Integrasi Ilmu dan Kerangka Ilmiah Keilmuan di Indonesia
Integrasi keilmuan bukanlah perkara praktis yang dapat serta merta diturunkan secara langsung berupa suatu bentuk kurikulum atau silabi mata kuliah suatu materi pelajaran. Melainkan bahwa ia adalah soal paradigmatik dengan analisa pada struktur epistemologis suatu kerja ilmu pengetahuan.
Ian Barbour, menempatkan integrasi dalam salah satu corak di dalam di hubungan agama dan ilmu pengetahuan, dimana terdapat corak yang bersifat konflik, yakni pandangan yang meyakini pertentangan keduanya. Corak independensi, adalah suatu pandangan yang terpisah dan tak saling terpaut (dikotomik). Corak dialogis, dalam corak ini lebih bersifat pragmatis yakni apa yang mungkin dimanfaatkan dari keduanya sehingga dapat menjadi solusi kemanusiaan. Berikutnya corak integrasi itu sendiri. Pandangan ini meyakini suatu kemungkinan bagi agama dan sains untuk dapat menyatu dan berpadu menyelesaikan masalah kehidupan. Model ini menyibak sisi epistemologis bahwa kebenaran sains dan agama dapat diintegrasikan ke dalam “keseluruhan” yang lebih komprehensif dan holistik.
Meski begitu, integrasi sendiri, menurut Barbour, memunculkan tiga versi yaitu : 1. natural theology, 2. theology of nature, dan 3. systematic synthesis. Dalam natural theology berangkat dari suatu pandangan metafisis ketuhanan yang meyakini bahwa alam semestasi adalah manisfestasi kekuasaannya, gerak kosmos yang amat rapih dan teratur ini secara logis dapat dikaitkan dengan adanya grand design yang hanya ada dalam kuasa pencipta. Sementara itu pada theology of nature doktrin agama diinterpretasi sesuai dengan perkembangan pemahaman ilmiah yang sudah mapan. Dalam versi ini, terdapat asumsi bahwa terdapat doktrin agama yang bertentangan dengan sains, sehingga muncul kebutuhan akan keharusan reformulasi ajaran keagamaan. Seperti doktrin tentang asal usul manusia harus memperhatikan rumusan sains mutakhir. Penyelarasan pemahaman sains dengan agama perlu adanya penyesuaian dan modifikasi yang lebih besar dari sebelumnya (Barbour, 2002: 84). Sedangkan systematic synthesis merupakan integrasi yang lebih sistematis yang bisa dilakukan apabila sains dan agama memberikan arah baru bagi dunia yang lebih koheren yang digabungkan dalam kerangka metafisika yang lebih komprehensif.
Kekurangan dari analisa Barbour adalah belum adanya pembacaan yang radikal atas apa yang sesungguhnya menjadikan sains sebagai sains dan berikut pula agama sebagai agama (mungkin juga filsafat sebagai filsafat). Integrasi dalam praktiknya juga muncul secara apologetis, yakni semacam ‘pencocokan’ antara penafsiran teks-teks keagamaan dengan penemuan sains modern, seakan apa yang ditemukan oleh sains adalah apa yang sudah lebih awal terungkap dalam kitab suci. Dalam cara pandang ini, sains hanya dihadirkan untuk membuktikan kebenaran agama. Apa yang problematis dalam pola pandang ini adalah bahwa sains selalu dalam batas jangkauan pengamatan manusia atas alam yang diperantarai oleh alat-alat teknologis yang juga selalu berkembang. Artinya sangat mungkin sains berkembang, bahkan dapat pula memfalsifikasi tesis sebelumnya. Persoalannya jika suatu pandangan sains berubah, apakah kebenaran agama juga turut berubah?
