Tuhan dan Dunia
Tuhan merupakan istilah atau nama yang disematkan pada dzat yang diyakini keberadaanNya. Sebagai dzat, Dia bukanlah nama, melainkan realitas yang nyata nan agung. DzatNya hanya mungkin untuk diyakini keberadaannya tanpa diketahui “apakah ia”. Hal ini lantaran tidak ada pembuktian primer (empiris) yang dapat menjangkau dzatNya. Di samping itu juga karena pandangan empiris hanya mungkin bagi suatu wujud yang material yang terbatas dengan wujud-wujud yang lain.
Sementara Dia diyakini tak memiliki batasan pada diriNya, sehingga tak bisa diasumsikan sebagai “sesuatu” yang apat dipahami esensinya. Ayat suci secara konsisten menegaskan diriNya sebagai wujud tunggal yang mengatasi segala wujud. Bahwa tidak ada satu pun (sesuatu) yang sama denganNya, “laisa kamistlihi syaiun”, pernyataan ini adalah logis belaka lantaran Ia bukanlah sesuatu. Di ayat yang lain ditegaskan bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu, “Allahu Kholiqu Kulla Syaiin”, dimana Dia, Allah, mesti dikeluarkan dari cakupan sebagai sesuatu. Maka pemahaman tentangNya hanya mungkin melalui Nama-Nama yang diwahyukanNya sendiri, Dia sebagai Maha Pengasih (Ar Rahman), Maha Penyayang (Ar Rahim), Maka Menguasai (Al Malik) dan Nama-Nama lainnya.
Dalam konsepsi teologis Islam, umumnya dibedakan antara dzat dan nama, sementara dzat dipahami dengam sifat-sifat yang pasti padaNya, Dia yang Maha Ada, Maha Hidup, Maha Berilmu, dan juga mengeluarkan sifat-sifat yang mustahil padaNya, seperti tiada, kebodohan dan kematian. Namun demikian, pembedaan antara dzat (esensi) dengan namaNya, semata merupakan suatu pemahaman konseptual, sementara secara ontologis eksistensial, Nama dan sifat telah secara eksistensial menyatu dengan dzatNya.
Dualisasi Tuhan dan Dunia serta Kebuntuannya
Dunia (alam) secara definitif dimengerti sebagai ‘yang selain diriNya’ (Kullu ma siwallah). Dengan berpangku pada suatu kesadaran filosofis bahwa hanya Dialah yang hakiki sebagai kenyataan yang riil, maka dunia tak pernah memiliki nilai hakiki pada dirinya yang terpisah dengan dzatNya, maka dunia dalam pandangan Islam dimengerti sebagai tanda (ayat) belaka atas WujudNya. Sehingga apapun yang tampak dari fenomena-fenomena di dunia adalah selalu merupakan derivasi dari nama-namaNya. Kekuasaan adalah derivasi dari namaNya sebagai al Malik, ilmu pengetahuan adalah derivasi dari namaNya sebagai al ‘alim, kasih-sayang pun bagian dari derivasi namaNya sebagai ar Rahman – ar Rahim.
Dunia dengan demikian adalah jalan bagi jiwa manusia untuk mengenal hakikat realitas yakni DzatNya yang terelaborasi melalui Nama-NamaNya. Maka secara logis, jika suatu pandangan mengenai dunia berhenti pada apa yang tampak dari fenomena duniawi belaka (empiris-positivistik) tanpa mengaitkannya pada sumber derivasi ontologis akan hakikat semesta yakni dzat dan namaNya, maka pandangan tersebut berimplikasi pada dua kemungkinan: pertama, meyakini bahwa Tuhan dan alam adalah wujud yang terpisah sama sekali atau bahwa hanya dunia yang hakiki, dan Tuhan hanyalah imajinasi manusia belaka.
