Pembunuhan Jendral Soleimani, Prespektif Hukum Internasional (Part 1)
Pembunuhan Mayor Jenderal Qassem Soleimani, seorang jenderal terkemuka Iran, oleh militer AS di wilayah Irak memicu perdebatan tentang hukum internasional. Pembunuhan ini di dasarkan argumen klaim pembelaan diri karena akan segera terjadi serangan terhadap diplomat dan pegawai US di Irak. Hal ini masuk dalam kategori pelanggaran terhadap urgensi asa kebutuhan dan proporsionalitas yang tidak terbukti. Dari kaca mata hukum internasional, AS telah melakukan tindak terorisme negara secara terbatas berdasarkan karakteristik tindakan tersebut.
Tulisan ini akan menunjukkan bahwa keputusan Donald Trump sebagai presiden AS merupakan produk politik-militer yang lemah, arbiter, melanggar Hukum Humaniter Internasional- International Humanitarian Law (IHL) dan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional-International Human Rights Law (IHRL). Selain itu, melanggar Konvensi PBB untuk Penindakan Pemboman Teroris dan Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan terhadap Orang yang dilindungi secara Internasional, termasuk Agen Diplomatik.
Terdapat empat fakta esensial yang berkenaan dengan kontek hukum Internasional terkait kasus perintah pembunuhan Jenderal Soleimani. Pertama, Jenderal Soleimani sedang dalam kunjungan kenegaraan resmi yang diundang oleh Perdana Menteri Irak, wakil pemerintahan resmi Irak. Saat itu, Abu Mahdi Al Muhandis datang ke Bandara Internasional Baghdad untuk menyambut Jenderal Soleimani yang tiba dari Lebanon dengan pesawat sipil. Drone AS kemudian menyerang mobil yang membawa dua pejuang anti-ISIS terkemuka tersebut, menewaskan keduanya dan delapan orang lainnya.
Kedua, Jenderal Soleimani berada di Irak untuk membantu milisi anti-ISIS (PMF) yang secara resmi dibentuk oleh Perdana Menteri Irak. Milisi Pasukan Mobilisasi Populer (PMF; Arab: al-Hashd al-Shaabi) dibentuk oleh Perdana Menteri saat itu, Nouri al Maliki, untuk membantu militer Irak melawan ISIS. Oleh karena itu, PMF secara resmi menjadi milik pasukan keamanan Irak dan telah memperoleh 2,16 miliar dolar AS dari anggaran pertahanan 2019. Milisi ini terdiri dari sekitar lima puluh milisi paramiliter dari berbagai faksi yang berorientasi politik.
Milisi tersebut berasal dari berbagai latar belakang, termasuk Sunni, Kristen, dan sebagian besar Syiah, beberapa di antaranya berada di bawah komando Soleimani. Perdana Menteri Irak, Haider al-Abadi, pernah mengucapkan terima kasih kepada Iran karena mengirimkan senjata dan amunisi dalam memerangi ISIS dan menyebut Soleimani sebagai tokoh penting dalam perang ini. Oleh karena itu, kehadiran Soleimani adalah wakil resmi pemerintah Iran, dan menjadi tamu yang legal pemerintah Irak.
Ketiga, Jenderal Soleimani datang ke Irak pada 3 Januari 2020, dalam kondisi sedang dan dalam misi diplomatik. Menurut Perdana Menteri Irak, kedatangan Soleimani adalah untuk membahas pesan dari Arab Saudi “untuk mencapai kesepakatan”.
Empat, AS dan Iran memang sedang dalam konflik, tidak memiliki hubungan diplomatik, namun di antara kedua negara tersebut secara legal tidak dalam keadaan perang. Tidak ada ada deklarasi perang, dan kehadiran pasukan AS dan wakil Iran di Irak secara resmi adalah untuk memerangi ISIS.
Pada bulan September 2014, AS membentuk “The Global Coalition against Daesh” dengan 82 anggota, termasuk Jerman, Italia, Kanada, Jepang, Korea, dan beberapa negara Teluk dan Arab. Tiga bulan sebelumnya, pada 13 Juni 2014, ulama terkemuka Irak, Ayatollah Sistani, mengeluarkan fatwa jihad melawan ISIS untuk pertama kalinya. Berdasarkan pernyataan hukum ini, warga sipil Irak menyatakan bahwa mereka siap untuk mengangkat senjata.