Pemikiran Integrasi di tanah Air
Amin Abdullah, seorang tokoh pemikir di tanah air, merupakan tokoh yang giat mempresentasikan gagasan mengenai integrasi, interkoneksi dan interdisipliner. Inti gagasannya lebih bersifat dialogis-epistemis. Pemikirannya sesungguhnya diilhami oleh gagasan pemikir Islam, Abid al Jabiri, yang populer dengan klasifikasi pemikiran Islamnya (Burhani, Bayani, Irfani). Pendekatan integrasi yang komprehensif bagi Amin adalah pada pola sirkular, yakni bahwa masing-masing corak epistemologi keilmuan dapat memahami keterbatasan, kekurangan, dan kelemahan yang melekat pada diri masing-masing sekaligus bersedia mengambil manfaat dari temuan-temuan yang ditawarkan oleh tradisi keilmuan yang lain serta memiliki kemampuan untuk memperbaiki kekurangan yang melekat pada dirinya sendiri. Dengan demikian, kekakuan, kekeliruan, ketidaktepatan, anomali-anomali yang melekat pada masing- masing epistemologi dapat dikurangi dan diperbaiki setelah mendapatkan masukan dan kritik dari jenis epistemologi lain, baik epistemologi bayani, irfani, maupun burhani.
Dialog utama bagi Amin, berpusat pada tiga tradisi besar sejarah manusia, yakni yakni hadlarah an-nash (keilmuan agama yang bersumber pada teks-teks), hadlarah al-ilm (ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kealaman), dan hadlarah al-falsafah (keilmuan etis-filosofis). Amin, dengan paradigma integrasinya, sama sekali tak meninggi-rendahkan posisi masing-masing tradisi di atas. Dengan begitu, dialog rasional antar ketiga akan sangat mungkin menghasilkan suatu bentuk baru pengetahuan yang utuh dan bernilai tinggi bagi kemanusiaan.
Strategi Implementasi Konsep Integrasi di Perguruan Tinggi Islam
Dalam konteks pengembangan keilmuan di perguruan tinggi (terutama dalam proses transformasi kelembagaan IAIN menjadi UIN) paradigma integrasi-interkoneksi secara kongkrit dapat diimplementasikan dalam berbagai level:
Pertama, Level filosofi. Integrasi dan interkoneksi pada level filosofis dalam pengajaran mata kuliah adalah bahwa setiap mata kuliah harus diberikan nilai fumndamental eksistensial dalam kaitannya dengan disiplin keilmuan lain dan dalam hubungannya dengan nilai-nilai humanistik.
Kedua, Level materi. Implementasi integrasi dan interkoneksi pada level materi dapat dilakukan dengan tiga model pengejawantahan interkoneksitas keilmuan antar disiplin keilmuan. Pertama, model pengintegrasian ke dalam pengajaran mata kuliah. Kedua, model penanaman mata kuliah yang menunjukan hubungan antara dua disiplin ilmu umum dan keislaman. Model ini menuntut setiap mata kuliah mencantumkan kata Islam seperti ekonomi Islam, politik Islam, sosiologi Islam, dan lain-lain. Ketiga, model pengintegrasian ke dalam pengajaran mata kuliah. model ini menuntut setiap mata kuliah keislaman dan keagamaan harus diinjeksikan teori-teori keilmuan umum terkait sebagai wujud interkoneksitas antara keduanya. Sebaliknya dalam setiap pengajaran mata kuliah ilmu-ilmu umum harus diberikan wacana-wacanateoretik keislaman dan keagamaan.
Ketiga, Level metodologi. Ketika disiplin ilmu diintegrasikan atau diinterkoneksikan dengan disiplin ilmu lain, misalnya psikologi dengan nilai-nilai Islam, maka secara metodologis, ilmu interkonektif tersebut harus menggunakan pendekatan dan metode yang aman bagi ilmu tersebut. Sebagai contoh pendekatan fenomenologis yang memberi apresiasi empatik dari orang-orang yang mengalami pengalaman, dianggap lebih aman ketimbang pendekatan lain yang mengandung bias anti-agama seperti psikoanalisis.
Keempat, Level strategi. Level strategi yang dimaksud di sini adalah level implementasi/praksis dari proses pembelajaran keilmuan integratif-interkonektif. Dalam konteks ini, setidaknya kualitas keilmuan serta ketrampilan mengajar dosen menjadi kunci keberhasilan perkuliahan berbasis paradigma interkoksitas.(Fardiana Fikria Qurany, M.Ud)