Segi kemungkinan yang pertama, berposisi dikotomik-dualistik. Pandangan ini akan sulit menjawab bagaimana dunia ini ada (being) dan menjadi (becoming). Keberadaan dunia dengan segala pluralitasnya harus diandaikan memiliki satu kesatuan karakteristik yang menjadikannya sama sebagai ‘dunia’. Jika dikatakan bahwa asas dunia adalah materi, dimana segalanya adalah modus dan bentuk-bentuk (fenomena) materi, maka soal yang akan mengemuka adalah apakah materi sebagai materi itu sendiri? Bagaimana materi ada sebagai materi? Lantas bagaimana dengan eksistensi non-materi seperti energi, atau bahkan wujud-wujud seperti hasrat dan kesadaran? Bagaimana hasrat yang memiliki orientasi tertentu dapat mewujud pada makhluk hewani? Atau kesadaran pada manusia? Secara garis besar, bagaimana hasrat dan kesadaran dapat dikatakan bentukan materi, jika ia sendiri bersifat non-materi? Dapatkah sesuatu menghasilkan sesuatu yang tidak ada pada sesuatu itu sendiri?
Sementara pada segi kemungkinan kedua, yang meniadakan adaNya Tuhan, maka secara praktis akan meyakini adanya dunia secara mutlak tanpa adanya penciptaan dan dengan sendirinya tiada siapa itu yang disebut Pencipta. Pandangan ini memiliki persoalan yang sama dengan kemungkinan yang pertama, yakni bagaimana dunia ini ada tanpa adanya pencipta, yang juga mengandaikan bahwa dunia bukanlah sebuah ‘ciptaan’. Umumnya argumen ini dibangun berdasar suatu paradigma sains (baca: saintisme) yang hanya menerima realitas materi sebagai hakikat utama realitas. Persis sebagaimana filsafat materialisme meyakini hakikat alam. Konstruksi utama paradigma ini adalah bahwa rasio mesti tunduk pada kenyataan apa adanya sebagaimana ia dipersepsi, yang tak lain kenyataan tersebut adalah materi belaka.
Pandangan sainstisme dengan konstruk dualistik, materialistik dan ateistik ini pada hakikatnya menafikan esensi jiwa yang bersifat non-material. Jiwa hanya dilihat sebagai alat pengetahuan yang hanya menjadi cermin bagi munculnya forma-forma dunia, namun tidak melihatnya sebagai suatu subyek ontologis yang eksis sebagai kenyataan yang memiliki kedalaman tersendiri dalam mengungkap hakikat kenyataan. Memang melalui persepsi indrawi, alam tiada lain hanya suatu yang nampak sebagai materi, tak lebih. Namun bukankah rasio juga dapat mengenal suatu materi yang memiliki hakikat keberadaan? Artinya bagaimana materi disebut sebagai materi tanpa keberadaannya di alam? Hal ini menandakan bahwa keberadaanlah yang justru memungkinkan dikenalnya ihwal yang disebut materi. Sehingga materi bukanlah hakikat sebagai sesuatu yang mutlak pada dirinya, melainkan wujud keberadaannya. Dan wujud keberadaan materi pastilah bukan berasal dari materi, persis karena ialah yang menjadi sebab mewujudnya materi itu sendiri.
Jalan Spiritual: Jiwa yang melihat WajahNya
Oleh karena itu, keyakinan akan wujudnya Wujud yang memberi wujud segala sesuatu yang mewujud bukanlah suatu imajinasi atau halusinasi melainkan ia justru bersifat radikal dan fundamental. Sebab itu, kaum sufi dengan kedalaman hati dan jiwanya, memandang alam ini tiada lain adalah wajah-Nya. Alam-Dunia adalah wajah Tuhan, kemana-mana kita melihat, apa yang kita lihat tiada lain adalah wajahNya. Sehingga dengan penglihatan spiritual yang sedemikian rupa, maka pola sikap dan tindakan untuk memperlakukan dunia mestilah dengan cara pandang yang berdasar pada keyakinan akan keberadaanNya.
Kaum sufi meyakini, jiwa lebih dari sekedar rasio-instrumental, logika atau filsafat. Karena nalar ilmiah, logika dan filsafat memberi artikulasi rasional akan kenyataan di luar kesadaran, tapi belum menghadirkan hakikat kenyataan tersebut dalam diri. Kita tak sekedar ingin memahami Tuhan yang ada di luar kesadaran, Tuhan yang ontologis. Karena bagaimanapun hal demikian akan tetap berhenti sebagai pengetahuan. Sufisme menghendaki lebih, yakni Tuhan yang hadir dalam jiwa, dirasakan, dihayati, dan menjadi kekuatan bagi jiwa untuk memancarkannya ke alam melalui cinta dan kasih sayang.
(oleh: Fardiana Fikria Qurany)