Jus ad bellum
Alasan pembunuhan Soleimani bagi Presiden Trump adalah bahwa Soleimani sedang merencanakan serangan yang akan segera terjadi dan keji terhadap diplomat dan personel militer Amerika tetapi tertangkap dan dapat dihancurkan. Pernyataan Trump ini adalah upaya untuk menunjukkan bahwa tindakan AS adalah bentuk pertahanan diri dan bahwa syarat pengkondisian perang atau “jus ad bellum” dapat diterapkan.
“Jus ad bellum” menentukan alasan yang sah bagi suatu negara untuk berperang dan apakah kriteria perang dapat dibenarkan. Sumber hukum utama Jus ad bellum adalah Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa 1945 Pasal 2 dan 51, yang mengatur tentang syarat-syarat suatu negara untuk melakukan serangan bersenjata. Bunyinya:
“Tidak ada dalam Piagam ini yang akan merusak hak yang melekat pada pertahanan diri individu atau kolektif jika serangan bersenjata terjadi terhadap Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, sampai Dewan Keamanan mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Tindakan yang diambil oleh Anggota dalam pelaksanaan hak membela diri ini harus segera dilaporkan kepada Dewan Keamanan dan dengan cara apapun tidak akan mempengaruhi wewenang dan tanggung jawab Dewan Keamanan berdasarkan Piagam ini untuk setiap saat mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk memelihara atau memulihkan perdamaian dan keamanan internasional.”
Namun demikian, tidak ada konflik bersenjata yang secara langsung melibatkan kedua negara baik AS maupu Iran. Konvensi Den Haag III (Membuka Permusuhan) 1907 Pasal 1 menyatakan bahwa perang harus dimulai dengan pernyataan atau peringatan. Namun, tidak pernah ada perang bersenjata antara Iran dan AS atau deklarasi perang publik secara resmi. Oleh karena itu, Soleimani bukanlah target perang yang sah. Selain itu, meskipun kedua negara tidak memiliki hubungan diplomatik, hak-hak negara dalam hubungannya dengan negara lain tetap ada. Pasal 1 Piagam PBB 1945 tentang ancaman terhadap perdamaian, Pasal 2 tentang asas-asas hubungan antara negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan Bab VI tentang penyelesaian sengketa secara damai mengartikan bahwa AS telah melanggar semua asas hukum tersebut.
Argumen lain terkait dengan frasa “serangan yang akan segera terjadi”. Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Prinsip Pejabat Penegak Hukum menyatakan, “Petugas penegak hukum tidak boleh menggunakan senjata api terhadap orang kecuali untuk membela diri atau membela orang lain terhadap ancaman kematian atau cedera serius, untuk mencegah perbuatan kejahatan yang sangat serius yang melibatkan ancaman besar terhadap kehidupan…”. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan senjata oleh militer diperbolehkan jika akan terjadi serangan. Oleh karena itu, pemerintah AS perlu memberikan bukti agar argumen serangan yang akan segera terjadi dapat diterima. Menurut sebuah laporan dari Hosenball, sumber-sumber di Kongres AS menyatakan bahwa pemerintah tidak memberikan bukti yang kredibel bahwa plot semacam itu berada di ambang eksekusi.
Dalam memo yang dikirim ke Parlemen, dirilis 14 Februari 2020, empat puluh dua hari setelah pembunuhan itu, Trump membenarkan keputusannya dengan mengutip Pasal 51 Piagam PBB. Berbeda dengan pernyataan awal Trump, yang menyebutkan akan segera terjadi serangan dari pihak Soleimani, memo tersebut tidak lagi menggunakan frasa tersebut. Trump berpendapat bahwa pembunuhan itu sebagai tanggapan atas serangan di bulan-bulan sebelumnya oleh Iran dan milisi yang didukung Iran terhadap pasukan dan kepentingan Amerika Serikat di Timur Tengah.
Hal ini juga merupakan argumen yang bermasalah. Menurut Agnes Callamard, Pelapor Khusus PBB untuk pembunuhan di luar proses hukum, yurisprudensi internasional, dan praktik negara menunjukkan bahwa pembelaan diri tidak dapat dilakukan untuk mencegah ancaman. Juga, hal tersebut tidak bisa digunakan sebagai hukuman untuk peristiwa masa lalu. Sebaliknya, pertahanan diri hanya dapat digunakan untuk menghadapi ancaman yang akan segera terjadi, yang tidak ada pilihan lain selain merespons dengan segera. (MM)