Tujuan Penciptaan
Jika semua berasal dariNya, dan tiada ruang dan waktu kecuali semua adalah dalam genggamanNya, maka tidak ada jalan menuju akhir bagi segala sesuatu kecuali padaNya jua. Al Quran secara gamblang menyatakan bahwa manusia dan seluruh alam ini adalah milikNya dan akan kembali padaNya (Inna Lillahi wa Inna ilaihi rojiun). Keyakinan akan asal kehidupan, merupakan salah satu fondasi penting bagi pandangan seseorang akan tujuan kehidupan. Keyakinan akan yang transenden sebagai asal kehidupan secara logis akan membawa pandangan mengenai alam pasca-akhir kehidupan.
Sebaliknya, bagi mereka yang meyakini bahwa alam semata gerak material dan menafikan aspek-aspek transendental, tentu akan meyakini bahwa alam tak sedang menuju kemana-mana, kecuali suatu gerak mengada (muncul) dan meniada (lenyap). Bahkan mereka meyakini bahwa tiada akhir bagi dunia, yang ada adalah selalu pembaharuan, aktualitas dari potensi-potensi yang terkandung sebelumnya. Dunia dipandang sebagai organisme fisikal-biologis belaka tanpa ada makna batin-spiritual apapun.
Spiritualisme Islam, sebagaimana diungkapkan oleh Rumi, mendasarkan penciptaan pada pengejawantahan Asma-asma Tuhan. Alam adalah citra asma dan sifatNya. Dalam suatu hadist qudsi dikemukakan bahwa “Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, aku ingin dikenal, maka kuciptakan dunia agar aku dikenal”. Dengan mengacu pada pemahaman ini, maka Rumi menafsir ayat suci al Quran “wama kholaqtul jinna wal insa illa liya’buduni” bahwa menyembahnya sebagai alasan penciptaan adalah mengenalNya (ma’rifatullah).
Liya’buduni adalah Makrifatullah
Ma’rifatullah merupakan kesadaran yang juga bagian dari asmaNya sebagai al ‘alim. Maka sesungguhnya fungsi kesadaran tiada lain juga sebagai jalan (shirot) untuk mengenalNya. Apa yang pasti dalam kesadaran manusia adalah pertama-tama fitrahnya untuk selalu bergantung (al faqir). Manusia dalam kesadarannya selalu menghendaki kesempurnaan dan bahkan keabadian. Dengan kesadaran fitrawi yang demikian, manusia selalu mencari cara untuk mewujudkannya. Meski kebahagiaan duniawi bersifat sementara tapi setiap manusia dalam inti kesadarannya tetap menghendaki kebahagiaan yang abadi.
Kesadaran akan keberbutuhannya tersebut sejatinya merupakan jalan untuk kembali kepada dzat yang abadi. Hanya saja, tingkat kesadaran yang berbeda membuat pola berpikir yang berbeda pula dalam memahami apa itu kebahagiaan. Kesadaran yang hanya terpaut oleh dunia akan kehilangan cahaya di dalam dirinya sendiri. Cahaya diri dimana ia merupakan gerbang membuka kasyaf ilahi. Manusia seringkali terpesona oleh alam, namun lupa pesona cahaya dalam dirinya sendiri.
Filsuf Barat kenamaan, Immanuel Kant, pernah berseloroh, “di langit ada keindahan bintang gemintang, di dalam diriku ada keindahan moral”. Bagaimana moral dapat muncul dalam diri? Maka manusia mesti berpikir apa sumber ontologis dari moral. Bagi Kant, moral bersifat imperatif, ia merupakan suatu dorongan jiwa yang tak terikat oleh alam. Dalam Islam, itulah fitrah-batin yang bersifat spiritual, dan alam spiritual adalah perintahNya (Amrullah). Dengan begitu, Tuhan tengah selalu hadir dalam jiwa setiap manusia melalui dorongan-dorongan spiritual yang terejawantahkan melalui prinsip-prinsip moral yang membuat dunia manusia adalah dunia makna, bukan sekedar dunia organis-mekanis.
Bentuk yang Fatamorgana, dan Makna yang Hakiki
Secara mendasar Rumi menegaskan suatu tesis bahwa alam dunia merupakan bentuk-bentuk, sebagai bentuk alam ini tiada lain adalah implikasi dari hakikat makna-makna. Bentuk mengemuka dalam pluralitas yang berserakan di alam, tapi semua adalah gaung dari suatu makna-makna yang tunggal di sisiNya. Tanpa makna, tiada bentuk. Dan pada manusia, sisi maknawi (kesadaran) dan sisi bentuknya (fisik-biologis) menyatu dalam wujudnya. Oleh sebab itu, manusia memiliki potensi yang amat tinggi untuk mengerti keduanya yang itu juga menjadikannya sebagai makhluk tertinggi dalam hierakhi kosmos.
Persoalan bagi manusia adalah bagaimana menempatkan kesadarannya di dalam kerangka eksistensial alam semesta sebagai tanda akan WujudNya yang hakiki. Maka Islam, dalam kesadaran spiritualistasnya, berada dalam struktur realisme, yang mengacu pada hakikat realitas dan menempatkan sisi ruhaniah sebagai inti realitas itu sendiri. Maka, spiritualisme Islam bukanlah imajinasi rekayasa mental belaka tapi justru ia berangkat dari kenyataan yang mendasar dari alam yang nampak ini. Alam bukanlah ketiadaan, sebagaimana anasir kaum idealis, ia adalah kenyataan, justru karena Tuhan adalah Maha Nyata (kontra-materialisme). Bahkan penemuan sains modern (fisika kuantum), materi tak lagi dipahami sebagai suatu wujud yang sepenuhnya fisikal. Fisikawan quantum menemukan bukti bahwa ternyata atom-atom terdiri dari pusaran energi yang memiliki vibrasi. Setiap atom seperti gasing yang bergoyang-goyang memancarkan energi. Pusaran energi yang sangat kecil dan tak kasat mata ini disebut quark dan proton, yang secara kolektif membentuk atom.
Dari jarak kejauhan, atom terlihat bulat seperti bola kelereng. Tetapi jika fokus mikroskopis diperdekat, wujud atom menjadi lebih samar dan buram. Makin dekat penglihatan kia, makin tak terlihat dan bahkan ia tak terlihat sama sekali. Artinya, apakah atom yang dipercaya sebagai inti materi adalah juga suatu materi? Fakta ilmiah membuktikan pada kita bahwa pada keseluruhan struktur atom, terdapat apa yang disebut “kehampaan fisik” (physical void). Ibarat fatamorgana, dari kejauhan terlihat ia nampak mewujud, namun pada hakikatnya ia hanya vibrasi dari suatu gelombang-gelombang belaka.
Persis demikian, bagi kaum sufi, dunia pun pada hakikatnya hanyalah bayangan-bayangan. Meskipun ia suatu kenyataan tapi bukan kenyataan hakiki pada dirinya. Alam ada sejauh ia adalah manifestasi dari hakikat keberadaan Sang Maha Ada. Keseluruhan energi dan potensi yang dimilikinya berasal dari sang Ada Mutlak. Maka, tiada pilihan bagi manusia terkait hubungannya dengan Tuhan Sang Maha Ada, kecuali ketundukan dan ketaatan.(Fardiana Fikria Qurani, M.Ud)