dan kesimpulan yang salah ini, mereka mengatakan, “Setiap jenjang bagi jenjang yang lebih tinggi itu seperti tangga, di mana setelah naik tidak perlu lagi kepadanya.”
Oleh karena itu, seseorang yang telah sampai kepada hakikat, dia tidak perlu lagi menjaga hukum-hukum syariat dan memerhatikan adab-adab thariqat. Tetapi, keyakinan yang dipegang teguh oleh para ‘urafa yang benar adalah bahwa meskipun hubungan antara syariat dan thariqat serta hakikat adalah hubungan dalam bentuk dhahir dan batin, tetapi setiap yang dhahir meskipun ia merupakan mukadimah untuk sampai kepada yang batin, tetapi ia menjaga yang batin juga. Yakni, ketika manusia dengan memanfaatkan syariat ia mencapai maqam thariqat, tidak hanya pada dasar masuk kepada thariqat melalui syariat ia memanfaatkannya, tetapi pun untuk menjaga maqam thariqatnya ia harus tetap menjaga maqam syariat. Dengan penjelasan yang lain, bila syariat itu merupakan kulit, maka batin dan sarinya adalah thariqat. Sehingga demikian ia selamat dari penyimpangan.
Begitu juga seperti hubungan antara syariat, thariqat, dan hakikat. jadi, bila memang pandangan yang seperti ini yang kita perhatikan, kita akan menerima bahwa seorang ‘arif yang sempurna yang meletakkan kakinya di shirath al mustaqim (jalan yang lurus) adalah seseorang yang memerhatikan seluruh jenjang, bahkan saat ia sampai kepada hakikat, ia tidak akan pernah meninggalkan jenjang-jenjang dan tahapan-tahapan sebelumnya. Sebab, ia harus menjaga syariat dan thariqatnya sehingga keberadaannya di maqam yang hakiki dapat dijaganya.
Oleh karena itu, bila seseorang telah sampai thariqat lalu ia mengabaikan adab-adab syariat, maka keadaan-keadaan thariqatnya akan binasa dan dalam program-program suluknya, ia hanya mengikuti hawa nafsunya. Dan bila seseorang setelah menemukan hakikat ia meninggalkan syariat dan thariqat, tidak jarang ia terperangkap dalam kekufuran.
Muhaqqiq Kasyani dalam Ishthilahat as Sufiyah sehubungan dengan hal ini mengatakan, “Setiap ilmu dhahir yang ilmu batin merupakan saripatinya itu mampu menjaga dari kerusakan dan kehancuran, sebagaimana syariat terkait dengan thariqat, dan thariqat terkait dengan hakikat seperti seseorang yang keadaan dan thariqatnya itu dijaga dengan syariat. Bila seseorang tidak menjaga keadaan dan thariqatnya dengan syariat, maka keadaannya akan binasa dan thariqatnya adalah hawa nafsu dan was-wasnya. Dan bila seseorang melalui jalan thariqat ia tidak sampai kepada hakikat dan hakikat itu tidak dijaganya dengan thariqat, maka hakikatnya akan binasa dan ia akan terseret dalam kekufuran dan kemunafikan.”
Muhammad ‘Arif